Email shahabalwi@yahoo.com
Telepon 082112834546
Whatsapp 082112834546

BUKU TEKS

 

DASAR-DASAR ENDOKRINOLOGI

OLEH : ALWI SHAHAB

 

Bab 1

          Pendahuluan          

  Endokrinologi adalah bagian ilmu pengetahuan kedokteran yang mempelajari hormon dan komunikasi antar sel didalam tubuh. Komunikasi efektif antara berbagai sel didalam tubuh sangat penting untuk memfasilitasi kerja organ-organ tubuh secara baik. Pada vertebrata termasuk manusia, komunikasi ini dipertahankan oleh serat-serat syaraf dan hormon. Hormon adalah substansi kimiawi yang diproduksi oleh kelenjar buntu yang kemudian dialirkan langsung kedalam aliran darah melalui proses sekresi endokrin. Hormon selanjutnya dialirkan melalui sirkulasi darah menuju bagian tubuh lain dalam kadar yang sangat rendah (10-7 – 10-12 mol/l), memiliki efek regulasi spesifik pada sel-sel target melalui reseptornya yang spesifik pula. Namun beberapa hormon dapat bekerja lebih umum diseluruh tubuh ketimbang terhadap jaringan target yang spesifik. Sebaliknya, berbeda dengan kelenjar eksokrin yang mengeluarkan produknya melalui saluran menuju ke permukaan luar tubuh (misal : air susu, keringat) atau kedalam lumen usus (misal : enzim-enzim pencernaan).

            Penelitian mutakhir dibidang endokrinologi juga meliputi studi tentang faktor-faktor pertumbuhan yang diproduksi secara lokal dan zat-zat lain yang terlibat dalam komunikasi antar berbagai jenis sel yang berbeda didalam suatu organ (dikenal sebagai komunikasi parakrin).

            Sel-sel berkomunikasi satu sama lain melalui sinyal-sinyal kimiawi hormon. Sinyal-sinyal ini dapat berupa molekul-molekul sederhana seperti asam amino atau asam lemak yang mengalami modifikasi, atau molekul-molekul peptida yang lebih kompleks, protein atau steroid. Komunikasi dapat terjadi secara lokal antar sel didalam jaringan atau organ, atau pada suatu jarak tertentu untuk mengintegrasikan aktivitas sel atau jaringan antar organ yang berlainan. Untuk komunikasi antar sel dimana permukaannya saling berhubungan secara langsung, sinyal-sinyal dapat berupa zat-zat yang membentuk bagian dari permukaan sel, atau dapat berupa molekul-molekul yang melewati sitosol dari satu sel ke sel yang lain melalui suatu “gap junction”. Untuk komunikasi dengan sel-sel yang berdekatan, sinyal-sinyal kimiawi dilepaskan kedalam cairan ekstraseluler dan mencapai tujuan melalui proses difusi sederhana.

            Komunikasi jenis ini dikatakan terjadi melalui sekresi parakrin. Kadang-kadang sel memberikan respon terhadap sekresi dirinya sendiri, dan ini disebut sebagai sekresi autokrin.

Sedikitnya ada 4 fungsi fisiologik utama dari hormon, meliputi :

  1. Pengendalian reproduksi
  2. Proses tumbuh kembang
  3. Regulasi komposisi elektrolit / mineral didalam cairan tubuh
  4. Pengendalian metabolisme energi.

Secara kimiawi, hormon diklasifikasikan kedalam 3 kelompok utama yaitu :

  1. Turunan asam amino tirosin (hormon-hormon dari medulla adrenal dan kelenjar tiroid)
  2. Turunan steroid, secara struktural berhubungan dengan kolesterol (hormon-hormon dari kelenjar seks dan korteks adrenal)
  3. Turunan protein/ polipeptida (hormon-hormon dari pankreas dan hipofisis)

Kebanyakan hormon polipeptida disintesis dan disimpan oleh sel endokrin dalam bentuk senyawaan molekul protein rantai panjang yang bersifat inaktif berupa  “pro-hormon”, yang kemudian melalui proses enzimatik dirubah menjadi hormon yang aktif. Dalam memfasilitasi komunikasi antar sel, sistim hormonal berbeda dengan sistim syaraf, dimana komunikasi sel sistim syaraf terjadi secara elektrik didalam serat-serat syaraf melalui sekresi neurotransmiter spesifik menuju sel-sel efektor yang dipersyarafinya. Komunikasi syaraf berperan penting bila diperlukan pesan-pesan yang cepat seperti bila ada keterlibatan gerakan otot rangka (dalam waktu millisecond), sementara komunikasi hormonal diperlukan untuk gerakan yang lebih lambat (dari detik sampai beberapa hari).

Mekanisme kerja hormon pada sel

            Mekanisme kerja hormon pada sel-sel target untuk memberikan efek spesifiknya dapat terjadi dengan berbagai cara, dimana hormon-hormon yang berasal dari protein dan polipeptida secara umum tidak langsung menembus dinding sel, melainkan bereaksi dengan reseptornya yang spesifik yang berada dipermukaan membran sel. Reaksi ini selanjutnya menyebabkan efek langsung pada membran (dapat berupa perubahan-perubahan permeabilitas ion) atau efek intraseluler yang dimediasi oleh sistem second messenger didalam sel (contoh : kerja dari glukagon pada membran sel hati yang merangsang glikogenolisis, dimediasi oleh enzim adenylate cyclase dan produksi cyclic AMP). Sedangkan hormon insulin, pada awalnya berinteraksi dengan reseptor insulin dipermukaan sel, yang diikuti dengan internalisasi dari kompleks insulin-reseptor dan modulasi langsung dari proses-proses enzimatik.  Hormon-hormon steroid (contoh : hormon-hormon seks estradiol, progesteron, dan testosteron; kortikosteroid adrenal : kortisol, aldosteron dan juga vitamin D) bersifat lipofilik, memasuki sel secara langsung dan bergabung dengan protein reseptor spesifik didalam sitoplasma dan inti sel. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian akan menembus inti sel dan berikatan dengan hormone receptor element pada DNA inti dimana  selanjutnya berperan dalam transkripsi gen-gen spesifik untuk menghasilkan protein baru. Hormon-hormon tiroid juga dapat menembus membran sel (terutama melalui proses difusi), tetapi tidak seperti steroid, hormon-hormon tiroid berikatan langsung dengan protein reseptor yang afinitasnya tinggi serta berikatan dengan DNA inti untuk mempengaruhi transkripsi mRNA dan berperan dalam sintesis protein. 

            Cyclic AMP bukanlah satu-satunya second messenger yang terlibat dalam mediasi kerja hormon.  Mekanisme transduksi sinyal lain yang terlibat meliputi stimulasi enzim guanylate cyclase (untuk memproduksi cyclic GMP) atau aktivasi protein kinase C (via stimulasi phospholipase C dan hidrolisis dari membrane polyphosphoinositides yang menghasilkan inositol triphosphate (IP3) dan diacylglycerol (DAG), yang juga berperan dalam mengendalikan respons tertentu dari hormon. Beberapa reseptor hormon juga dapat memediasi pemecahan fosfolipid membran via aktivasi dari enzim fosfolipase A2, untuk menghasilkan asam arakhidonat dan metabolit-metabolit dari eikosanoid {(seperti prostaglandin, thromboxan, leukotrien dan platelet activating factor (PAF)} yang terlibat dalam respons alergi dan inflamasi. Asam arakhidonat juga berfungsi sebagai messenger intrasel untuk mengatur aktivitas enzim-enzim tertentu (seperti protein kinase C) dan kanal ion di membran sel.

 

 

 

 

Tabel 1. Kelenjar-kelenjar endokrin utama dan hormon-hormon yang dihasilkan. (Sumber: Goodman HM. Basic Medical Endocrinology, 2009, 4th ed Ed, Elsevier Inc)

 

Kelenjar Endokrin

Hormon yang dihasilkan

Singkatan

Kerja utama

Hipothalamus

Gonadotrophin releasing hormone

GnRH

Stimulasi produksi LH dan FSH

 

Thyrotrophin releasing hormone

TRH

Stimulasi produksi TSH

 

Corticotrophin releasing hormone

CRH

Stimulasi produksi ACTH

 

Growth hormone releasing hormone

GHRH

Stimulasi produksi GH

 

Somatostatin

SS

Faktor inhibisi produksi GH

 

Dopamine

 

Faktor inhibisi produksi prolaktin

 

 

 

 

Hipofisis anterior

Luteinizing Hormone

LH

Perkembangan corpus luteum;

Stimulasi produksi hormon seks

 

Follicle Stimulating Hormone

FSH

Pertumbuhan folikel2 ovarium/ spermatogenesis

 

Thyrotrophin (Thyroid Stimulating Hormone)

TSH

Stimulasi produksi hormon tiroid

 

Corticotrophin (Adreno Cortico Trophic Hormone)

ACTH

Sekresi steroid korteks adrenal

 

Growth Hormone

GH

Pertumbuhan tulang dan otot

 

Prolactin

PRL

Produksi susu

 

 

 

 

Hipofisis posterior

Oxytocin

 

Penghentian produksi susu

 

Vasopressin

AVP

Anti diuretik

Folikel2 Kelenjar Tiroid

Tiroksin dan Triiodo-tironin

T4 dan T3

Meningkatkan Laju Metabolisme Basal

Sel-sel C kelenjar tiroid

Kalsitonin

 

Kendali metabolisme kalsium

 

 

 

 

Paratiroid

Hormon paratiroid

PTH

Kendali metabolisme kalsium

 

 

 

 

Korteks Adrenal

Kortisol

 

Metabolisme karbohidrat/ protein dan lemak

 

Aldosteron

 

Mempengaruhi keseimbangan Na+/H2O

Medulla Adrenal

Adrenalin /Noradrenalin

 

Mempengaruhi tekanan darah/ kadar gula darah

Folikel2 Ovarium

Estrogen

 

Stimulasi perkembangan saluran reproduksi wanita

Corpus Luteum

Progesterone

 

Mempertahankan kehamilan, stimulasi perkembangan uterus dan kelenjar mammae.

Testes

Testosterone

 

Anabolik, stimulasi perkembangan saluran reproduksi pria, spermatogenesis, libido

Pankreas (pulau2 Langerhans)

Insulin/ Glukagon

 

Kendali metabolisme karbohidrat

 

Bab 2

Kendali sekresi hormon

Konsep Mekanisme Umpan Balik

            Untuk mempertahankan fungsi regulasi yang benar, kelenjar endokrin menerima informasi umpan balik yang konstan tentang kondisi sistem yang diatur, sehingga sekresi hormon dapat disesuaikan. Aktivitas sekresi dari kebanyakan organ endokrin dikendalikan oleh hipofisis anterior, yang selanjutnya dikendalikan oleh  faktor-faktor/ hormon releasing yang dilepaskan oleh serat-serat syaraf hipothalamus kedalam aliran darah hipofisis.  Mekanisme umpan balik dapat pula terjadi tanpa melibatkan hipothalamus dan hipofisis anterior seperti dalam pengendalian sekresi insulin atau hormon paratiroid.

Mekanisme umpan balik kelenjar endokrin dapat terjadi melalui berbagai cara , antara lain :

  1. Umpan balik negatif langsung (direct negative feedback)

            Merupakan mekanisme kendali “closed-loop” yang paling umum, dimana bila terjadi peningkatan kadar suatu hormon didalam sirkulasi, akan menurunkan aktivitas sekresi dari sel-sel didalam kelenjar endokrin yang memproduksi hormon tersebut. Jalur ini secara skematis ditunjukkan dalam gambar dibawah ini :

Gambar 1. Skema sederhana dari jalur mekanisme umpan balik negatif.b (Sumber: Goodman HM. Basic Medical Endocrinology, 2009, 4th ed Ed, Elsevier Inc)

 

Keterangan gambar :

Sekresi dari “releasing hormone” spesifik oleh sel-sel syaraf hipothalamus, merangsang sel-sel hipofisis anterior untuk melepaskan hormon tropik. Selanjutnya akan menginisiasi sekresi hormon target dari kelenjar-kelenjar target yang sudah terpilih. Kadar hormon dari kelenjar target yang beredar didalam sirkulasi akan memberikan efek negatif (inhibisi) terhadap hipofisis anterior untuk mengendalikan sekresi hormon tropik dari hipofisis.

 

 

 

 

            Pada jalur hirarki yang khas ini, kelompok tertentu dari sel-sel syaraf didalam hipothalamus mensintesis peptida spesifik (releasing hormone) yang disekresi kedalam anyaman kapiler kelenjar hipofisis anterior dan merangsang sel-sel hipofisis untuk melepaskan hormon-hormon tropik yang spesifik. Peptida-peptida ini sebaliknya merangsang sel-sel kelenjar target untuk melepaskan hormon kelenjar target kedalam sirkulasi darah. Selanjutnya hormon ini memberikan efek umpan balik negatif terhadap hipofisis anterior untuk mengatur kadar hormon tropik yang dilepaskan. Contoh : Sekresi hormon tiroksin oleh kelenjar tiroid secara langsung dikendalikan oleh hormon tropik dari hipofisis yaitu TSH (Thyroid Stimulating Hormone).

Kadar hormon tiroksin yang tinggi didalam darah akan menurunkan produksi TSH, sehingga akan menurunkan aktivitas kelenjar tiroid (dan sebaliknya). Mekanisme umpan balik negatif yang sama juga terjadi pada organ-organ target yang lain seperti korteks adrenal, ovarium dan testes.  

Gambar 2. Jalur mekanisme umpan balik negatif langsung, tak langsung dan jalur umpan balik pendek. (Sumber: Goodman HM. Basic Medical Endocrinology, 2009, 4th ed Ed, Elsevier Inc)

 

 

  1. Umpan Balik Tidak Langsung

                Hormon kelenjar target juga dapat menghambat sekresi hormon tropik hipofisis secara tidak langsung melalui hambatan sekresi releasing hormone dari hipothalamus. Mekanisme ini terjadi dalam pengaturan sekresi hormon-hormon adrenal dan gonad (testes dan ovarium) Contoh : Hormon-hormon kortikosteroid yang disekresi oleh kelenjar adrenal secara tidak langsung menghambat sekresi kortikotropin (Adrenocorticotrophic hormone, ACTH) dari hipofisis anterior, melalui hambatan sekresi Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) dari hipothalamus.

Disamping itu, hormon tropik (ACTH) dapat bekerja secara langsung pada neuron-neuron hipothalamus untuk mengatur produksinya sendiri (short-loop feedback).

Bab 3

Hipothalamus dan Hipofisis

  1. Struktur dan Histologi

            Sekresi hormon dari hipothalamus dan hipofisis anterior memegang peran penting dalam mengendalikan sekresi hormon dari kelenjar endokrin yang lain. Hipothalamus terletak dibagian belakang otak yang dikenal dengan diencephalon, yaitu diantara cerebrum (telencephalon) dan bagian tengah otak (mesencephalon); posisinya tepat dibawah thalamus, membentuk dinding dasar dan lateral bawah dari ventrikel III. Walaupun ukurannya relatif kecil, namun mempunyai banyak fungsi penting seperti mengatur nafsu makan dan minum, perilaku seksual serta aktivitas otonomik yang penting (pengaturan tekanan darah dan denyut jantung).  Hipothalamus juga terlibat dalam mempertahankan suhu tubuh, mengendalikan siklus tidur dan mengendalikan emosi seperti rasa takut, nyeri, marah dan gembira. Kelompok neuron yang khusus didalam nuklei supraoptik dan paraventrikular hipothalamus mempunyai fungsi neuro-endokrin dalam mensintesis hormon peptida vasopressin dan oksitosin.

            Kedua hormon ini ditranspor melalui akson-akson dan dilepaskan dari hipofisis posterior untuk mengatur keseimbangan cairan dan kontraksi uterus serta pengeluaran air susu. Neuron-neuron hipothalamus yang lain mensekresi hormon-hormon releasing atau inhibiting kedalam darah, yang mempengaruhi sekresi hormon-hormon tropik oleh kelenjar hipofisis anterior. Jadi hipothalamus merupakan penghubung utama antara sistem syaraf dan sistem endokrin. Kelenjar hipofisis merupakan organ ganda yang berdiameter sekitar 1 cm, terletak didalam suatu lekukan tulang pada dasar otak tepat dibawah hipothalamus (dikenal dengan sella turcica), berhubungan langsung dengan tangkai infundibulum atau infundibular stalk. Kelenjar ini secara embriologik terbentuk dari fusi ektoderm oral (epithelial) dan neural (hypothalamic) membentuk lobus anterior (pars distalis) dan lobus posterior (neuro-hypophysis atau pars nervosa). Dalam perkembangan selanjutnya kedua bagian ini berfungsi sebagai kelenjar endokrin yang independen.

Gambar 3. Diagram menunjukkan gambaran anatomi kelenjar hipofisis, yang terbagi menjadi bagian anterior yang secara fungsionil bersifat independen (adenohypophysis) dan bagian posterior (neurohypophysis) yang dihubungkan dengan hipothalamus melalui tangkai infundibulum (infundibular stalk). Pars intermedia (intermediate lobe) pada manusia tidak berkembang dengan baik. Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

                Pada beberapa spesies vertebrata (seperti ikan, reptil dan ampibi) lobus intermedia dari jaringan endokrin (pars intermedia) ditemukan sebagai bagian dari adenohipofisis; bagian ini mensekresi hormon peptida melanocyte stimulating hormone (MSH), yang berperan penting dalam mengendalikan perubahan-perubahan pigmentasi kulit. Pada manusia dewasa, lobus intermedia tidak berkembang dengan baik. 

            Hipofisis anterior mensekresi 6 peptida utama yang dikenal dengan hormon-hormon tropik. Semua hormon kecuali Growth Hormone dan Prolaktin mempunyai efek utama khusus terhadap organ target yang spesifik. Sel-sel sekresi dari hipofisis anterior diklasifikasikan sesuai dengan hormon tropik yang dilepaskannya serta karakteristik warna  sitoplasma pada pengecatan; sel-sel yang berbeda juga dapat diidentifikasi melalui metoda imunositokimiawi yang lebih spesifik menggunakan antisera hormon yang selektif atau melalui teknik hibridisasi in situ, yang dapat mendeteksi ekspresi dari masing-masing gen hormon.

Berbagai jenis sel dan hormon yang dilepaskan oleh hipofisis anterior antara lain :

  1. Somatotroph mensekresi Growth Hormone (GH)
  2. Mammotroph mensekresi Prolactin (PRL)
  3. Kortikotroph mensekresi Kortikotrophin (ACTH)
  4. Thyrotroph mensekresi Thyrotrophin (TSH)
  5. Gonadotrophs mensekresi Gonadotrophins (LH/FSH)

 

 

 

  1. Sistem Portal Hipothalamus-Hipofisis

            Sintesis dan sekresi hormon-hormon tropik sebagian ditentukan oleh efek umpan balik langsung yang dilakukan oleh hormon-hormon kelenjar target dan sebagian lagi oleh hormon-hormon releasing atau inhibiting dari hipothalamus. Hormon-hormon ini disekresi oleh neuron-neuron khusus didalam hipothalamus dengan ujung-ujung syarafnya berada didalam daerah eminentia media.  Vena-vena sistem portal hipothalamus-hipofisis mendapat perdarahan dari anyaman kapiler primer didalam eminentia media disepanjang tangkai hipofisis dan masuk kedalam hipofisis anterior membentuk anyaman-anyaman kapiler sekunder.  Hormon-hormon hipothalamus dengan cepat akan masuk kedalam kapiler-kapiler porta dan kemudian ditranspor via vena-vena porta kedalam lobus anterior untuk memberikan efek stimulasi/ inhibisi terhadap hormon-hormon hipofisis anterior.

Gambar 4. Sistem portal hipothalamus-hipofisis.

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

 

 

 

 

 

 

  1. Hormon-hormon dari hipothalamus
  2. Gonadotrophin Releasing Hormone

            Gonadotrophin releasing hormone (GnRH), juga dikenal dengan luteinizing hormone releasing hormone (LHRH) atau gonadorelin, merupakan suatu dekapeptida yang dilepaskan secara pulsatif dari neuron-neuron GnRH hipothalamus. Gonadorelin sintetik (Fertiral) saat ini tersedia dalam bentuk injeksi (500 ug/ml) yang dapat diberikan intravena atau subkutan untuk pengobatan infertilitas dan amenore pada wanita, induksi pubertas atau untuk penilaian fungsi hipofisis. Waktu paruh GnRH didalam sirkulasi sangat pendek, oleh karenanya saat ini telah dilakukan modifikasi molekul GnRH untuk memproduksi analog yang stabil sehingga dapat digunakan secara klinis. Sejumlah analog sintetik seperti buserelin, goserelin, leuprorelin dan nafarelin yang mempunyai aktivitas GnRH yang kuat telah dikembangkan, namun efek  klinis yang tidak diharapkan yaitu efek inhibisi terhadap poros hipofisis-gonad lebih kuat daripada efek stimulasi bila diberikan terus menerus. Jadi setelah stimulasi awal dari sekresi gonadotrofin, pemberian jangka panjang dari obat-obat ini (selama 2 sampai 4 minggu) akan menyebabkan down regulasi dan hilangnya reseptor-reseptor GnRH dari sel-sel gonadotrof hipofisis, sehingga terjadi penurunan respons terhadap stimulasi oleh GnRH dan penurunan sekresi gonadotrofin. Analog GnRH telah digunakan dalam aplikasi klinik dalam pengobatan berbagai keadaan seperti androgen-dependent prostatic cancer, endometriosis precocious puberty dan keadaan-keadaan lain dimana diperlukan supresi dari sekresi gonadotrofin.  Analog GnRH yang berikatan secara kompetitif dengan reseptor GnRH tapi tidak menunjukkan aktivitas agonis GnRH (antagonis GnRH) telah pula dikembangkan. Namun penggunaannya secara klinis mengalami kendala karena efek sampingnya berupa reaksi kulit lokal (kemerahan dan edema) pada tempat injeksi akibat sekresi histamin.

  1. Corticotrophin Releasing Hormone (CRH)

            Corticotrophin releasing hormone (corticoliberin, CRH), juga disebut sebagai Corticotrophin Releasing Factor (CRF), merupakan suatu peptida dengan 41 rantai asam amino, berperan dalam mengendalikan sekresi dari corticotrophin (ACTH). Kerja peptida ini dapat dipengaruhi oleh beberapa zat lain terutama hormon-hormon glukokortikoid yang menghambat efek releasing dari CRH terhadap sel-sel kortikotrof hipofisis (yang penting dalam kendali umpan balik negatif), vasopressin, oksitosin atau adrenalin. Berbagai neurotransmiter endogen juga terlibat dalam regulasi sekresi CRH hipothalamaus, seperti asetilkholin dan serotonin yang secara langsung memfasilitasi sekresinya, sementara asam amino GABA, dopamin dan noradrenalin mempunyai efek inhibisi terhadap sekresi CRH. Glukokortikoid juga dapat menghambat sekresi CRH ditingkat hipothalamus (umpan balik negatif). Reseptor CRH pada sel-sel hipofisis mempunyai hubungan dengan adenylate cyclase second messenger system.

  1. Thyrotrophin Releasing Hormone

            Thyrotrophin releasing hormone (TRH) merupakan  hormon hipothalamus pertama yang sudah dapat diisolasi. Hormon ini merupakan tripeptida sederhana (pyroGlu-His-Pro-NH2) dan merupakan hormon pemicu yang kuat terhadap sekresi TSH oleh hipofisis anterior. TRH juga dapat merangsang sekresi prolactin. TRH dapat ditemukan dimana saja didalam otak dan medulla spinalis, yang bekerja sebagai suatu neuromodulator atau neurotransmitter.

            TRH sintetik (Protirelin) sekarang sudah tersedia sebagai injeksi intravena, yang digunakan secara klinis untuk tes faal tiroid.

  1. Prolactin-Releasing / Inhibiting Factors

            Prolactin release-inhibiting factor dilepaskan kedalam aliran darah porta melalui neuron-neuron dopaminergik spesifik yang berasal dari hipothalamus.  Sekitar 70% aktivitas  hypothalamic prolactin release-inhibiting factor dapat dilakukan oleh dopamine, sementara 30% sisanya dilakukan oleh faktor lain termasuk GnRH-associated peptide (GAP). GAP adalah suatu peptida dengan 56 gugus asam amino, terbentuk dari GnRH precursor protein (proGnRH) yang diduga diproduksi bersamaan dengan GnRH oleh neuron-neuron hipothalamus dan disekresi bersamaan kedalam aliran darah portal hipofisis untuk mempengaruhi sekresi prolaktin.

  1. Growth Hormone Releasing Hormone

            Growth hormone releasing hormone (GHRH) atau somatocrinin merupakan suatu peptida dengan 44 asam amino yang berperan dalam stimulasi sintesis dan sekresi Growth Hormone (GH) oleh hipofisis. Walaupun struktur GHRH menyerupai glukagon dan juga dapat ditemukan didalam pankreas dan saluran cerna bagian atas, namun fungsi fisiologiknya diluar otak masih belum diketahui. Analog sintetik dari GHRH, sermorelin (Geref 50) sekarang sudah tersedia untuk digunakan sebagai uji diagnostik terhadap sekresi normal GH oleh hipofisis. Turunan peptida dan non peptida yang sekarang telah dikembangkan dan menunjukkan kemampuan melepaskan GH (GH secretagogue, misalnya hexarelin) bahkan dapat digunakan untuk pengobatan anak-anak dengan short stature. Hormon yang menghambat sekresi GH dari hipothalamus, yaitu somatostatin (atau disebut juga somatotrophin release inhibiting hormone, SRIH) juga telah berhasil disintesis. Somatostatin dapat ditemukan didalam otak dan medula spinalis, saluran cerna (pleksus mienterikus) dan didalam pankreas, dimana kerjanya menekan sekresi insulin dan glukagon. Analog kerja panjang dari Somatostatin, yaitu octreotide (Sandostatin), tersedia sebagai obat yang digunakan injeksi subkutan untuk terapi jangka pendek dari akromegali dan beberapa tumor endokrin (seperti insulinoma, glukagonoma dan VIPoma). VIP (vasoactive intestinal polypeptide) yang mengandung residu 28 asam amino, merupakan anggota dari famili peptida secretin-glucagon, ditemukan disepanjang saluran cerna (terutama pankreas dan neuron-neuron dari duodenum) dan juga didalam otak (hipothalamus dan korteks serebri).  Pasien-pasien dengan kadar VIP yang tinggi didalam plasma akibat tumor yang mensekresi VIP, dapat mengalami  diare encer yang berat dan gangguan keseimbangan elektrolit.

  1. Hormon-hormon Hipofisis Anterior
  2. Gonadotropin

            Gonadotropin merupakan hormon-hormon gliko-protein kompleks dengan berat molekul sekitar 28 kDa, masing-masing terdiri dari 2 subunit glikoprotein a dan b, dimana terdapat perbedaan sekuens b antara LH dan FSH.

1.a. Luteinizing Hormone (LH)

            Pada wanita,  sekresi LH (bersamaan dengan FSH) pada pertengahan siklus menstruasi, dapat menginduksi terjadinya ovulasi, kemudian akan mempertahankan korpus luteum setelah ovulasi (mensekresi progesteron). Pada laki-laki, LH merangsang sel-sel interstisil (Leydig) didalam testes untuk memproduksi testosteron.

 

 

            Kendali sekresi LH terutama melalui GnRH dari hipothalamus, dan dimodulasi oleh jalur umpan balik yang melibatkan steroid dari ovarium dan testis. Hormon Human Chorionic Gonadotrophin (HCG), yang diproduksi oleh plasenta selama kehamilan, mempunyai struktur yang sama dengan Luteinizing Hormone, sehingga menunjukkan aktivitas mirip dengan LH.

1.b. Follicle Stimulating Hormone (FSH)

            Hormon ini (bersama dengan LH) merangsang perkembangan folikel ovarium (sehingga merangsang produksi estrogen) dan merangsang spermatogenesis pada laki-laki. FSH recombinant ( dengan nama dagang Puregon) sekarang telah tersedia untuk terapi infertilitas anovulatoir pada wanita yang mengalami konsepsi buatan.

            Kendali sekresi FSH terutama melalui GnRh yang juga menunjukkan pola pulsatif seperti pada kendali terhadap LH. Pada laki-laki, FSH juga merangsang sel-sel Sertoli dari testes untuk memproduksi suatu peptida, inhibin, yang memberikan kendali umpan balik negatif terhadap biosintesis dan sekresi FSH dari hipofisis anterior.

 

            Pada wanita, peptida yang sama dilepaskan oleh   sel-sel granulosa dari folikel-folikel ovarium, mempunyai fungsi yang sama yaitu inhibisi terhadap sekresi FSH. Inhibin juga mempunyai fungsi intragonad (parakrin) dalam meningkatkan produksi LH oleh testis dan ovarium. Hiposekresi gonadotropin akan menyebabkan amenore, sterilitas dan penurunan gairah seksual. Pada anak-anak, hiposekresi akan menyebabkan kegagalan perkembangan organ seksual dan karakteristik seks sekunder.  Hipersekresi FSH dan LH jarang terjadi tetapi pada anak-anak dapat menyebabkan pertumbuhan prematur yang berat.

  1. Thyrotrophin (Thyroid Stimulating Hormone, TSH)

            Sama seperti gonadotrofin, hormon glikoprotein ini terdiri dari 2 rantai polipeptida, rantai alfa dan beta, dimana rantai alfanya identik dengan yang terdapat pada LH, FSH dan hCG. Kerja utamanya adalah merangsang kelenjar tiroid mensekresi hormon-hormon tiroid tri-iodothyronine (T3) dan thyroxine (T4), melalui cara :

  • Stimulasi ambilan iodida tiroid
  • Meningkatkan sintesis protein tiroid, thyroglobulin
  • Stimulasi sintesis dan sekresi T3/T4
  • Meningkatkan ketebalan epitel folikel dan vaskularisasi kelenjar tiroid. Kelebihan TSH akan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid (goiter atau struma).

Kendali sekresi TSH melalui TRH

            Sekresi TSH juga dipengaruhi oleh hormon tiroid ditingkat hipofisis (umpan balik negatif) dan oleh beberapa hormon-hormon lain seperti cortisol, growth hormone dan oestrogen. Somatostatin dan dopamin juga mempunyai pengaruh inhibisi terhadap sekresi TSH.  Kadar TSH plasma normal berada dalam rentang antara 0,5 uU – 5 uU per ml (atau sekitar 10 pM). Hiposekresi TSH mengakibatkan gambaran klinis menyerupai defisiensi tiroid primer, sedangkan hipersekresi TSH akan memberikan gejala-gejala hipertiroidisme menyerupai penyakit Grave.

  1. Corticotrophin (Adrenocorticotrophic Hormone)

            Hormon peptida rantai tunggal ini terdiri dari 39 asam amino dan terbentuk dari molekul prekursor yang lebih besar, yaitu pre-pro-opiomelanocortin (POMC). Hormon ini bekerja merangsang korteks adrenal untuk mensekresi glukokortikoid (terutama kortisol) dan juga sejumlah kecil hormon-hormon seks (androgen dan oestrogen), melalui mediasi oleh reseptor-reseptor ACTH yang spesifik dengan afinitas tinggi yang terdapat dimembran sel adrenal. Saat ini sudah diproduksi sediaan sintetik yaitu tetracosactrin (Syncatherin) yang mengandung 24 sekuens asam amino dari ACTH.  Sediaan ini dapat diberikan secara i.m. atau i.v., yang digunakan secara klinis untuk menguji faal korteks adrenal.

 

Gambar 5.  Fragmen-fragmen hormon peptida yang merupakan derivat dari proteolisis molekul prekursor (prohormon) preproopio-melanocortin (POMC) didalam kelenjar hipofisis anterior.

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

                Beberapa fragmen peptida yang lain derivat dari prohormon POMC juga dilepaskan dari hipofisis bersamaan dengan ACTH dalam keadaan stres, antara lain b-lipotrophin (b-LPH) dan b-endorphin.

Beta-endorphin merupakan senyawa opioid endogen yang dalam keadaan normal diproduksi oleh otak dan jaringan lain dan berikatan dengan reseptor-reseptor yang sama yang berinteraksi dengan morfin, heroin dan obat-obat opioid yang lain. Opioid endogen yang diproduksi didalam susunan syaraf pusat diyakini mempunyai efek anti-nosiseptif dan analgetik. Kendali sekresi terutama melalui CRH dan diatur oleh cortisol melalui mekanisme umpan balik negatif secara langsung dan tidak langsung. Hambatan farmakologik dapat pula terjadi melalui pemberian analog kortikosteroid sintetik. Sekresi ACTH berlangsung menurut irama sirkadian, dimana kadar terendah terjadi pada tengah malam, kadar puncaknya terjadi sekitar jam 6 pagi.

 

 

Gambar 6. Kendali sekresi ACTH oleh CRH dan umpan balik negatif dari cortisol adrenal. Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

            Sekresi ACTH (dan produk2 POMC) dapat dipicu oleh stress misal trauma, nyeri, rasa takut atau hipoglikemi dan juga dapat dirangsang oleh peptida hipofisis posterior, yaitu vasopressin. Hiposekresi ACTH menyebabkan gangguan sekresi kortisol yang akan memberikan gejala penurunan daya tahan tubuh, penurunan respons terhadap stress dan depigmentasi kulit.

 

            Hipersekresi ACTH dapat terjadi karena mikro-adenoma hipofisis atau tumor non endokrin ektopik, yang akan menyebabkan sindrom Cushing. Bila sindrom Cushing terjadi karena adanya tumor hipofisis, keadaan ini disebut dengan penyakit Cushing, yang sekarang dapat diterapi dengan tindakan operatif (transsphenoidal)atau dengan terapi radiasi eksternal hipofisis. Bila tidak memungkinkan dilakukan operasi, pasien dapat diterapi dengan aminoglutethide (Orimeten), suatu inhibitor enzim aromatase yang juga dapat mempengaruhi sintesis steroid adrenal. Glukokortikoid dosis pemeliharaan dapat pula diberikan pada kasus ini. Dalam keadaan tertentu, dapat dilakukan adrenalektomi bilateral. Namun akan terjadi kehilangan efek umpan balik negatif dari kortisol terhadap tumor hipofisis, yang menyebabkan pertumbuhan tumor akan bertambah besar dan mensekresi lebih banyak ACTH, sehingga akan terjadi pigmentasi kulit yang berlebihan (timbul gejala-gejala dari sindrom Nelson). Pasien yang telah mengalami adrenalektomi total memerlukan suplementasi steroid adrenal seumur hidup (glukokortikoid dan mineralokortikoid) untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan.

  1. Prolactin

            Prolactin (PRL) merupakan rantai peptida tunggal (mengandung 198 asam amino) dengan struktur kimiawi sangat mirip dengan Growth Hormone (GH). Hormon ini terutama berperan dalam pertumbuhan kelenjar mamma, dan menginisiasi serta mempertahankan laktasi segera setelah melahirkan. Prolactin dilepaskan dari sel-sel mammotroph hipofisis dalam jumlah besar selama kehamilan (dibawah pengaruh estrogen sirkulasi). Refleks mengisap juga tergantung pada sensitisasi dari alveoli sekresi didalam payudara yang distimulasi oleh estrogen. Kendali sekresi hormon prolactin bersifat non spesifik yaitu melalui hypothalamic inhibiting and releasing factors. Prolactin dipengaruhi oleh efek inhibisi melalui sekresi dopamine dari hypothalamus,yaitu dari neuron-neuron dopaminergic menuju sirkulasi portal. Agonis reseptor dopamine yaitu bromocriptine efektif dalam mengendalikan sekresi prolactin yang berlebihan. Peptida dari hipofisis posterior yaitu oksitosin juga merupakan stimulan kuat terhadap prolactin. Sekresi dipicu oleh berbagai substansi seperti TRH, VIP dan juga oleh berbagai stres seperti rasa takut, hipoglikemi atau anestesi/ operasi.

Prolactin mempunyai efek umpan balik terhadap neuron-neuron sekresi dopamin di hipothalamus sehingga dapat menghambat sekresi prolactin itu sendiri lebih lanjut.  Sama seperti ACTH, kadar prolactin didalam plasma menunjukkan irama sirkadian yang jelas (kadar tertinggi pada malam hari) baik pada laki-laki maupun pada wanita yg tidak hamil. Irama sirkadian ini akan hilang selama kehamilan dan laktasi, dimana prolactin dilepaskan dengan kadar yang sangat tinggi. Hiposekresi prolactin menyebab-kan gangguan laktasi pada wanita menyusui. Hipersekresi prolactin (hyperprolactinemia) dapat terjadi akibat tumor hipofisis (prolactinoma) atau adanya kelainan di hipothalamus. Gejala utama hiperprolactinemia pada wanita dapat berupa infertilitas dan gangguan bahkan terhentinya menstruasi. Sedangkan pada laki-laki manifestasinya dapat berupa penurunan libido, gangguan produksi sperma dan impotensi.Overproduksi prolactin dapat pula menyebabkan laktasi berlebihan diluar masa kehamilan (galaktore). Keadaan ini dapat pula terjadi pada pengobatan dengan antidepresan dan tranquilizer tertentu seperti phenothiazine trifluoperazine (Stelazine) atau butyrophenone haloperidol (Serenace), karena kedua jenis obat ini dapat bekerja antagonis terhadap kerja dopamin dari hipothalamus. Efek sekresi prolactin berlebihan terhadap fungsi gonad diduga melalui cara :

  1. Inhibisi tidak langsung dari sekresi LH/FSH melalui hambatan sintesis dan sekresi GnRH
  2. Inhibisi langsung terhadap kerja LH/FSH di ovarii dan testes.

Pengobatan prolactinoma ditujukan langsung pada tumor yang mendasarinya (tindakan operatif atau radioterapi) atau secara tidak langsung dengan pemberian dopamine D2 receptor agonist bromocriptine (Parlodel) 1 – 10 mg per hari, yang diharapkan dapat menurunkan kadar prolactin plasma dan ukuran tumor, dan bahkan dapat mengembalikan fungsi normal dari gonad. Obat ini juga digunakan untuk menekan laktasi yg tidak diinginkan setelah melahirkan dan untuk pengobatan akromegali serta gangguan jinak siklikal kelenjar mammae. Saat ini juga telah tersedia dopamine D2 agonist yang lebih selektif  dan kerja lebih lama yaitu cabergoline (Dostinex) dan quinagolide (Norprolac). Bentuk injeksi lepas lambat dari bromocriptine juga telah tersedia yaitu Parlodel-LAR yang dapat diberikan secara intramuskular.

 

  1. Growth Hormone

            Growth hormone (GH; somatotrophin) merupakan hormon trofik dari hipofisis yang sangat penting karena dapat mempengaruhi berbagai jaringan target diseluruh tubuh. Hormon ini merupakan hormon peptida rantai tunggal yang mengandung 191 asam amino dengan 2 jembatan disulfida. GH merangsang pertumbuhan linear tulang (terutama tulang-tulang panjang) melalui stimulasi pertumbuhan dan kalsifikasi sel-sel kartilago epifisis tulang. GH juga mempengaruhi pertumbuhan organ-organ viseral, jaringan adiposa dan jaringan ikat, kelenjar-kelenjar endokrin lain dan otot rangka. Growth Hormone berada dalam kadar tertinggi pada masa kanak-kanak dan pubertas (penting untuk perkembangan normal gonad) dan selanjutnya menurun secara perlahan sepanjang kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa GH tidak begitu penting untuk kesehatan normal pada orang dewasa. Namun, beberapa temuan terbaru menunjukkan bahwa defisiensi GH mempunyai peran dalam berbagai gejala proses menua dan pengobatan individu usia lanjut dengan GH dilaporkan memberikan efek menguntungkan dalam memperbaiki komposisi tubuh dan kepadatan tulang.

Overproduksi GH pada usia muda akan menyebabkan pertumbuhan tubuh yang abnormal yang dikenal dengan gigantisme. GH juga merupakan antagonis terhadap  kerja insulin dijaringan perifer (dapat meningkat-kan kadar glukosa darah), sehingga dikenal juga sebagai hormon yang bersifat diabetogenik. Pasien yang mengalami overproduksi GH dapat mengalami hiperglikemi ringan dan resistensi insulin. Growth Hormone mempunyai efek terhadap metabolisme protein, karbohidrat dan lipid, sebagai berikut :

  1. Stimulasi terhadap ambilan asam amino dan sintesis protein didalam sel (terutama didalam otot rangka dan hati).
  2. Stimulasi terhadap lipolisis didalam jaringan lemak, dengan akibat meningkatnya kadar asam lemak bebas didalam plasma.
  3. Menurunkan ambilan glukosa oleh jaringan otot dan lemak.
  4. Meningkatkan glukoneogenesis didalam hati.

            Kerja GH pada pertumbuhan tulang dan jaringan lunak perifer secara tidak langsung dimediasi oleh insulin-like growth factors (IGFs), yang terutama diproduksi oleh hati dan ginjal yang selanjutnya ditranspor kedalam plasma dalam keadaan terikat dengan protein-protein pengikat yang spesifik. IGF utama adalah IGF-1 atau somatomedin-C yang merupakan peptide dengan 70  gugus asam amino,  dimana struktur molekulnya menyerupai molekul precursor insulin yaitu proinsulin.  Reseptor spesifik untuk IGF-1 dapat ditemukan didalam otot rangka, sel-sel adiposa dan kartilago (kondrosit), bekerja memediasi peningkatan sintesis DNA dan pembelahan sel didalam jaringan-jaringan ini. GH juga dapat bekerja secara langsung pada beberapa jaringan (misal otot rangka dan jaringan adiposa) untuk memodulasi pertumbuhan sel melalui interaksi dengan reseptor spesifik didalam membran sel target.  Kendali sekresi GH terjadi secara pulsatif yaitu melalui releasing hormone Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) dan inhibiting hormone Somatostatin (SS) dari hipothalamus. Sekresi GH juga dapat terjadi pada keadaan stress metabolic (misal pada keadaan hipoglikemi, kedinginan, tindakan operatif dan latihan jasmani berat), selama onset tidur yang dalam dan pada keadaan meningkatnya kadar asam amino tertentu terutama arginin dan leucine.

            Respon terhadap latihan fisik lebih besar pada wanita dibandingkan pria, hal ini terutama karena bertambahnya efek estrogen terhadap sekresi Growth Hormone.Growth Hormone  tidak mempunyai kelenjar target yang spesifik, oleh karena itu tidak ada kendali umpan balik oleh hormon kelenjar target. Growth Hormone dapat mengendalikan sekresinya sendiri melalui umpan balik pendek pada hypothalamus untuk merangsang sekresi somatostatin.  

                Somatomedin dapat juga mempengaruhi sekresi GH melalui inhibisi aksi GHRH pada tingkat hipofisis, dan juga secara tidak langsung melalui promosi sintesis dan sekresi somatostatin dari hipothalamus. Uji toleransi insulin yaitu dengan injeksi insulin intravena (dosis 0,1 U/kg) diberikan dibawah pengawasan yang  ketat sampai terjadi penurunan kadar glukosa darah ≤ 40 mg/dl. Pada hipofisis normal,  akan terjadi rangsangan sekresi Growth Hormone. Respons ini mengalami penurunan atau hilang pada pasien dengan kelainan hipofisis. Pengukuran kadar IGF-1 serum juga dapat digunakan sebagai penanda yang baik dari gangguan sekresi Growth Hormone.

 

 

5.a. Hiposekresi Growth Hormone

            Pada anak-anak disebabkan karena disfungsi hypothalamus atau hipofisis yang menyebabkan gangguan pertumbuhan (dwarfism), ditandai dengan perawakan pendek (short stature), obesitas dan hipoglikemia. Dwarfism dapat diobati dengan inisiasi terapi pengganti human GH (sangat mahal). Hormon somatotropin yang otentik saat ini dipersiapkan secara biosintetik didalam bakteri melalui teknologi DNA rekombinan (Homatrope) dan diberikan berdasarkan berat badan (0,5 – 0,7 I.U. /kg BB), injeksi subkutan selama beberapa tahun.

            Penggunaan GH yang berasal dari hipofisis cadaver manusia sekarang sudah ditinggalkan (karena risiko terjadinya transmisi partikel prion dari penyakit Creutzfeldt-Jakob, salah satu bentuk dementia presenilis. Pada beberapa kasus yang jarang, dwarfism (tipe Laron) dapat juga terjadi akibat produksi polipeptida IGF yang tidak adekuat dalam merespons kadar GH plasma yang normal (suatu bentuk resistensi terhadap GH). Keadaan ini tidak dapat merespons pemberian GH eksogen, tetapi dapat diobati dengan pemberian IGF-1 intravenous atau subkutan.

 

5.b.Hipersekresi Growth Hormone

            Keadaan ini terjadi akibat tumor hipofisis jinak (adenoma); atau akibat sekresi ektopik GH atau GHRH dari tumor neuro-endokrin lain. Pada pasien-pasien usia muda keadaan ini  dapat menyebabkan gigantisme, karena pertumbuhan berlebihan dari tulang-tulang panjang (yang pernah tercatat pada usia 22 tahun dengan tinggi 8 kaki 11 inchi). Anak cenderung menjadi tinggi dengan lengan dan tungkai yang panjang, namun fisiknya lemah. Bila terjadi pada usia dewasa, tulang-tulang panjang tidak tumbuh memanjang, melainkan akan terjadi pertumbuhan tulang dan jaringan lunak yang abnormal yang menyebabkan gambaran muka yang kasar (kening yang lebar, hidung membesar, rahang yang menonjol, bibir dan lidah yang membesar), tangan dan kaki membesar dan pertumbuhan berlebihan dari organ-organ dalam seperti jantung dan ginjal, dan pasien dapat menderita diabetes melitus. Keadaan ini dikenal dengan akromegali, yang dapat berkembang secara perlahan dalam beberapa tahun; pembesaran tumor hipofisis bahkan dapat menyebabkan sakit kepala dan gangguan lapangan penglihatan. Kadar IGF-1 plasma mengalami peningkatan pada kebanyakan pasien.

            Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan uji supresi glukosa yaitu dengan cara sebagai berikut :

  • Pasien diberikan larutan 50 -100 gram glukosa setelah puasa pada malam hari.
  • Dilakukan pemeriksaan kadar GH plasma setelah 60 menit.
  • Pada individu normal, meningkatnya beban glukosa akan menurunkan kadar GH plasma sampai ≤ 5 ng/ml; meningkatnya kadar GH ≥ 10 ng/ml dapat dipakai sebagai kriteria diagnosis hipersekresi GH.

            Pengobatan tumor hipofisis meliputi pembedahan (trans-sphenoidal atau transfrontal) dan/atau radioterapi. Untuk kasus-kasus yang ringan dapat diberikan agonis reseptor dopamine bromocriptine (Parlodel) secara oral (10-20 mg perhari), yang efektif menurunkan kadar GH. Efek samping yang umum ditemukan antara lain  nausea, konstipasi dan kongesti nasal. Bromocriptine dapat pula digunakan untuk mengobati gejala-gejala yang terjadi akibat terapi radiasi. Pengobatan pasien akromegali dengan analog somatostatin sintetik octreotide (Sandostatin, 0,1 sampai 0,2 mg yang diberikan secara subkutan, 3 – 4 kali sehari) untuk menurunkan hipersekresi GH dan ukuran tumor, dapat diberikan sebelum dilakukan intervensi bedah.

            Saat ini sudah tersedia pula sediaan somatostatin kerja panjang (long acting release, Sandostatin LAR) yang diharapkan dapat mem-perbaiki kualitas pengobatan.

  1. Hormon-hormon Hipofisis Posterior

            Hipofisis posterior (neurohipofisis) tidak mensintesis hormon, tetapi mengandung sejumlah besar serat-serat syaraf tidak bermyelin yang berasal dari badan-badan sel syaraf yang berlokasi didalam nucleus supra optik (supra optic nuclei = SON) dan nucleus paraventricular (nuclei paraventricular) di hipothalamus. Serat-serat syaraf ini membentuk tractus hypothalamo-hypophysis didalam tangkai hipofisis (pituitary stalk). Neuron-neuron ini mensintesis 2 hormon nonapeptida (terdiri dari 9 asam amino), yaitu vasopressin dan oksitosin, yang kemudian ditranspor sebagai granul-granul sekresi yang berikatan dengan protein (neurophysin), untuk selanjutnya dikumpul-kan pada ujung-ujung syaraf didalam hipofisis posterior. Hormon-hormon ini dilepaskan melalui proses eksositosis kedalam aliran darah kapiler yang berada disekitar ujung-ujung syaraf. Hipofisis posterior juga mengandung sejumlah sel neuroglia non-sekresi (pituicytes) yang tersebar diantara serat-serat syaraf.

  1. Vasopressin

            Kerja utama vasopressin (disebut juga arginine vasopressin, AVP) adalah merangsang reabsorpsi air dari tubulus distal dan ductus collectivus ginjal, sehingga dapat mengurangi volume urin dan mempertahankan cairan tubuh, oleh karena itu AVP disebut juga sebagai antidiuretic hormone (ADH). Efek anti diuretik ini dimediasi oleh reseptor AVP spesifik (tipe V2) yang terdapat dipermukaan sel tubulus, yang berhubungan dengan peningkatan cAMP intraselular. Dalam jumlah yang besar, AVP mempunyai kerja vasokonstriktor langsung terhadap pembuluh darah dan dapat meningkatkan tekanan darah sistemik. Efek ini (yang dimediasi oleh AVP V1a-type receptor, yang berhubungan dengan produksi IP3), diduga berperan dalam mempertahankan tonus vaskular pada kasus-kasus perdarahan berat. AVP juga bisa memfasilitasi sekresi ACTH dari hipofisis anterior sebagai respons terhadap Corticotropin Releasing Hormone dari hypothalamus (yang dimediasi melalui V1b type receptor).

Kendali sekresi AVP terutama dipengaruhi oleh :

  1. Osmolaritas plasma (terutama karena perubahan kadar Na+ plasma), yang diatur oleh neuron-neuron osmoreseptor khusus di hypothalamus yang terhubung dengan nucleus supra optic. Peningkatan yang ringan dari osmolaritas (1-2%) akan meningkatkan sekresi dari AVP sehingga mengurangi pengeluaran urin dan sebaliknya.
  2. Volume darah/ tekanan arteri : rangsangan sensorik yang berasal dari arteri dan vena sistemik, serta baroreseptor atrial (stretch-sensitive) secara normal menghambat sekresi AVP melalui proyeksi syaraf otonom afferent menuju nucleus supra optic. Volume plasma atau tekanan yang rendah akan menurunkan stimulasi baroreseptor yang akan meningkatkan kadar AVP didalam sirkulasi. Meningkatnya sekresi AVP juga dapat terjadi sebagai respons terhadap : nyeri berat, ketakutan, nausea, anestesi umum atau obat-obat/ neurotransmitter tertentu seperti nikotin, morfin (dan opiate lain), angiotensin II, prostaglandin E2 dan noradrenalin. Sebaliknya alcohol dapat menghambat sekresi AVP (dikenal dengan alcohol-induced diuresis). Meningkatnya AVP didalam serum juga dapat merangsang sekresi peptide dari serat-serat otot atrium yang dikenal dengan atrial natriuretic peptide (ANP) yang menyebabkan peningkatan ekskresi Na+ dan air oleh ginjal (natriuresis) serta vasodilatasi. Jadi jantung dapat berperan sebagai organ endokrin penting. ANP menghambat sekresi AVP oleh hipofisis posterior, dan dapat bekerja mengendalikan sekresi AVP.
  1. Hiposekresi AVP

                Hiposekresi dari AVP, yang disebabkan karena kerusakan atau disfungsi hipothalamus, misal akibat adanya tumor, dapat menyebabkan diabetes insipidus, suatu keadaan dimana terjadi diuresis dalam jumlah yang banyak (10 sampai 15 liter perhari). Pasien akan mengalami polyuria dan polydipsia. Pengobatan hiposekresi AVP dapat dilakukan dengan pemberian vasopressin sintetik (Pitressin) injeksi subkutan atau intramuskular atau dengan analog vasopressin lypressin (Syntopressin) intranasal atau desmopressin (Desmospray) dalam bentuk larutan nasal spray. Efek samping yang dapat menyertai pemberian obat-obat ini antara lain mual, kongesti hidung dan defekasi.

 

 

  1. Hipersekresi AVP

            Keadaan yang jarang terjadi akibat gangguan produksi AVP, dikenal dengan sindrom Schwartz-Bartter atau SIADH : syndrome of inappropriate ADH) yang ditandai :

  • retensi air yang berlebihan (osmolaritas serum rendah)
  • hiponatremia
  • penurunan kemampuan ekskresi urin (osmolaritas serum yang tinggi)
  • kelemahan
  • letargi
  • sakit kepala
  • berat badan bertambah
  • anorexia
  • pada kasus yang berat —> konfusi, kejang2, koma, meninggal akibat edema serebri.

            Kadar AVP yang tinggi dapat terjadi akibat tumor ektopik yang mensekresi AVP (neoplasma bronkhial maligna), penyakit-penyakit paru tertentu (pneumonia, bronkitis akut, lesi otak yang mempengaruhi fungsi osmoreseptor (trauma kepala) atau akibat terapi antidepresan/ anti psikotik (misal : fluoxetine, sertraline, imipramine, amitryptyline, haloperidol). Pengobatan hipersekresi AVP dapat berupa pengangkatan tumor atau pengobatan terhadap keganasan yang mendasarinya. Sebagai alternatif, restriksi cairan dengan pemberian infus cairan hipertonik (3%) bersamaan dengan pemberian loop diuretic; furosemide atau pemberian antagonis AVP demeclocycline (Ledermycin).

  1. Oksitosin

            Walaupun oksitosin mempunyai struktur yang menyerupai AVP, secara fisiologik mempunyai fungsi yang berbeda. Fungsinya dimediasi melalui reseptor spesifik yang terdapat pada sel-sel target (yang berhubungan dengan sistem messenger kedua IP3). Hormon ini dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin, namun saat ini efeknya yang jelas hanya diketahui pada wanita. Oksitosin merangsang kontraksi ritmik dari otot-otot  polos uterus pada saat persalinan dan pengeluaran ASI sebagai respons terhadap isapan bayi melalui kontraksi sel-sel mioepithel yang terdapat didalam epitel sekresi alveoli kelenjar mammae. Oksitosin juga memicu inisiasi dari proses melahirkan. Aktivasi dari ujung2 syaraf sensorik didalam puting susu pada saat menyusui dan otot2 polos uterus pada saat melahirkan, akan merangsang sekresi oksitosin dari hipofisis posterior. Refleks ini merupakan contoh yang baik dari mekanisme umpan balik neurogenik. Gangguan sekresi oksitosin jarang ditemukan. Oksitosin sintetik (Syntocinon) saat ini tersedia untuk penggunaan klinis dalam bentuk injeksi, diberikan melalui infus lambat intravena untuk induksi persalinan pada saat kontraksi uterus tidak adekuat. Juga dapat digunakan untuk merangsang kontraksi uterus setelah melahirkan untuk mengeluarkan plasenta, sehingga mengurangi risiko perdarahan uterus post partum.

 

Bab 4

Kelenjar adrenal

  1. Struktur dan Histologi

            Kelenjar adrenal (suprarenal) terletak pada kutub atas masing-masing ginjal, yang tertanam dalam jaringan lemak dan mendapat suplai darah arteri dari aorta dan arteri renalis. Masing-masing kelenjar dengan berat antara 6 sampai 10 gram terdiri dari korteks dan medulla yang mensekresi hormon yang berbeda (steroid dan katekolamin). Syaraf simpatis preganglion  mempersyarafi medulla adrenal yang mensekresi adrenalin (80%) dan noradrenalin (20%). Sedangkan korteks adrenal terdiri dari 3 lapisan sel yang terpisah menjadi 3 zona, yaitu :

  1. Lapisan luar (zona glomerulosa) yang mensekresi mineralokortikoid yang berperan dalam mempertahankan keseimbangan elektrolit (Na+/H2O).
  2. Lapisan tengah (zona fasciculata) yang mensekresi glukokortikoid yang berperan dalam mengatur metabolisme protein dan karbohidrat. Zona fasciculata juga mensekresi beberapa sex steroid.
  3. Lapisan dalam (zona reticularis), mensekresi glukokortikoid dan beberapa sex steroid.

            Sekresi hormon sex steroid dari adrenal (testosteron, dehydroepiandrosterone, estradiol dan progesteron) relatif lebih kecil jumlahnya dan secara fisiologik tidak bermakna dibandingkan dengan sekresi hormon-hormon ini dari testes dan ovarium. Namun pada wanita, pertumbuhan rambut pubis dan ketiak sangat tergantung dengan sekresi androgen adrenal. Zona glomerulosa, merupakan bagian paling tipis yang terletak tepat dibawah kapsul jaringan ikat yang mengelilingi kelenjar adrenal. Terdiri dari lapisan sel-sel kecil, berbentuk oval yang tersusun dalam kelompok-kelompok kecil, menghasilkan hormon mineralokortikoid aldosteron, yang berperan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit didalam tubuh.  Zona fasikulata, merupakan lapisan yang paling tebal dan terdiri dari sel-sel besar yang tersusun secara radial yang dikelilingi oleh anyaman kapiler pembuluh darah. Sitoplasma dari sel-sel ini mengandung droplet-dropletlemak, yang merupakan depot penyimpanan untuk sintesis steroid glukokortikoid.

            Hormon ini berperan penting dalam mempertahan-kan kehidupan dan mengatur metabolisme karbohidrat dan protein. Lapisan yang paling dalam yaitu zona retikularis terdiri dari sel-sel epitel yang lebih kecil yang dikelilingi pula oleh anyaman-anyaman kapiler diantaranya. Sel-selnya berukuran lebih kecil dan lebih sedikit mengandung droplet-droplet lemak.  Medulla adrenal (secara embriologi berasal dari jaringan crista neuralis) yang terdiri dari kelompok sel-sel kromafin yang menghasilkan katekolamin, dikelilingi oleh jaringan serat-serat retikular, pembuluh darah serta serat-serat syaraf otonom. Sel-sel kromafin ini menyimpan adrenalin dan noradrenalin. Sejumlah kecil neuron ganglion simfatis dapat pula ditemukan didalam jaringan medulla adrenal. Disebut sel kromafin karena pada pengecatan dengan garam-garam kromium menunjukkan gambaran granul-granul kromafin (diameter 100 – 300 nm) yang berwarna coklat. Sekresi katekolamin kedalam aliran darah terjadi sebagai respons langsung terhadap stimulasi serat-serat syaraf simfatis preganglionik (kolinergik) sebagai bagian dari respons terhadap stress.

 

  1. Biosintesis dan sekresi hormon-hormon korteks adrenal

                Semua hormon korteks adrenal merupakan steroid polisiklik yang terbentuk dari kolesterol dan mengandung inti steroid yang sama yaitu 17-carbon cyclopentanoper-hydrophenanthrene. Beberapa kolesterol juga dibentuk secara intrinsik dari asetat dan acetylcoenzyme A. Tahap awal biosintesis hormon terjadi didalam sel-sel korteks adrenal, namun hasil akhirnya dapat bervariasi tergantung dari jenis rantai karbon samping atau gugus rantai karbon yang melekat pada posisi C17. Umumnya, senyawa C21 mempunyai aktivitas glukokortikoid, mineralokortikoid atau progestogenik. Senyawa C19 biasanya mempunyai aktivitas androgenik (maskulinisasi). Senyawa C18 mempunyai aktivitas oestrogenik (feminisasi). Rantai ganda antara C4-C5 dan gugus keton pada C3 sangat menentukan aktivitas adrenokortikoid normal dimana glukokortikoid yang kuat umumnya juga memerlukan gugus hidroksil pada posisi 11 dan 21, sementara mineralokortikoid yang aktif memerlukan gugus aldehid pada posisi 18. Hormon-hormon steroid bukan merupakan molekul yang berbentuk datar, melainkan mempunyai bentuk tiga dimensi yang kompleks.

Steroid adrenal tidak disimpan didalam sel-sel korteks adrenal, melainkan segera dilepaskan setelah disintesis. Kecepatan sintesis dan sekresi glukokortikoid (terutama kortisol) dikendalikan oleh hormon ACTH (kortikotrofin) dibawah kendali umpan balik negatif. Efek ACTH pada sel-sel adrenal dimediasi oleh reseptor membran yang spesifik. ACTH juga diperlukan untuk pertumbuhan normal dan mempertahankan fungsi korteks adrenal (efek trofik), yang mungkin akan mengalami atrofi setelah operasi hipofisis. Sekresi kortisol, menunjukkan irama sirkadian dimana kadarnya tertinggi didalam darah terjadi pada pagi hari sebelum bangun tidur. Sebaliknya, regulasi sekresi mineralokortikoid terutama aldosteron, dimediasi oleh sistem renin angiotensin yang  melibatkan ginjal. Baik glukokortikoid maupun mineralokortikoid terikat dengan protein plasma didalam sirkulasi darah (terutama transcortin, suatu a2-globulin dan albumin), hanya menyisakan sekitar 10% yang dalam bentuk bebas dan aktif secara metabolik. Aldosteron juga mempunyai suatu specific binding globulin, walaupun afinitas ikatannya tidak terlalu kuat.

Kadar kortisol plasma bebas (100-700 nmol/l pada jam 9 pagi) 2000 kali lebih besar dibandingkan kadar aldosterone plasma (50 – 300 pmol/l).

  1. Glukokortikoid

                Kortisol (dikenal juga hidrokortison) merupakan glukokortikoid utama yang dihasilkan pada manusia, walaupun beberapa kortikosteron juga diproduksi.

Fungsi utama glukokortikoid adalah :

  1. Mengendalikan metabolism karbohidrat, protein dan lemak
  2. Supresi proses inflamasi jaringan dalam merespons cidera
  3. Supresi respons imun terhadap antigen-antigen asing
  4. Meningkatkan kemampuan tubuh untuk menahan berbagai rangsangan yang membahayakan (stress).

Kerja anti inflamasi dan imunosupresi dari glukokortikoid  hanya terjadi pada kadar yang tinggi atau dosis terapetik.

  1. 1. Metabolisme Karbohidrat

            Kortisol meningkatkan kadar glukosa darah melalui cara stimulasi pembentukan glukosa didalam hati (gluconeogenesis) dari precursor asam amino sirkulasi, dan perangsangan simpanan glikogen didalam hati.

Efek ini dicapai melalui rangsangan produksi enzim-enzim metabolic tambahan yang terlibat dalam gluconeogenesis dan sintesis glikogen.  Kortisol juga mempunyai kerja antagonis terhadap insulin dalam perangsangan ambilan glukosa kedalam otot dan jaringan adipose; semakin lama kerja kortisol akan menyebabkan semakin meningkatnya kadar glukosa darah (terjadi hiperglikemi).

  1. 2. Metabolisme protein

            Kortisol menghambat ambilan asam amino dan sintesis protein didalam jaringan perifer. Kortisol juga merangsang pemecahan protein didalam otot, kulit dan tulang dengan hasil akhir sekresi asam amino kedalam darah (yang digunakan untuk proses gluconeogenesis). Sintesis glukosa justeru terjadi pada keadaan meningkatnya katabolisme protein. Peningkatan kadar kortisol dapat menyebabkan pemecahan otot dan hilangnya protein (kolagen) dari kulit dan dinding kapiler serta matriks tulang.

C.3. Metabolisme Lemak

            Kortisol merangsang pemecahan lemak (lipolisis) didalam jaringan adiposa, dengan cara melepaskan asam lemak dan gliserol (yg digunakan untuk proses glukoneogenesis, disamping menghambat sintesis lemak). Kortisol yang berlebihan dapat menyebabkan redistribusi lemak tubuh abnormal dimana terjadi peningkatan timbunan lemak di muka dan perut dan antara kedua bahu, yaitu gejala-gejala dari sindrom Cushing.

C.4. Efek metabolik glukokortikoid meliputi :

  1. 4.1. Efek Anti inflamasi dan Imunosupresif

            Kortisol (dan glukokortikoid yang lain) bila diberikan dalam dosis farmakologik yang relatif tinggi, dapat menghambat proses inflamasi normal yang terjadi pada saat jaringan mengalami kerusakan. Efek ini mendasari penggunaan  kortikosteroid dalam pengobatan kondisi inflamasi kronik berat seperti penyakit-penyakit  rematik  (demam rematik dan  rheumatoid arthritis), rinitis alergika dan kelainan-kelainan kulit eksimatus.

                Saat ini telah tersedia glukokortikoid sintetik untuk penggunaan sistemik dan topikal, antara lain :

  1. Prednisolon
  2. Betametazon
  3. Deksametazon
  4. Triamsinolon
  5. Beklometazon
  6. Fluokinolon

            Penambahan gugus 9a-fluoro kedalam cincin steroid (seperti dalam betametazon, deksametazon atau triamsinolon) menambah aktivitas anti inflamasi dari steroid.

C.4.1.1. Efek anti inflamasi

            Mekanisme yang mendasari efek anti-inflamasi dari glukokortikoid bervariasi dan kompleks sebagaimana rangkaian reaksi tubuh yang terlibat dalam merespons inflamasi itu sendiri. Efek ini adalah sebagai reaksi pertahanan primer dari jaringan terhadap cidera, organisme berbahaya atau substansi-substansi kimiawi dan agen-agen antigenik lain, agar jaringan tubuh penjamu terlindung dari kerusakan yang lebih lanjut. Inflamasi ditandai dengan warna kemerahan, panas, edema dan nyeri pada daerah trauma, yang menunjukkan vasodilatasi lokal, keluarnya protein dan cairan dari mikrokapiler dan venula, sekresi mediator-mediator inflamasi, peningkatan aliran darah untuk memfasilitasi sekresi lekosit fagositik (seperti netrofil) dan faktor-faktor serum ke daerah cidera. Mekanisme  pertahanan tubuh terutama diinisiasi dengan produksi prostaglandin, tromboksan, platelet activating factor (PAF)

dan lekotrien yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak asam arakidonat. Glukokortikoid diketahui bekerja menghambat sintesis dan sekresi mediator-mediator inflamasi dengan cara menekan aktivitas enzim fosfolipase A2 (PLA2) yang terlibat dalam pembentukan asam arakidonat dari fosfolipid membran sel (phosphatidyl choline). Efek ini dimediasi secara tidak langsung melalui induksi suatu fosfoprotein lipocortin-1, yang menghambat aktivitas PLA2 dan juga secara langsung melalui hambatan sintesis inducible PLA2. Hambatan produksi enzim siklo-oksigenase 2 (COX-2), suatu bentuk inducible dari enzim yang bekerja mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin pro-inflamasi. Faktor-faktor lain yang berkontribusi memberikan efek anti-inflamasi termasuk :

  1. Stabilisasi membran lisosom intraselular, yang mencegah sekresi enzim2 lisosomal proteolitik didalam jaringan yang mengalami keradangan.
  2. Penurunan rekrutmen dan aktivitas fagositik dari lekosit pada tempat spesifik dari inflamasi jaringan, karena menurunnya sekresi kemoatraktan dan activator-aktivator sel endotel.
  3. Penurunan proliferasi dan deposit serat-serat kolagen oleh fibroblas pada daerah cidera.
  4. Penurunan sintesis mediator-mediator inflamasi (sitokin-sitokin) seperti granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), tumor necrosis factor-a (TNF-a) dan interleukin-1,6 dan 8 (IL-1,IL-6,IL-8) yang terlibat dalam inisiasi dan peningkatan proses inflamasi.

Cyclo-oxygenase (COX) saat ini dikenal ada 2 jenis yaitu COX-1 dan COX-2 :

COX-1 diekspresikan pada banyak jaringan dan mempunyai fungsi fisiologik yang penting meliputi penyediaan sejumlah kecil prostaglandin yang diperlukan untuk proteksi lambung, agregasi platelet dan kontrol terhadap aliran darah ginjal.

COX-2 hanya terdapat dalam kadar yang rendah didalam jaringan normal, yang secara lokal diinduksi oleh rangsangan proinflamasi (seperti sitokin-sitokin, growth factor, dan endotoksin bakteri). Kortikosteroid menghambat aktivitas COX-2 dan produksi prostaglandin, sehingga memberikan efek anti-inflamasi yang kuat. Obat-obat anti-inflamasi non steroid yang saat ini dikembangkan, seperti Meloxicam, juga menunjukkan efek selektif terhadap     COX-2 dan banyak digunakan untuk terapi artritis rematoid serta kondisi-kondisi inflamasi lain, sedangkan efek samping pada ginjal dan lambung akibat hambatan terhadap COX-1 lebih sedikit (minimal). Pada dosis tinggi, glukokortikoid dapat juga memiliki efek antialergi, karena efeknya terhadap hambatan perkembangan dan migrasi sel-sel mast serta pembentukan dansekresi histamin dari granul-granul sel mast. Efek ini walaupun onsetnya lambat, dapat bermanfaat sebagai  terapi tambahan (bersama dengan adrenalin) pada kasus-kasus kegawatdaruratan asma yang berat dan syok anafilaktik. Pada kasus-kasus ini, hidrokortison dapat diberikan secara perlahan melalui injeksi intravena.

C.4.1.2. Efek Imunosupresif

Dosis terapetik dari glukokortikoid memberikan efek utama terhadap sel-sel limfosit yang terlibat dalam respons imun, yaitu dengan cara menghambat sintesis dan kerja dari faktor-faktor peptida esensial yang dibutuhkan untuk merangsang proliferasi dan maturasi sel-sel limfosit T didalam jaringan limfe sebagai respons terhadap adanya antigen. Faktor-faktor ini meliputi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-a (TNF-a), yaitu sitokin-sitokin yang dilepaskan dari antigen presenting macrophages, serta interleukin-2 (IL-2), yaitu limfokin yang dilepaskan dari sel-sel T. Hal ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel-sel T didalam sirkulasi dan juga limfosit B (yang berasal dari sumsum tulang), sehingga akan menurunkan produksi antibodi (imunosupresi). Hambatan langsung dari pembentukan antibodi dan penghancuran sel-sel limfosit T dan B dapat terjadi pada pemberian glukokortikoid dosis tinggi. Pengurangan ukuran kelenjar thymus (dan jaringan limfoid yang lain) dapat juga terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis terapetik yang tinggi. Glukokortikoid juga mempengaruhi interaksi mediator-mediator  limfokin penting yang diproduksi oleh limfosit T dengan sel-sel targetnya, seperti faktor-faktor aktivasi dan migrasi makrofag, faktor-faktor B-cell helper dan immune interferon-g, yang merupakan suatu molekul anti-virus yang penting. Efek imunosupresif dari glukokortikoid memberikan manfaat terapetik, antara lain :

  1. Untuk terapi berbagai penyakit-penyakit otoimun.
  2. Untuk mencegah penolakan (rejeksi) jaringan pada operasi transplantasi.

C.4.1.3. Respons terhadap stres.

Stres berat yang terjadi seperti pada trauma akut, pembedahan besar, infeksi berat, rasa nyeri hebat, perdarahan, hipoglikemi, demam dan rangsangan emosional dapat meningkatkan kadar kortisol plasma (melalui mekanisme umpan balik negatif dari poros hipofisis-hipothalamus). Hal ini merupakan upaya proteksi tubuh terhadap kondisi stres tersebut. Pada pasien-pasien yang mengalami adrenalektomi dapat terjadi stres berat yang berakibat fatal, kecuali sebelumnya diberikan terapi glukokortikoid. Disamping peningkatan kadar glukosa darah dan asam lemak bebas untuk sumber energi, timbulnya efek protektif kortisol terhadap stres masih belum diketahui sepenuhnya. Bukti terbaru menunjukkan bahwa hambatan produksi sitokin dan mediator-mediator inflamasi lain oleh glukokortikoid, merupakan komponen penting dari respons proteksi terhadap stres. Produksi sitokin-sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a terbukti secara langsung akan merangsang sekresi CRH dan ACTH dari poros hipothalamus-hipofisis selama terjadinya stres inflamasi/ imun. Hal ini menunjukkan adanya hubungan regulasi yang penting antara sistem imun dan sistem syaraf pusat.

Penghentian tiba-tiba dari terapi jangka panjang kortikosteroid dapat menyebabkan insufisiensi adrenal. Penurunan dosis secara bertahap selama beberapa minggu atau beberapa bulan diharapkan dapat mencegah terjadinya insufisiensi adrenal.

C.4.1.4. Mekanisme kerja

            Kortisol bekerja melalui membran sel target dan berinteraksi dengan C-terminal dari glucocorticoid receptor protein (GR) yang berada didalam sitosol. Perubahan konformasi didalam domain ikatan DNA dari protein memungkinkan kortisol melakukan translokasi kedalam inti sel dan berikatan secara reversibel dengan glucocorticoid response elements (GREs) pada molekul-molekul DNA target, dengan hasil akhir berupa induksi atau represi dari transkripsi gen. Dalam keadaan tidak adanya glukokortikoid, reseptor glukokortikoid mengalami inaktivasi karena pengaruh protein blokade ( yaitu Hsp-90, suatu heat shock protein ), yang juga  berperan penting mem-pertahankan aktivitas pengikatan steroid normal dari reseptornya. Penemuan terbaru menunjukkan bahwa reseptor glukokortikoid (seperti reseptor-reseptor hormon steroid lain) sebagian mengalami keadaan fosforilasi dalam keadaan tidak adanya ligand, dan mengalami hiperfosforilasi (oleh kinase intrasel) dalam keadaan adanya hormon. Keadaan ini selanjutnya akan memicu perubahan-perubahan aktivitas transkripsi dari reseptor. Penurunan aktivitas faktor transkripsi gen AP-1 (activator protein-1), telah diketahui merupakan mekanisme yang mendasari kerja anti-inflamasi dan imunosupresi dari glukokortikoid. Aktivasi reseptor glukokortikoid akan membentuk kompleks protein-protein dengan AP-1 didalam inti sel, sehingga akan menghambat efek aktivasi dari AP-1 terhadap transkripsi gen.

  1. Hiposekresi glukokortikoid

D.1. Insufisiensi korteks adrenal (hipoadrenalisme). Walaupun agak jarang ditemukan, dapat terjadi secara :

  • Primer, karena penyakit adrenal autoimun yang dapat mengenai korteks adrenal, dikenal dengan penyakit Addison.
  • Sekunder, karena penurunan kadar ACTH (dapat terjadi akibat mekanisme umpan balik negatif pada poros hipothalamus-hipofisis selama terapi kortikosteroid jangka panjang atau akibat hipofungsi hipofisis.

 

            Insufisiensi adrenal primer juga dapat terjadi sebagai akibat dari :

  • infiltrasi metastatik,
  • penyakit granulomatosa yang mengenai kelenjar adrenal seperti (tbc, histoplasmosis,dan sarkoidosis),
  • perdarahan akut kelenjar adrenal yang dapat disebabkan karena septikemi meningokok atau terapi obat antikoagulan,
  • adrenalitis yang terjadi pada AIDS,
  • atau gangguan kongenital dari respons terhadap ACTH.

            Kelainan protein reseptor ACTH pada kelenjar adrenal merupakan penyebab dari familial glucocorticoid deficiency (FGD), suatu sindrom herediter yang jarang, ditandai dengan insensitivitas kelenjar adrenal terhadap ACTH.

Gambaran klinis Penyakit Addison, meliputi :

  1. Kelemahan otot, hipotensi postural dan dehidrasi (karena defisiensi aldosteron), salt craving, hipoglikemi.
  2. Anoreksia dan penurunan berat badan.
  3. Mual, muntah, diare, demam dan nyeri perut.
  4. Lesu dan lelah.
  5. Kadar kortisol plasma yang rendah, disertai peningkatan kadar ACTH. Autoantibodi adrenal juga dapat ditemukan didalam serum.
  6. Peningkatan pigmentasi kulit (kekurangan kortisol akan merangsang peningkatan kadar ACTH sebagai mekanisme umpan balik, dimana ACTH mempunyai aktivitas menyerupai MSH. Pigmentasi terutama terlihat disekitar jaringan parut, lipatan-lipatan kulit, siku, lutut dan bokong, disekitar areola mammae dan gusi.

            Kadar kortisol plasma yang rendah disertai dengan kadar ACTH yang rendah dapat ditemukan pada pasien-pasien dengan hipoadrenalisme sekunder sedang kadar kortisol yang rendah disertai dengan kadar ACTH yang tinggi dapat juga terjadi pada kasus-kasus hiperplasi adrena kongenital yang terjadi akibat defek enzimatik dalam proses biosintesis kortisol. Pengobatan pada pasien-pasien dengan insufisiensi adrenal kronik, diperlukan kombinasi terapi pengganti dengan glukokortikoid dan mineralokortikoid . Kombinasi hidrokortison dan fludrokortison (mineralokortikoid sintetik : Florinef) dapat diberikan secara oral. Pilihan lain adalah cortisone acetate (Cortisyl) yang memiliki aktivitas glukortikoid dan mineralokortikoid yang sama. Kasus akut dari insufisiensi adrenal (krisis adrenal) yang dapat terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit Addison yang mengalami stres berlebihan, memerlukan infus hidrokortison intravena bersamaan dengan NaCl fisiologik untuk mengoreksi volume darah yang rendah.

  1. D. Hipersekresi Glukokortikoid

            Produksi berlebihan dari kortisol dapat terjadi baik akibat over produksi ACTH (karena penyakit hipofisis atau akibat tumor ektopik yang mensekresi ACTH) atau karena tumor korteks adrenal yang independen terhadap ACTH (adenoma, hiperplasi adrena mikro maupun makronodular atau karsinoma adrenal). Kebanyakan tumor ektopik yang mensekresi ACTH dengan kadar yang tinggi berasal dari daerah thorax atau sekitarnya (tumor bronkus, tumor thymus, tumor pankreas atau tumor medullar kelenjar tiroid. Beberapa diantaranya sulit dideteksi, dan pada beberapa kasus ditemukan tumor ektopik yang mensekresi Corticotrophin releasing hormone (CRH). Semua keadaan diatas akan menyebabkan hiperkortisolisme yang dikenal dengan sindrom Cushing.

Gejala-gejalanya juga dapat dipicu oleh karena terapi glukokortikoid jangka lama seperti yang terjadi pada pengobatan asma, artritis rematoid atau inflammatory bowel disease. Keadaan yang terjadi akibat sekresi ACTH dari hipofisis yang berlebihan dikenal dengan penyakit Cushing (Cushing disease).

Gambaran klasik sindrom Cushing adalah :

  1. Kelemahan otot : lengan dan tangan kurus karena meningkatnya pemecahan protein.
  2. Nyeri punggung karena osteoporosis : fraktur osteoporotik dari paha, iga atau vertebra dapat terjadi pada usia lanjut.Peningkatan kadar kortisol (atau pengobatan glukokortikoid akan mempengaruhi metabolisme tulang terutama melalui penurunan absorbsi Ca++ dari saluran gastrointestinal (akibat menurunnya pembentukan metabolit aktif vitamin D), akan meningkatkan ekskresi Ca++ di ginjal, menghambat fungsi osteoblas dan secara tidak langsung meningkatkan laju resorpsi tulang. Hambatan sintesis protein menyebabkan hilangnya kolagen dari matriks tulang.
  3. Terbentuknya striae lividae terutama di paha dan perut sebagai akibat dari gangguan sintesis protein.
  4. Redistribusi jaringan lemak tubuh, sehingga pasien terlihat menunjukkan muka yang bulat (moon face), obesitas abdominal, buffalo hump dan kedua tungkai yang kurus. Mekanisme terjadinya redistribusi lemak ini sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti.
  5. Virilisasi pada wanita (pertumbuhan rambut di muka/tubuh, amenore dan akne) karena sintesis abnormal dari androgen adrenal. Prekursor androgen dehydroepiandrosterone (DHEA), DHEA sulphate (DHEAS) dan androstenedione dirubah menjadi testosteron pada jaringan perifer.Produksi androgen adrenal yang berlebihan dapat pula terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital.
  6. Hiperglikemi, poliuria, polidipsi, dan kecenderungan untuk menderita diabetes melitus dikemudian hari.
  7. Gangguan psikologik, terutama pada pasien dengan riwayat gangguan mental sebelumnya. Kortisol yang berlebihan dapat menyebabkan euforia, halusinasi, paranoia atau depresi.
  8. Kadar kortisol bebas yang tinggi didalam urin dan plasma serta kadar ACTH yang rendah didalam plasma.

Adanya tumor hipofisis, tumor ektopik atau tumor adrenal sebagai penyebab hipersekresi glukokortikoid diterapi dengan tindakan operatif diikuti dengan terapi suli hormonal dengan kortikosteroid. Bila tumor sulit dideteksi atau inoperable, pasien diberikan terapi dengan inhibitor sintesis steroid aminoglutethimide (Orimeten; 250 mg – 1 gram per hari) bersamaan dengan suplementasi kortikosteroid. Efek samping terapi aminoglutethimide dapat berupa pusing, mual muntah, mengantuk dan ruam-ruam pada kulit. Penggunaan jangka panjang dari glukokortikoid untuk tujuan terapi anti inflamasi atau imunosupresi dapat pula menimbulkan gejala-gejala sindrom Cushing. Penghentian secara bertahap (tappering off) dapat mengurangi gejala-gejala sindrom Cushing. Metyrapone (Metopirone), suatu inhibitor kompetitif dari enzim 11b-hydroxylase yang terlibat dalam tahap akhir sintesis kortisol didalam korteks adrenal. Obat ini dapat pula digunakan dalam pengobatan sindrom Cushing yang terjadi akibat tumor ektopik yang mensekresi ACTH (karsinoma bronkus) dan juga untuk mengontrol gejala-gejala yangtimbul pada pasien yang mengalami operasi hipofisis atau adrenal sebelumnya.

  1. E. Mineralokortikoid

            Aldosteron merupakan mineralokortikoid utama yang disekresi oleh korteks adrenal pada manusia, walaupun diproduksi juga deoksikortikosteron. Banyak steroid lain juga memiliki efek mineralokortikoid yang lemah. Disamping itu mineralokortikoid juga memiliki aktivitas glukokortikoid. Aldosteron merupakan mineralokortikoid yang sangat kuat, dimana kadar bentuk aktifnya yang bebas didalam plasma sekitar 100 pmol/liter.

E.1. Kerja utama aldosteron adalah :

  1. Konservasi kadar sodium didalam tubuh dan ekskresi kalium. Aldosteron meningkatkan reabsorpsi Na+ dan merangsang ekskresi K+ dan H+ melalui dinding sel epitel tubulus distal dan duktus kolektivus ginjal. Hasil akhirnya berupa penurunan ekskresi air (melalui reabsorpsi pasif ditubulus ginjal) dan meningkatkan volume darah.
  2. Menurunkan rasio kadar ion natrium terhadap ion kalium didalam keringat dan air ludah. Meningkatkan transpor Na+ kedalam sel (dengan pengeluaran pasif K+) yang terjadi disepanjang membran sel epitel saluran kelenjar keringat dan kelenjar ludah. Dalam keadaan cuaca panas, dimana terjadi pengeluaran keringat yang berlebihan, kerja aldosteron sangat penting untuk mencegah hilangnya Na+ berlebihan.
  3. Meningkatkan reabsorpsi Na+ dari kolon dan meningkatkan ekskresi K+ didalam tinja. Walaupun hanya sekitar 2% dari Na+ yang difiltrasi ginjal direabsorpsi dibawah kendali aldosteron, inhibitor kerja aldosteron seperti spironolactone (Aldactone) atau potassium canrenoate (Spirocton-M) dapat bekerja sebagai diuretik kuat yang bermanfaat dalam pengobatan edema. Obat-obat ini bekerja kompetitif terhadap kerja aldosteron pada tubulus ginjal dalam mereabsopsi Na+, sehingga terjadi peningkatan ekskresi air didalam urin.

            Efek aldosteron terhadap reabsorpsi Na+ epitel tubulus dimediasi secara intraselular melalui interaksi dengan reseptor mineralokortikoid yang affinitasnya tinggi, yang kemudian berikatan dengan elemen-elemen regulator dari DNA inti untuk menginduksi sintesis protein transpor Na+, akibatnya terjadi peningkatan sintesis molekul-molekul Na+/K+-ATP ase yang memompa ion Na+ keluar dari sel-sel tubulus menuju cairan insterstisil. Mekanisme yang mendasari terjadinya ekskresi K+ dan H+ belum dimengerti sepenuhnya, diduga disebabkan karena perpindahan ion K+ kedalam cairan tubulus sebagai respons pasif terhadap peningkatan beban ion Na+ intraselular. Sebaliknya sekresi ion H+ ditubulus dalam proses pertukaran ion Na+ diduga terjadi melalui stimulasi cepat (dalam waktu 1-2 menit) dari antiporter Na+-H+ didalam sel. Sekresi aldosteron terutama dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin dan kadar natrium/ kalium didalam plasma. Renin merupakan enzim proteolitik yang dilepaskan oleh sel-sel juxtaglomerular yang spesifik (yang terletak didalam dinding arteriole afferen ginjal), ketika terjadi penurunan tekanan darah ginjal dan penurunan berlebihan volum darah sirkulasi (misalnya akibat perdarahan atau kehilangan air atau garam). Renin didalam sirkulasi merangsang produksi dekapeptida inaktif, angiotensin I dari suatu prekursor á2-globulin, angiotensinogen (yang berasal dari hati).

            Angiotensin I dengan cepat dirubah didalam paru dan plasma (melalui enzim angiotensin-converting enzyme ; ACE) menjadi oktapeptida aktif angiotensin II, yang secara langsung merangsang sintesis dan pelepasan aldosteron dari zona glomerulosa korteks adrenal.

            Angiotensin II juga mempunyai efek vasokontriktor langsung yang kuat untuk mempertahankan tekanan darah dari sirkulasi arteri dalam kondisi ekstrim, dan efek sentral lebih lanjut (melalui organ subfornical) untuk mengontrol asupan air (efek dipsogenik); senyawaan inhibitor ACE seperti kaptopril (Capoten) dan enalapril maleate (Innovace) saat ini digunakan dalam pengobatan hipertensi dan payah jantung. Angiotensin II didalam sirkulasi akan didegradasi oleh enzim-enzim angiotensinase (glutamyl aminopeptidase A) menjadi angiotensin III (heptapeptida) dan angiotensin IV (hexapeptida), yang kurang poten sebagai vasokonstriktor dan stimulator produksi aldosteron. Ada 2 tipe reseptor angiotensin II yang spesifik dipermukaan sel yaitu AT1 dan AT2 dengan 2 subtipe yaitu AT1A dan AT1B. Reseptor angiotensin II dari korteks adrenal terutama berupa subtipe AT1B, yang berikatan melalui aktivasi fosfoslipase C, merangsang pembentukan IP3 intraselular, melepaskan ion Ca++ dari simpanan internal sehingga terjadi rangsangan sintesis aldosteron (melibatkan transpor kolesterol didalam mitokondria).Reseptor AT1A merupakan tipe yang dominan terdapat didalam ginjal, pembuluh darah dan otak. Reseptor AT2 juga terdapat didalam otak dan jaringan lain, namun peran fungsionalnya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas. Antagonis reseptor AT1 yang sangat selektif yaitu losartan potassium dan valsartan sudah dipasarkan untuk pengobatan hipertensi.

            Angiotensin IV secara farmakologik diketahui berikatan dengan tipe reseptor angiotensin yang berbeda (disebut AT4), yang terutama ditemukan pada sel-sel endotel pembuluh darah aorta dan koroner, namun peran fisiologiknya belum diketahui dengan jelas. Penurunan kadar Na+ didalam plasma yang lebih dari 20 mEq/liter atau peningkatan kadar K+ lebih dari 1 meEq/liter akan merangsang sintesis aldosteron melalui kerja langsung terhadap enzim-enzim biosintesisnya didalam korteks adrenal.

E.2. Hiposekresi mineralokortikoid

            Penurunan produksi aldosteron yang terisolasi akibat defek enzim adrenal sangat jarang terjadi, tetapi dapat ditemukan sebagai akibat penyakit ginjal karena diabetes melitus atau pada pasien-pasien dengan AIDS. Gejala-gejala umum dari defisiensi mineralokortikoid yaitu peningkatan ekskresi Na+/H2O, hiperkalemia (kadar K+ plasma tinggi), hipotensi dan asidosis metabolik dapat pula terjadi bila disertai dengan penurunan produksi glukokortikoid pada kasus-kasus insufisiensi adrenal (seperti pada penyakit Addison).

E.3. Hipersekresi mineralokortikoid

Kelebihan Aldosteron (hiperaldosteronisme) dibagi dalam 2 jenis yaitu :

E.3.1. Hiperaldosteronisme primer (Sindrom Conn)

Kelainan ini biasanya disebabkan karena hiperplasi adrenal bilateral (pembesaran abnormal) atau tumor kecil (adenoma) dari zona glomerulosa adrenal.

Gambaran klinis :

  • Hipertensi (karena retensi Na+ dan H2O, tanpa edema periferal)
  • Kadar kalium plasma rendah (hipokalemia)
  • Kelemahan otot disertai perasaan letih
  • Disritmia jantung
  • Alkalosis metabolik ringan
  • Kadar renin plasma rendah

            Diagnosis ditegakkan dengan hasil pemeriksaan kadar aldosteron urin dan plasma yang tinggi disertai dengan kadar renin plasma yang rendah. Ekspansi volume darah dengan pemberian beban garam tidak dapat menekan kadar aldosteron yang tinggi tersebut. Pengobatan melibatkan pembedahan tumor atau pemberian antagonis reseptor aldosteron jangka panjang, misal spironolakton. Obat ini juga bisa digunakan untuk kontrol pasien sebelum pembedahan.

E.3.2. Hiperaldosteronisme sekunder

            Kelainan ini disebabkan karena sekresi renin yang abnormal sehingga meningkatkan kadar angiotensin II. Pasien menunjukkan adanya edema perifer.

Penyebab :

  • Perfusi ginjal yang buruk, misal pada stenosis arteri renalis
  • Hipertensi maligna (yaitu hipertensi yang disertai dengan gagal ginjal progresif akibat nekrosis arteriolar ginjal.
  • Tumor sel-sel jukstaglomerulus ginjal.
  • Kehilangan Na+ dan H2O karena pemakaian diuretik atau kekurangan Na+ dalam diet.
  • Gagal jantung kongestif atau sirosis hati.

Pengobatan terhadap penyebab yang mendasari terjadinya aktivasi sistem renin angiotensin yang abnormal hendaklah dievaluasi dengan dibarengi pemberian spironolakton  jangka panjang.

 

Bab 5

Kelenjar tiroid

  1. Anatomi dan histologi

            Kelenjar tiroid secara embriologi berkembang dari suatu invaginasi epitel dari dasar lidah janin. Terdiri dari 2 lobus besar (dengan berat normal 15 sampai 20 gram) yang terletak didepan trakhea, tepat dibawah laring, dihubungkan oleh isthmus. Kelenjar tiroid menerima suplai darah dari arteriae thyroidea dan dipersayarafi oleh sistem syaraf otonom. Kelenjar tiroid dibungkus oleh kapsul jaringan ikat fibrosa. Secara histologik, kelenjar tiroid terdiri dari sejumlah folikel yang berbentuk sferis dengan diameter 200 sampai 300 mikron, masing-masing dibangun oleh sel-sel epitel kuboid yang mengelilingi massa koloid yang mengandung protein yang dikenal dengan tiroglobulin (suatu glikoprotein dengan berat molekul 670 kilo Dalton).                                                                                 

 

Gambar 7. Anatomi kelenjar tiroid

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

 

 

 

 

Gambar 8. Histologi kelenjar tiroid

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

Tinggi epitel kuboid ini bervariasi tergantung kondisi fungsional dari kelenjar. Bila kelenjar relatif inaktif, massa koloid menjadi besar dan sel-sel follikel menjadi datar, sebaliknya dalam keadaan hiperaktif, ukuran lumen follikel mengecil, sel-sel endokrin menjadi berbentuk kolumnar. Jaringan ikat diantara folikel-folikel mengandung pembuluh-pembuluh darah, pembuluh limfe, serat-serat syaraf, yang memisahkan folikel-folikel menjadi beberapa lobulus-lobulus yang fungsional. Diantara folikel-folikel tiroid terdapat sekelompok sel epitel yang lebih besar, yaitu sel-sel parafolikular C, yang berperan mensekresi suatu hormon peptida kalsitonin, yang terlibat dalam pengendalian metabolisme kalsium.

  1. Biosintesis dan produksi hormon tiroid

            Ada 2 hormon aktif yang disekresi oleh kelenjar tiroid yang merupakan derivat iodinasi dari asam amino tirosin. Kedua hormon ini, yaitu hormon tiroksin (T4; sekitar 90% dari produksi kelenjar tiroid) mengandung 4 atom iodium, dan triiodotironin (T3; sekitar 10% dari hasil produksi kelenjar tiroid) mengandung 3 atom iodium.

            Iodium anorganik mengalami konsentrasi didalam sel-sel folikel tiroid melalui mekanisme pompa aktif iodida yang memindahkannya dari aliran darah tiroid. Sejumlah anion dapat berkompetisi dengan iodida sebagai sistem pembawa, dan dapat menghambat aktivitas pompa iodida misal : perchlorate, thiosianat (SCN) atau pertechnetate Tc.

Sintesis dan produksi hormon tiroid terjadi melalui proses sebagai berikut :

  1. Iodida yang terakumulasi secara cepat mengalami oksidasi menjadi iodium bebas oleh enzim thyroid peroxidase pada permukaan sel folikel, yang kemudian dengan segera mengalami penyatuan dengan molekul-molekul tirosin pada posisi cincin ke 3 dan ke 5 membentuk monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT).
  2. Selanjutnya MIT dan DIT akan bergabung melalui kerja enzim yang sama membentuk hormon-hormon aktif T3 (3,5,3′-triiodothyronine) dan T4 (3,5,3′,5′-tetraiodothyronine atau tiroksin). Sejumlah kecil (<1%) dari derivat 3,3′,5′-triiodothyronine (reverse T3 atau rT3) juga disintesis, namun tidak mempunyai aktivitas biologik yang menonjol.          

 

            Dalam keadaan kelaparan atau sakit berat, sejumlah besar rT3 akan diproduksi relatif lebih banyak dari T3.

  1. Selama proses iodinasi dan penggabungan, residu-residu tirosil masih berikatan dengan molekul-molekul tiroglobulin secara kovalen pada tepi apikal permukaan sel folikel.  Hormon-hormon tiroid masih tersimpan didalam koloid, sebelum mereka disekresi.
  2. Dibawah pengaruh Thyroid Stimulating Hormone atau thyrotropin (TSH), resorpsi dan proteolisis dari kompleks hormon-tiroglobulin yang tersimpan didalam sel-sel folikel akan menyebabkan sekresi hormon-hormon aktif (dengan rasio T4 : T3 20:1) melalui proses difusi dari permukaan basal sel folikel menuju aliran darah kapiler. Tiroksin kemudian akan mengalami deiodinasi di jaringan perifer (yaitu hati dan ginjal) untuk menghasilkan T3 yang lebih aktif (10 kali lebih kuat). MIT, DIT dan iodida yang dilepaskan akan digunakan kembali untuk sintesis hormon selanjutnya. Dalam keadaan normal hanya sejumlah kecil dari tiroglobulin bebas yang keluar dari folikel menuju aliran darah.

            Adanya atom-atom iodium didalam molekul hormon tiroid tidak penting untuk aktivitas biologik hormon, karena ion-ion ini akan digantikan oleh kelompok-kelompok molekul hidrofobik untuk menghasilkan analog-analog yang lebih aktif.          

Didalam aliran darah, T3 dan T4 lebih banyak (> 99%) yang terikat dengan protein plasma {terutama thyroxine binding globulin (TBG), thyroxine binding prealbumin (TBPA) dan albumin}. Namun perlu dicatat bahwa hanya hormon-hormon bebas yang tidak terikat yang bersifat aktif secara biologik terhadap sel-sel target. T3 terikat kurang kuat dengan protein plasma dibandingkan dengan T4.

  1. Kendali produksi hormon tiroid.

            Sintesis dan produksi hormon tiroid dikontrol oleh hormon TSH dari hipofisis, yang berinteraksi dengan reseptor-reseptor spesifik yang terdapat pada membran basalis sel-sel folikel sehingga menyebabkan peningkatan cAMP intrasel dan selanjutnya mengaktivasi enzim protein kinase A. TSH juga merangsang proses pompa aktif iodida dengan cara menginduksi sintesis dan insersi molekul-molekul pengangkutnya yang baru didalam membran basalis.

Sekresi TSH distimulasi oleh hormon TRH dari hipothalamus dan diregulasi oleh efek umpan balik negatif dari hormon-hormon tiroid bebas didalam sirkulasi (terutama T3) terhadap kelenjar hipofisis anterior.

  1. Fungsi hormon tiroid :

            Hormon tiroid meningkatkan laju metabolism basal didalam jaringan diseluruh tubuh. Hormon tiroid merangsang sintesis protein-protein spesifik yang terlibat dalam proses kalorigenesis (produksi panas) dan juga mempengaruhi metabolism protein, karbohidrat dan lemak.

D.1. Kalorigenesis

            Hormon tiroid meningkatkan konsumsi O2 didalam semua jaringan kecuali otak, testes, dan limpa. Organ-organ ini meningkatkan produksi panas melalui pemecahan molekul-molekul ATP, sehingga memegang peran penting dalam proses termoregulasi dalam lingkungan dingin. Saat ini diyakini bahwa efek kalorigenesis ini sebagian dimediasi oleh sintesis molekul-molekul Na+K+-ATPase (pompa sodium) didalam membran sel dan sebagian lagi melalui aktivasi langsung (non genomik) dari fosforilasi oksidatif didalam mitokondria hati.

 

D.2. Pengaruh terhadap metabolisme

            Metabolisme karbohidrat yang distimulasi baik secara langsung (melalui peningkatan absorpsi glukosa disaluran cerna dan sintesis enzim-enzim metabolisme spesifik) dan secara tidak langsung melalui peningkatan sensitivitas jaringan terhadap katekolamin, insulin dan growth hormone. Hasil akhirnya adalah berupa peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis didalam hati, ambilan glukosa didalam sel-sel lemak, otot dan hati.

            Metabolisme protein terjadi baik melalui resintesis maupun degradasi. Resintesis protein terjadi bila kadar hormon tiroid rendah. Bila kadarnya tinggi, akan didominasi oleh pemecahan protein (terutama didalam otot), yang akan menyebabkan penurunan berat badan dan peningkatan kadar asam amino didalam plasma.

            Metabolisme lemak, dimana terjadi peningkatan lipolisis melalui oksidasi asam lemak bebas. Peningkatan lipolisis ini terjadi karena potensiasi dari aktivitas katekolamin pada jaringan adiposa (efek b-adrenoseptor). Kadar kolesterol plasma dapat diturunkan oleh hormon tiroid melalui fasilitasi tidak langsung dari ambilan kolesterol didalam hati dari darah (karena meningkatnya sintesis reseptor LDL didalam membran sel hati).

D.3. Maturasi Sistem Syaraf Pusat

            Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan normal sistem syaraf pusat selama kehidupan janin dan awal postnatal. Pertumbuhan optimal dari neuron-neuron cortex cerebri dan cerebellum dan mielinasi serat-serat syaraf sangat tergantung dengan kecukupan hormon tiroid. Kekurangan hormon tiroid in utero atau pada saat lahir, bila tidak didiagnosis secara dini dan tidak segera diobati dengan pemberian hormon tiroid akan menyebabkan retardasi mental yang permanen (kretinisme).

D.4. Pertumbuhan dan Maturasi Otot Rangka

            Kerja hormon tiroid sinergis dengan growth hormone. Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan dan maturasi tulang normal dan bahkan perkembangan tinggi badan normal pada masa dewasa. Kadar hormon tiroid yang normal juga dibutuhkan untuk menjalankan fungsi yang baik bagi sistem syaraf dan kardiovaskular, saluran cerna serta pertumbuhan gigi geligi, kulit da folikel rambut.

 

 

  1. E. Mekanisme kerja hormon tiroid

            Karena bersifat lipofilik, molekul-molekul T3 dan T4 bebas dapat masuk kedalam sel-sel target secara bebas melalui difusi pasif. Disamping itu transpor aktif dari hormon ini kedalam beberapa sel dapat pula terjadi melalui protein pembawa yang spesifik. Setelah memasuki sel, T4 segera mengalami monodeiodinasi membentuk T3 yang lebih aktif atau derivat-derivat rT3 yang bersifat inaktif. Sama seperti hormon steroid, efek T3 dimediasi oleh interaksinya dengan reseptor-reseptor hormon tiroid yang spesifik dan  mempunyai afinitas yang tinggi, berlokasi didalam inti sel, dengan hasil akhir berupa stimulasi atau represi dari ekspresi gen target. Translokasi T3 kedalam inti sel juga melibatkan mekanisme ambilan aktif langsung bersamaan dengan proses yang melibatkan cytosolic thyroid hormone binding protein (CTBP) yang affinitasnya rendah.Berbeda dengan steroid, pembentukan kompleks hormon T3 dan reseptor terjadi secara langsung ditingkat inti, karena reseptornya sudah berikatan dengan thyroid hormone response elements(TREs) pada DNA target, bahkan walaupun tanpa adanya hormon tiroid.

 

  1. F. Kelainan-kelainan klinis

            Selain diabetes melitus, gangguan faal tiroid merupakan salah satu kelainan endokrin yang paling sering ditemukan pada orang dewasa, yang mengenai lebih dari 10% populasi di Inggeris dimana prevalensi pada wanita umumnya lebih banyak dibandingkan pria. Ada 2 penyakit tiroid yang paling banyak ditemukan, yaitu hipotiroid dan hipertiroid (tirotoksikosis).

F.1. Hiposekresi tiroid

F.1.1. Hipotiroid pada orang dewasa

            Hipotiroid dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan fungsi kelenjar tiroid (hipotiroid primer) atau sebagai akibat penurunan stimulasi dari hipofisis (hipotiroid sekunder). Hipotiroid primer merupakan yang paling sering ditemukan, disebabkan karena kerusakan otoimun dari kelenjar tiroid yang mengakibatkan defisiensi sejumlah besar dari hormon tiroid didalam sirkulasi (dikenal dengan tiroiditis Hashimoto). Keadaan ini terjadi secara perlahan, mempunyai kecenderungan familial yang kuat dan paling sering terjadi pada wanita usia pertengahan, walaupun dapat pula terjadi pada laki-laki. Penyakit ini ditandai dengan adanya antibodi yang merusak tiroglobulin didalam serum dan komponen-komponen sitoplasmik dari sel-sel folikel (enzim peroksidase mikrosomal) serta infiltrasi progresif kelenjar tiroid oleh sel-sel plasma dan limfosit. Pada fase awal dari penyakit ini dapat terjadi pembesaran kelenjar tiroid yang bersifat difus (struma diffusa) disertai rasa nyeri.

            Struma (goiter) adalah istilah yang diberikan untuk setiap pembesaran kelenjar tiroid yang dapat disertai dengan aktivitas faal kelenjar tiroid yang normal, menurun atau meningkat. Setiap zat (alamiah atau lainnya) yang dapat menimbulkan pembesaran kelenjar tiroid atau perubahan faal tiroid disebut goitrogen (misal goitrin yang terdapat didalam kubis, kembang kol dan lobak).Lithium carbonate, yang digunakan dalam pengobatan manik depresip, merupakan goitrogen kuat karena dapat mempengaruhi produksi hormon tiroid.

Gejala-gejala utama dari hipotiroid primer meliputi :

  1. Laju Metabolisme Basal yang rendah –> terjadi perlambatan proses metabolisme didalam tubuh sehingga gerakan dan refleks menjadi lambat.
  2. Berat badan bertambah dan tidak tahan terhadap dingin (gangguan kalorigenesis), keringat berkurang dan konstipasi.
  3. Miksedema, ditandai dengan perubahan-perubahan pada kulit.  Kulit di tangan dan muka menebal, kasar, kering dan membengkak, karena endapan bahan-bahan mukopoli-sakarida yang kental dibawah kulit. Rambut menjadi mudah rontok.
  4. Kelelahan/ letargi : badan lemas, lambat berpikir, gangguan ingatan, depresi, bicara lambat dan suara parau, bradikardia.
  5. Peningkatan kadar karoten didalam plasma, menyebabkan warna kekuningan pada kulit (penurunan kadar hormon tiroid akan menghambat sintesis normal vitamin A dari karoten didalam hati, yang kemudian akan menumpuk didalam darah).
  6. Kadar T3/T4 serum yang rendah, namun kadar TSH tinggi.Juga terjadi peningkatan kadar kolesterol didalam plasma. Total (yang bebas dan terikat) T3 dan T4 didalam serum dapat diukur dengan radioimmunoassay sensitif (RIA). Kadar T3 dan T4 dapat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dari kadar thyroid hormone binding proteins (misal selama kehamilan atau pada terapi estrogen). 

Terapi pengganti hormon tiroid dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan, diberikan dalam bentuk tablet levothyroxine sodium (Eltroxin/Thyrax/Euthyrox 50 ug perhari, ditingkatkan menjadi 100-200 ug perhari, atau liothyronine sodium (T3) (Tertroxin 20 ug / Cytomel 25  ug setiap 8 jam) yang mempunyai onset kerja lebih cepat, bermanfaat pada kasus-kasus hipotiroid berat (koma miksedema dengan hipotermia). Pengukuran kadar TSH serum dilakukan untuk menilai efektivitas terapi pengganti. Pasien juga perlu disarankan untuk mengonsumsi obat secara teratur. Dosis pemeliharaan hormon tiroid mungkin perlu ditinggkatkan selama kehamilan.

F.1.2. Hipotiroid Kongenital (pada anak-anak)

                Hipotiroid yang tidak dikoreksi pada saat lahir (biasanya akibat lokasi ektopik atau kegagalan perkembangan kelenjar tiroid selama kehidupan janin) akan menyebabkan terjadinya kretinisme, dengan gejala dan tanda sebagai berikut :

– bayi kerdil

– perut buncit

– lidah memanjang

– rambut kering, kasar dan jarang.

– kulit kekuningan

Diagnosis awal sangat penting (dengan pemeriksaan kadar TSH),  diikuti dengan terapi pengganti tiroksin (10 ug/kg BB sampai 50 ug perhari). Terjadinya hipotiroid primer pada awal kehidupan anak-anak (juvenile hypothy-roidism), biasanya ditandai dengan pertumbuhan yang terhambat, hambatan perkembangan seksual dan mental, biasanya direfleksikan dengan kecerdasan yang kurang disekolah. Pemberian dosis pengganti dari tiroksin (25 sampai 200 ug perhari) perlu disesuaikan dengan hati-hati untuk mencapai kemajuan pertumbuhan dengan laju yang normal.

Beberapa penyebab lain dari hipotiroid :

  1. Tindakan operatif (tiroidektomi parsial) atau terapi ablasi dengan I131 untuk terapi hipertiroid.
  2. Produksi TSH yang tidak adekuat karena penyakit hipofisis atau hipothalamus
  3. Defisiensi iodium pada daerah gondok endemik, dapat terjadi akibat asupan iodida yang rendah dalam diet (misal dari makanan laut). Keadaan ini masih terjadi pada beberapa tempat didunia yang jauh dari laut atau didaerah pegunungan. Di Indonesia, defisiensi yodium pada daerah-daerah gondok endemik sudah mulai berkurang karena sudah ada program pemerintah berupa distribusi garam beryodium.
  4. Pemberian amiodarone. Obat anti-aritmia jantung yang mengandung yodium, yaitu amiodarone  (Cordarone X)  dapat mempengaruhi konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer sehingga meningkatkan kadar T4 (dan rT3 inaktif) didalam serum. Gejala-gejala hipotiroid yang signifikan (atau bahkan hipertiroid) dapat terjadi pada beberapa pasien yang mengonsumsi obat ini, yang biasanya  mereda dalam beberapa minggu setelah penghentian obat. Jadi obat ini tidak direkomendasikan pada pasien-pasien dengan riwayat penyakit tiroid.

F.2. Hipersekresi Tiroid

                Hipertiroid (tirotoksikosis) paling banyak disebabkan karena overaktivitas kelenjar tiroid itu sendiri sebagai akibat dari penyakit otoimun yang dikenal dengan penyakit Grave.  Didalam serum pasien mengandung imunoglobulin spesifik yaitu Thyroid Stimulating Immunoglobulins (TSIs) yang berikatan dengan reseptor TSH pada permukaan sel-sel folikular.

Sama seperti TSH alamiah, protein ini akan merangsang sel-sel folikel tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid. Autoantibodi antitiroglobulin dan antimikrosomal juga dapat ditemukan. Penyakit ini diper-kirakan terjadi 5 – 8 kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Sering pula disertai dengan kelainan-kelainan otoimun yang lain seperti miastenia gravis, penyakit Addison dan anemia pernisiosa.

Gejala-gejala utama penyakit Grave meliputi :

  1. Laju Metabolisme Basal meningkat, ditandai dengan meningkatnya produksi panas yang menyebabkan perasaan tidak tahan panas, keringat berlebihan dan kulit yang hangat.
  2. Penurunan berat badan, walaupun nafsu makan baik atau bertambah karena muscle wasting (thyrotoxic myopathy) dan diare serta gangguan menstruasi.
  3. Denyut nadi yang cepat, tremor, palpitasi, fibrilasi atrium dan hipertensi. Sekresi hormon tiroid yang meningkat akan menyebabkan peningkatan respons terhadap sistem syaraf simpatis akibat meningkatnya jumlah dan afinitas b-adrenoceptor.
  4. Gelisah, cemas berlebihan, gugup, iritabilitas, dan emosi yang labil.
  5. Perubahan-perubahan pada mata (oftalmopati Grave), ditandai dengan eksoftalmos atau proptosis dapat terjadi pada sekitar 50% pasien. Keadaan ini disebabkan karena penebalan dari otot-otot ekstraorbita karena infiltrasi limfosit dan endapan mukopolisakarida (yang dikenal glikosaminoglikans) serta edema disekitar jaringan lunak orbita.
  6. Struma difusa toksik (pembengkakan kelenjar tiroid yang simetris, yaitu pembengkakan lobus kiri dan kanan disertai pembengkakan isthmus secara merata).
  7. Peningkatan kadar T3/T4 serum, tetapi kadar TSH serum rendah (bahkan tidak terdeteksi), karena efek umpan balik negatif dari peningkatan kadar T3/T4 terhadap hipofisis anterior.

Terjadinya oftalmopati Grave secara langsung bukan disebabkan karena peningkatan kadar T3/T4, dan bahkan dapat pula terjadi pada pasien-pasien yang tidak mempunyai gejala-gejala hipertiroid lain. Pada kasus-kasus yang berat, dapat pula  terjadi nyeri okular disertai penurunan penglihatan dan ulserasi kornea. Seperti pada penyakit Grave, keadaan ini diduga terjadi akibat adanya proses otoimun yang langsung menyerang jaringan ikat atau sel-sel otot orbita, walaupun asal mula keterlibatan otoantibodi dan faktor-faktor yang berperan memicu terjadinya proses ini tidak diketahui dengan jelas.

            Pencapaian kadar hormon normal dengan terapi hipertiroid sangat penting dalam menurunkan angka kejadian komplikasi jangka panjang. Pemberian gluko-kortikoid sistemik, terapi pembedahan atau iradiasi orbital juga efektif dalam pengobatan gejala-gejala lokal mata pada kasus-kasus yang berat.Ada 3 metoda pengobatan terhadap hipertiroid Grave, yaitu obat-obat anti tiroid, terapi ablasi dengan iodium radioaktif (I131) atau pembedahan (strumektomi).

F.2.1. Obat Anti Tiroid

F.2.1.1. Turunan Thiourea (thionamide)

Karbimazol (Neomerkazol) atau propilthiourasil (PTU).

            Jenis obat ini bekerja mengurangi sekresi hormon tiroid dengan cara mengalihkan iodida yang teroksidasi dari pengaruh enzim thyroid peroxidase yang terlibat dalam produksi dan penggabungan iodotirosin didalam kelenjar tiroid. Karbimazol juga mempunyai beberapa efek imunosupresif pada kelenjar tiroid. Digunakan terutama untuk terapi jangka panjang terhadap pasien-pasien dengan hipertiroid dan juga untuk persiapan sebelum terapi iodium radioaktif atau tiroidektomi subtotal. Karbimazol cepat dirubah menjadi metabolit aktif methimazole didalam tubuh. Tidak seperti Karbimazol, PTU dapat menghambat deiodinasi T4 menjadi T3 didalam jaringan perifer. Dalam upaya mempercepat remisi, terapi karbimazol/ methimazol biasanya dimulai dengan dosis harian yang relatif besar (20 sampai 60 mg) selama 4 – 8 minggu, kemudian cepat diturunkan ke dosis pemeliharaan selama 12 – 18 bulan, diikuti penghentian bertahap.Terapi ulangan perlu diberikan selama 1 sampai 2 tahun setelah obat dihentikan. Walaupun sintesis T3/ T4 cepat mengalami hambatan, respons klinis pemberian karbimazol atau PTU dapat tertunda selama 1 sampai 2 minggu sampai simpanan hormon tiroid endogen mengalami penurunan.Pada beberapa pasien, terapi dengan obat-obat anti tiroid yang berlebihan  bahkan dapat menimbulkan gejala-gejala hipotiroid. Protokol pengobatan yang baru-baru ini diperkenalkan yaitu yang disebut “block and replace” treatment protocol, yang menggunakan dosis harian karbimazol (40-60 mg perhari) bersamaan dengan dosis tiroksin pengganti (50-150 ug perhari) selama 18 bulan, menghasilkan angka kekambuhan yang lebih rendah pada pasien-pasien tirotoksikosis. Efek samping yang dapat terjadi pada pemberian karbimazol atau PTU meliputi ruam-ruam kulit yang berat, mual, muntah dan yang jarang adalah agranulositosis, diperberat dengan adanya sakit tenggorokan berat, ulserasi mulut dan demam, sehingga memerlukan penghentian obat dan pemberian antibiotika dengan segera. PTU (dengan dosis 300 – 600 mg perhari), dapat digantikan pada pasien-pasien yang tidak tolerans terhadap karbimazol dan sebaliknya. Karbimazol dan PTU dapat diberikan selama kehamilan dan menyusui, diberikan dengan dosis terkecil yang efektif serta dengan  pemantauan yang ketat terhadap pertumbuhan janin.

F.2.1.2. Larutan iodium (Aqueous iodine solution BP = Lugol’s solution)

            Larutan iodium 5% yang dilarutkan dengan 10% potassium iodida dalam air jernih, biasanya diberikan secara oral (5 sampai 10 tetes diberikan 3 kali sehari) pada pasien-pasien hipertiroid selama 10 sampai 14 hari sebelum operasi, dengan tujuan untuk mengurangi ukuran dan vaskularisasi kelenjar.

Dalam keadaan kelebihan iodium (yang dirubah menjadi iodida didalam hati), secara transien akan menghambat produksi hormon tiroid melalui mekanisme yang tidak diketahui (efek ini biasanya tidak terjadi pada individu normal yang eutiroid). Larutan Lugol tidak bermanfaat untuk mengontrol hipertiroid jangka panjang, karena efek anti tiroid dari iodium tidak bertahan dalam waktu lebih dari seminggu, namun dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada krisis tiroid dimana diperlukan pengobatan cepat terhadap gejala-gejala yang timbul.Tablet potassium iodida (60 mg 2 kali sehari) dapat pula diberikan selama 7 sampai 10 hari sebelum operasi, mengandung iodium yang cukup untuk menekan faal tiroid.

F.2.1.3. Penghambat b-adrenoseptor :

            Penghambat beta non-kardioselektif seperti propranolol (Inderal), nadolol (Corgard) atau sotalol (Beta-cardone) dapat diberikan bersamaan dengan obat-obat anti tiroid untuk cepat meredakan gejala-gejala takikardia, palpitasi, agitasi dan tremor pada pasien-pasien hipertiroid. Obat ini tidak mempunyai efek terhadap sekresi hormon tiroid, jadi tidak banyak manfaat dalam penatalaksanaan jangka panjang terhadap tirotoksikosis.

F.2.1.4. Iodium Radioaktif.

            Iodine-131 (I131), diberikan dalam bentuk larutan NaI131, sebagai pengobatan pilihan pada pasien-pasien tirotoksikosis yang berusia diatas 14 tahun dan yang berusia lanjut.  Obat ini dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil (karena risiko hipotiroid janin) atau pada anak-anak. Iodium radioaktif bekerja dengan cara berakumulasi didalam jaringan tiroid dan secara selektif merusak jaringan tiroid yang overaktif melalui radiasi lokal (terutama melalui emisi b dan beberapa emisi g) selama periode 1 sampai 6 bulan. Pasien harus dalam keadaan eutiroid dengan terapi antitiroid sebelum diberikan I131. Obat antitiroid biasanya dihentikan 2 hari sebelum dan pada saat radioterapi untuk memungkinkan ambilan I131 yang optimal didalam jaringan tiroid.  Efek samping terapi iodium radioaktif dapat berupa rasa tidak nyaman dileher dan perburukan sementara dari gejala-gejala yang terjadi selama beberapa hari setelah pengobatan (tiroiditis radiasi). Undertreatment dapat menyebabkan keadaan hipertiroid menetap namun sebaliknya terapi yang adekuat dapat pula menimbulkan terjadinya hipotiroid selama beberapa tahun. Pengukuran yang teratur dari kadar TSH serum sangat penting dilakukan setelah terapi iodium radioaktif. Pengobatan ulang mungkin perlu dilakukan pada pasien-pasien dengan hipertiroid yang menetap setelah 6 sampai 9 bulan.

F.2.1.5. Pembedahan

            Tiroidektomi subtotal menjanjikan kontrol yang cepat dan efektif (terutama pada pasien-pasien dengan hipertiroid berulang setelah terapi dengan Obat Anti Tiroid), tetapi secara teknis ditentukan pula oleh kemahiran dan ketelitian dokter bedahnya, karena dapat pula menyebabkan terangkatnya kelenjar paratiroid dan terputusnya nervus laryngeus recurrens yang akan menyebabkan hipoparatiroid dan perubahan suara. Sama seperti pengobatan iodium radioaktif, permasalahan dapat timbul dikemudian hari berupa hipotiroid permanen. Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, biasanya diberikan dulu obat-obat anti tiroid dan penghambat reseptor beta untuk mencapai keadaan eutiroid, diikuti pemberian larutan Lugol untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar sehingga tindakan pembedahan bisa dilakukan dengan mudah dan aman.Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran yang mencolok dalam terapi hipertiroid ke pilihan terapi iodium radioaktif ketimbang obat-obat antitiroid atau pembedahan.

 

F.2.2. Penyebab-penyebab lain dari hipertiroid.

  1. Struma Multinodosa Toksik

            Keadaan ini lebih sering ditemukan pada pasien-pasien usia lanjut. Terjadi karena pertumbuhan nodul-nodul tiroid multipel yang hiperaktif. Pada awalnya kadar hormon tiroid dapat berada dalam keadaan normal, namun nodul-nodul tersebut berfungsi independen sehingga terjadi hipertiroid ringan tanpa eksoftalmos. Pengobatan biasanya dilakukan dengan pembedahan atau iodium radioaktif, karena sering terjadi relaps setelah diberikan obat-obat antitiroid. Penyebab yang melatarbelakangi keadaan ini sampai sekarang belum diketahui dengan jelas.

  1. Nodul Tiroid Soliter Toksik (Struma Nodosa Toksik)

            Keadaan ini dapat terjadi pada semua umum, terjadi karena perkembangan nodul tiroid soliter yang overaktif (misalnya dari suatu adenoma folikular otonom jinak, yg berkembang tidak dibawah kendali hipofisis), yang mensekresi hormon tiroid berlebihan. Pasien biasanya menunjukkan gejala-gejala ringan dari hipertiroid dan dapat diterapi dengan iodium radioaktif atau tiroidektomi parsial.

 

  1. Tiroiditis subakut (De Quervain’s thyroiditis).

            Kelainan ini jarang ditemukan, merupakan keadaan inflamasi kelenjar tiroid yang bersifat “self-limiting”, kebanyakan disebabkan karena infeksi virus yang dapat menyertai infeksi saluran nafas bagian atas. Kelenjar tiroid membengkak dan teraba keras, disertai nyeri pada saat menelan , tergantung dari beratnya proses inflamasi yang terjadi. Beberapa gejala hipertiroid dapat ditemukan seperti penurunan berat badan, banyak keringat, iritabilitas, takikardia dan tremor. Pengobatan biasanya diberikan analgetik oral dan kortikosteroid untuk meredakan nyeri dan inflamasinya, serta propranolol untuk mengatasi takikardia. Fase transien dari hipotiroid ringan dapat terjadi setelah fase hipertiroid.

  1. Krisis Tiroid

            Keadaan ini jarang terjadi, namun merupakan salah satu kegawatdaruratan medik yang serius yang dapat terjadi karena terlepasnya secara mendadak sejumlah besar hormon tiroid pada pasien hipertiroid yang sebelumnya terkontrol, akibat stres mendadak atau infeksi atau setelah operasi/ terapi iodium radioaktif yang tidak dipersiapkan dengan baik. Gejala yang timbul dapat berupa gaduh gelisah, kejang-kejang, nyeri perut, takikardia berat (kadang-kadang disertai payah jantung) dan hiperpireksia (demam tinggi). Terapi harus segera dimulai dengan pemberian propranolol (infus intravena pelan-pelan), obat-obat anti tiroid dan larutan Lugol (diberikan secara oral atau melalui nasogastric tube) bersamaan dengan kortikosteroid, antibiotika, antipiretik dan cairan serta elektrolit yang cukup. Sebaiknya dirawat diruang intensif.

  1. Hipertiroid sekunder

Hipertiroid sekunder dapat terjadi karena :

  1. Konsumsi sejumlah besar hormon tiroid dalam upaya menurunkan berat badan (Thyrotoxicosis factitia).
  2. Adenoma hipofisis yang memproduksi TSH (jarang)
  3. Teratoma ovarii yang mengandung elemen-elemen tiroid (Struma ovarii)
  4. Karsinoma tiroid metastatik (tipe folikular)
  5. Pengobatan dengan obat anti-aritmia jantung amiodarone(Cordarone X).
  6. ‘Sick Euthyroid Syndrome

            Disamping hipotiroid dan hipertiroid, hasil abnormal dari uji faal tiroid dapat ditemukan juga pada pasien-pasien yang menderita berbagai penyakit akut atau kronik diluar kelainan kelenjar tiroid. Keadaan-keadaan tersebut antara lain : infark miokard, gagal ginjal, sirosis hati, luka bakar, sepsis, trauma bedah, anoreksia dan malnutrisi.  Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar T3/T4 serum yang rendah dengan kadar reverse T3 yang tinggi sebagai akibat dari perubahan kecepatan konversi T4 menjadi T3 dan atau reverse T3 di perifer atau akibat perubahan-perubahan kadar TBG.Kadar TSH basal serum biasanya normal, dan ini merupakan petanda penting dalam menegakkan diagnosis “sick euthyroid” syndrome. Pengobatan terhadap kelainan yang mendasarinya akan memperbaiki faal tiroid.

F.3. Nodul Tiroid

Penyakit nodul kelenjar tiroid umum ditemukan di Amerika Serikat. Risiko untuk mengalami nodul tiroid palpabel diperkirakan sebesar 5 – 10 % dan lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pria. Walaupun secara umum sering ditemukan, namun keganasan kelenjar tiroid hanya terjadi pada sekitar 0,004% dari populasi setiap tahun atau sebanyak 12.000 kasus baru pertahun. Pendekatan rasional dalam penatalaksanaan nodul tiroid didasarkan kepada kemampuan untuk membedakan kasus jinak yang lebih banyak ditemukan dari kasus ganas dengan cara yang mudah dan murah.

F.3.1. Evaluasi diagnostik

F.3.1.1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti merupakan dasar penatalaksanaan nodul tiroid. Ada beberapa patokan dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung kemungkinan kearah keganasan pada nodul tiroid, yaitu antara lain :

  • Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 70 tahun
  • Gender pria
  • Disertai gejala2 disfagi atau disfoni
  • Adanya riwayat radiasi leher
  • Adanya riwayat karsinoma tiroid sebelumnya
  • Nodul yang padat, keras dan sulit digerakkan
  • Adanya limfadenopati servikal

Beberapa patokan yang mengarahkan diagnosis nodul tiroid jinak, antara lain :

  • Ada riwayat keluarga menderita penyakit otoimun (Hashimoto thyroiditis)
  • Ada riwayat keluarga menderita nodul tiroid jinak
  • Adanya disfungsi hormone tiroid (hipo atau hipertiroidisme)
  • Nodul yang disertai rasa nyeri
  • Nodul yang lunak dan mudah digerakkan
  • Struma multinodosa tanpa adanya nodul yang dominan

F.3.1.2. Evaluasi laboratorik

Tahap awal pemeriksaan laboratorium yang sangat penting dilakukan adalah TSH sensitive (TSHs), untuk menyaring adanya hipertiroid atau hipotiroid, disamping pemeriksaan kadar T4 dan T3 serum (bila kadar TSH berada dalam batas normal rendah atau normal tinggi). Pada kebanyakan kasus nodul tiroid soliter, kadar TSH berada dalam batas normal. Pada keadaan ini tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium tambahan kecuali bila ada kecurigaan terhadap penyakit otoimun (Hashimoto’s thyroiditis). Bila terdapat riwayat keluarga atau pada pemeriksaan fisik ditemukan kecurigaan terhadap Hashimoto’s thyroiditis, maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar anti-TPO antibody dan anti-Tg antibody. Namun adanya Hashimoto’s thyroiditis tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya keganasan.

F.3.1.3. Studi pencitraan (imaging studies)

Pada beberapa rumah sakit, scanning tiroid merupakan studi pencitraan yang rutin dilakukan sebagai evaluasi awal terhadap nodul tiroid. Teknik ini dilakukan untuk membedakan nodul tiroid sebagai hot, warm atau cold nodule berdasarkan ambilan terhadap isotop radioaktif.       Hot nodule menunjukkan nodul yang berfungsi secara otonom, warm nodule menunjukkan fungsi tiroid yg normal sedangkan cold nodule menunjukkan jaringan tiroid yang hipofungsi atau non fungsional. Hot nodule jarang mengalami keganasan, sedangkan warm atau cold nodule mempunyai kecenderungan ganas pada 5 sampai 8 % kasus. Dengan berkembangnya teknologi pencitraan, maka USG saat ini merupakan teknik yang sangat sensitif dalam menentukan ukuran dan jumlah nodul tiroid. Namun USG tidak dapat membedakan antara nodul tiroid jinak maupun ganas, serta tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai bagian rutin dari evaluasi diagnosis awal nodul tiroid soliter. Ultrasonografi tiroid baru bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu bila digunakan sebagai pemandu pada FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) atau BAJAH  (= Biopsi Aspirasi Jarum Halus). 

CT scan atau MRI juga tidak dianjurkan untuk evaluasi awal karena biayanya mahal. Kedua pemeriksaan ini baru bermanfaat dalam mengevaluasi adanya massa tiroid substernal.

F.3.1.4. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH)

Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) merupakan tahapan paling penting dalam evaluasi diagnostik nodul tiroid. Saat ini sejumlah studi membuktikan bahwa BAJAH merupakan prosedur diagnostik yang sangat akurat, dengan sensitivitas lebih dari 80 % serta spesifisitas lebih dari 90%. Ketepatan  BAJAH dalam menegakkan diagnosis nodul tiroid sangat tergantung dari ketrampilan dokter dalam melakukan biopsi dan pengalaman serta penilaian dari ahli sitopatologi.  BAJAH juga sangat murah bila dibandingkan dengan pemeriksaan pencitraan dan USG. Beberapa studi melaporkan bahwa penggunaan BAJAH sebagai pemeriksaan rutin dalam megevaluasi nodul tiroid dapat mengurangi angka kebutuhan tiroidektomi diagnostik sebesar 20 sampai 50%, sementara hasil diagnosis yang mendukung kearah keganasan pada spesimen jaringan tiroid melalui BAJAH meningkat sebesar 15 sampai 45%. Hasil pemeriksaan sitopatologi dari BAJAH dapat mendiagnosis nodul tiroid dalam beberapa kategori, antara lain : ganas, jinak, tiroiditis, neoplasma follikuler, suspicious atau non diagnostik. Pada kategori ganas, BAJAH dapat membedakan karsinoma papiller, karsinoma meduller, karsinoma anaplastik dan karsinoma metastatik ke kelenjar tiroid serta limfoma maligna. BAJAH juga dapat membantu menegakkan diagnosis nodul koloid, Hashimoto thyroiditis dan subacute thyroiditis. Salah satu kelemahan BAJAH adalah bila hasil aspirasi menunjukkan keadaan hiposeluler dan pada aspirat yang banyak mengandung sel-sel folikel. Aspirat yang hiposeluler dapat terjadi pada nodul kistik atau berhubungan dengan kesalahan teknik biopsi. Untuk mengurangi kemungkinan kesalahan, sebaiknya BAJAH dilakukan dengan bimbingan atau panduan USG.  Aspirat yang banyak mengandung sel-sel folikel menunjukkan adanya neoplasma folikuler, namun BAJAH tidak dapat membedakan antara neoplasma folikuler jinak dan neoplasma folikuler ganas. Disamping itu aspirat yang banyak mengandung sel-sel Hurthle dapat menunjukkan neoplasma sel Hurthle jinak atau ganas serta beberapa kasus tiroiditis Hashimoto.

 

F.3.2. Penatalaksanaan

Hal yang paling penting dalam melakukan evaluasi diagnosis nodul tiroid soliter meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan kadar TSH serta BAJAH. Penatalaksanaan selanjutnya sangat tergantung dari hasil diagnosis sitopatologi dari spesimen yg diperoleh melalui BAJAH. Bila hasilnya menunjukkan keganasan maka merupakan indikasi untuk tindakan operatif, kecuali pada limfoma maligna yang tidak memerlukan tindakan operatif serta pada karsinoma anaplastik.  Pada kebanyakan kasus nodul tiroid jinak sebaiknya dilakukan pemantauan secara periodik tanpa harus selalu dirujuk kebagian bedah. Walaupun angka kejadian false-negative dari hasil BAJAH rendah, namun kebanyakan dokter merekomendasikan BAJAH ulang untuk konfirmasi diagnosis 6 sampai 12 bulan setelah diagnosis nodul tiroid jinak ditegakkan atau bila terjadi perubahan karakteristik nodul pada pemantauan. Tindakan operatif terhadap nodul tiroid jinak diindikasikan pada pasien-pasien yang mempunyai gejala-gejala seperti disfagi atau disfoni yang menunjukkan adanya penekanan jaringan sekitar atau bila ada alasan kosmetik.  Bila hasil aspirasi non diagnostik, perlu dilakukan aspirasi ulang yang sebaiknya dibawah bimbingan USG. Nodul tiroid yang pada hasil aspirasi ulang masih menunjukkan hasil non diagnostik, mungkin perlu dirujuk kebagian bedah untuk tindakan operatif.

F.3.3. Pertimbangan khusus :

  1. Nodul tiroid insidental

Dengan perkembangan teknologi pencitraan, terjadi peningkatan temuan nodul tiroid secara insidental yang sebelumnya tidak teraba pada pemeriksaan fisik. Bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kecurigaan kearah ganas, sebaiknya dilakukan pemantauan dengan USG resolusi tinggi secara periodik.

  1. Nodul tiroid otonom

      Pasien dengan nodul tiroid soliter yang disertai penurunan kadar TSH, yang menunjukkan adanya hipertiroid atau hipertiroid subklinis, tidak memerlukan pemeriksaan BAJAH. Pada kasus ini perlu dipertimbangkan untuk diberikan terapi iodine-131 atau intervensi bedah.

 

Bab 6

Kelenjar Pankreas

  1. Struktur dan histologi

            Pankreas mempunyai fungsi endokrin dan eksokrin, yang diperankan oleh kelompok sel yang berbeda. Bagian endokrin dibangun oleh kelompok-kelompok kecil jaringan glandular yang dikenal dengan nama pulau-pulau Langerhans dengan diameter 300 mikron, yang membentuk kurang dari 2 % dari massa pankreas. Selebihnya (98%) diisi oleh bagian eksokrin (asinar). Bagian endokrin ini mensekresi  2 hormon peptida penting yang terlibat dalam regulasi glukosa darah, yaitu insulin dan glukagon.  Pada pankreas manusia, diperkirakan terdapat sebanyak 1 juta kelompok pulau-pulau Langerhans yang masing-masing unit sekresinya menerima suplai darah kapiler yang merupakan cabang dari arteri gastroduodenal dan mesenterika superior yang kemudian mengalirkan darah kembali melalui vena-vena splenika dan mesenterika superior menuju vena porta. Masing-masing pulau Langerhans pankreas mengandung sekitar 2500 sel epitel khusus yang tertanam didalam jaringan eksokrin, dimana secara imunohistokimia atau metoda pengecatan khusus dapat dideteksi menjadi 4 jenis sel utama yaitu :

  1. Sel-sel a (sekitar 20% dari populasi sel2 pulau Langerhans, merupakan jenis sel yang paling besar, terletak ditepi-tepi bagian luar, memproduksi glukagon.
  2. Sel-sel b yang lebih kecil dan lebih banyak populasinya (sekitar 70%), menempati daerah sentral dari pulau-pulau Langerhans, menghasilkan insulin.
  3. Sel-sel d (sekitar 10%) tersebar disepanjang tepi pulau-pulau Langerhans, memproduksi somatostatin (yang merupakan suatu hypothalamic Growth-Hormone release-inhibiting hormone), yang mempunyai aksi parakrin lokal terhadap sel-sel pulau Langerhans lainnya untuk mempengaruhi sekresi insulin dan glukagon.
  4. Sel-sel PP (atau F), merupakan bagian terkecil dari sel-sel pulau Langerhans yang mensekresi pancreatic polypeptide, namun peranannya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas.

            Sel-sel pulau Langerhans yang berdekatan secara metabolik dan elektrik terhubung satu sama lain  melalui suatu gap junction, sehingga memungkinkan terjadinya sinkronisasi dalam sekresi hormon.

            Ujung-ujung serat syaraf simpatis dan parasimpatis menempel erat pada semua jenis sel pulau Langerhans.

  1. Hormon-hormon pankreas

B.1. Insulin

B.1.1. Biosintesis, penyimpanan dan produksi

 

Gambar 9. Struktur molekul prekursor insulin, yaitu proinsulin.

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

                Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 rantai asam amino, disintesis didalam sel-sel b pankreas dalam bentuk molekul prekursor yaitu proinsulin (yang diturunkan dari suatu produk gen insulin yang lebih besar, yaitu preproinsulin). Struktur proinsulin terdiri dari rantai A dan rantai B yang dihubungkan dengan jembatan disulfida, bersama dengan suatu peptida penghubung yang mengandung 31 rantai asam amino (C-peptide). Setelah disintesis, proinsulin disimpan didalam granul-granul sekresi sitoplasmik (yang terletak berdekatan dengan membran sel), dimana proinsulin secara perlahan dilepaskan oleh enzim-enzim peptidase untuk menghasilkan insulin dan molekul-molekul C-peptida. Insulin disimpan didalam inti granul dalam bentuk kompleks polimer dengan seng. Produksi insulin terjadi melalui proses eksositosis, dimana setelah dilepaskan kedalam sirkulasi portal, insulin secara cepat dimetabolisir oleh hati dan ginjal dengan waktu paruh sekitar 5 sampai 10 menit. Penentuan kadar C-peptida didalam darah yang dilakukan dengan metoda radioimmunoassay, dapat digunakan untuk pengukuran aktivitas sel-sel b pada pasien-pasien diabetes.

B.1.2. Kendali Produksi

                Sekresi insulin diatur oleh sejumlah faktor stimulasi dan faktor inhibisi, walaupun kadar sekresi basal dipertahankan dalam batas normal.

Faktor-faktor tersebut antara lain :

  1. Kadar glukosa darah :

            Salah satu perangsang utama sekresi insulin adalah kadar glukosa didalam darah. Peningkatan kadar glukosa darah (diatas 4,5 mmol/l = 81 mg/dl) akan merangsang sintesis dan sekresi insulin melalui mekanisme umpan balik langsung. Sekresi insulin terjadi secara bifasik (fase awal dan fase lanjut) sebagai respons terhadap stimulasi glukosa yang kontinyu. Efek stimulasi glukosa tergantung dari transpor awal glukosa kedalam sel beta (melalui protein pengangkut GLUT2), dan selanjutnya akan dimetabolisir untuk menghasilkan ATP. Kadar ATP yang tinggi selanjutnya akan menghambat aktivitas K+-ATP channel yang berada pada membran sel beta, dengan hasil akhir berupa depolarisasi sel, masuknya ion Ca+2 dan merangsang pelepasan hormon insulin.

            Dalam keadaan kadar ATP intrasel yang normal, kanal K ini tetap terbuka, sehingga mempertahankan sel beta dalam keadaan hiperpolarisasi (non-secreting).

  1. Hormon-hormon pankreas lain :

            Glukagon dan somatostatin juga dapat mempengaruhi pelepasan insulin secara tidak langsung (stimulasi atau inhibisi) melalui modulasi kadar cAMP intrasel; peningkatan kadar cAMP dan aktivasi protein kinase A selanjutnya akan memicu eksositosis insulin dan sebaliknya.

  1. Hormon-hormon saluran cerna :

            Beberapa hormon yang dilepaskan dari saluran cerna seperti gastrin, secretin, cholecystokinin, glucagon like peptide-1 dan gastric inhibitory peptide (GIP) secara langsung dapat merangsang sekresi insulin. Efek humoral dari hormon-hormon ini secara fisiologik memegang peran penting dalam merespons kenaikan kadar glukosa darah setelah makan. Pemberian glukosa oral akan merangsang peningkatan sekresi insulin lebih besar daripada pemberian intravena, hal ini menunjukkan peran penting dari hormon-hormon saluran cerna (yang dilepaskan pada saat makan) dalam meningkatkan sekresi insulin.

    Suatu hormon yang dikenal dengan glucagon-like peptide (GLP-1 atau incretin), turunan dari molekul prekursor preproglucagon disekresi oleh sel-sel L usus halus segera setelah ada asupan makanan atau glukosa oral. Hormon ini merupakan perangsang sekresi insulin yang kuat (efek insulinotropik).

  1. Asam-asam amino dan asam-asam lemak :

            Arginin, leucine dan beberapa asam amino lain yang berasal dari asupan protein merupakan perangsang sekresi insulin yang kuat; efek ini umumnya bersifat sinergistik dengan efek glukosa. Peningkatan kadar asam lemak bebas juga akan merangsang sekresi insulin.

  1. Hormon-hormon lain :

            Growth hormone (GH), glucocorticoid dan hormon-hormon tiroid dapat merangsang sekresi insulin secara tidak langsung melalui peningkatan kadar glukosa darah.

  1. Sistem syaraf otonom :

            Stimulasi syaraf parasimpatik (vagal) akan meningkatkan sekresi insulin, sementara stimulasi syaraf simpatik akan menghambatnya. Aktivasi adrenoseptor a pada membran sel b akan menurunkan kadar cyclic AMP, sebaliknya aktivasi adrenoseptor b oleh agonis adrenergik akan meningkatkan kadar cyclic AMP.

B.1.3. Prinsip kerja Insulin

Insulin merupakan satu-satunya hormon yang mempunyai kemampuan langsung menurunkan kadar glukosa darah. Insulin merupakan hormon anabolik, yang bekerja merangsang penyimpanan energi kimiawi yang berasal dari makanan dalam bentuk glikogen, protein dan lipid (trigliserida), dan menekan mobilisasi (katabolisme) zat-zat gizi yang sudah tersimpan. Target utama dari kerja insulin adalah sel-sel hati, sel-sel otot dan jaringan lemak yang merupakan organ-organ utama untuk penyimpanan energi. Beberapa jaringan tubuh seperti ginjal, otak dan sel-sel darah merah kurang sensitif atau bahkan tidak tergantung dengan insuli

Prinsip kerja insulin pada sel-sel target secara ringkas melalui 2 mekanisme :

  1. Efek terhadap transpor zat-zat nutrisi : meningkatkan transpor glukosa, asam amino dan asam lemak kedalam sel.
  2. Memodulasi jalur metabolisme intraselular : meningkatkan sintesis glikogen, protein dan lemak dan sintesis asam nukleat melalui stimulasi langsung terhadap DNA dan pembentukan RNA.

Metabolisme Karbohidrat

Efek terhadap Transpor Glukosa

            Kadar glukosa plasma dalam keadaan normal dipertahankan dalam rentang 3,5 sampai 6,4 mmol/l (65 – 115 mg/dl). Dengan adanya insulin, ambilan glukosa oleh jaringan-jaringan ini cepat meningkat, karena mobilisasi dan aktivasi molekul-molekul transporter glukosa (GLUT4) dari vesikel-vesikel intrasel menuju membran sel. Proses ini dimediasi oleh adanya fosforilasi protein yang tergantung insulin didalam vesikel-vesikel intrasel tersebut.

 

 

 

Tabel 2.  Efek metabolik utama dari insulin

•        Meningkatkan transpor glukosa didalam otot dan lemak

•        Meningkatkan ambilan asam amino didalam otot

•        Meningkatkan sintesis lemak didalam hati dan jaringan adiposa (lipogenesis)

•        Meningkatkan konversi glukosa menjadi glucose-6-phophate didalam hati

•        Meningkatkan metabolisme glukosa (glikolisis) dan sintesis glikogen didalam hati dan otot (glikogenesis)

•        Mengurangi pemecahan pro-tein didalam otot

•        Mengurangi pemecahan lemak didalam jaringan adiposa (lipolisis)

•        Mengurangi glukoneogenesis (sintesis glukosa dari sumber non karbohidrat : asam amino, laktat dan gliserol) didalam hati

•        Menghambat pemecahan glikogen (glikogenolisis)

 

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

                Beberapa jaringan (hati, sel-sel darah merah dan sebagian sel otak) memerlukan difusi (melalui protein-protein transpor glukosa yang spesifik) untuk masuknya glukosa, sehingga kadar glukosa darah yang cukup sangat penting untuk mempertahankan fungsi sel yang normal.

                Sel-sel tubulus proksimal ginjal dan sel-sel epitel lumen usus halus juga mempunyai transpor glukosa aktif yang tergantung pada Na+(SGLT1) yang tidak dipengaruhi insulin.  Sedikitnya ada 5 jenis protein transpor glukosa yaitu GLUT 1 sampai 5, yang masing-masing mempunyai distribusi jaringan tertentu, hanya isoform GLUT4 (secara unik diekspresi didalam otot rangka, otot jantung dan sel-sel lemak) yang dapat diatur oleh insulin.

Efek utama kerja insulin :

  1. Stimulasi sintesis glikogen didalam otot rangka, hati dan jaringan lemak dengan cara langsung meningkatkan enzim glycogen synthase dan menurunkan aktivitas glycogen phosphorylase.
  2. Meningkatkan fosforilasi glukosa hati (stimulasi aktivitas glukokinase), dan menurunkan defosforilasi glukosa (inhibisi aktivitas glucose-6-phosphatase).
  3. Meningkatkan metabolisme glukosa (glikolisis) bersamaan dengan penurunan glukoneogenesis di hati.

Enzim kunci yang terlibat dalam proses glikolisis (konversi glukosa menjadi piruvat dan laktat)  adalah 6-phospho- fructokinase dan pyruvate kinase, yang kerjanya distimulasi oleh insulin. Sementara enzim yang bekerja pada proses glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari asam amino, laktat dan gliserol) adalah pyruvate carboxylase dan phophoenolpyruvatecarboxykinase, dihambat oleh insulin. Efek unik dari insulin didalam tubuh dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah berupa penurunan masuknya glukosa kedalam aliran darah dari simpanan glikogen hati disertai dengan peningkatan ambilan glukosa kedalam sel.  Jalur utama metabolisme glukosa dan glikogen yang dipengaruhi oleh insulin dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 10. Efek insulin terhadap metabolisme glukosa, glikogen dan asam lemak didalam hati.Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

Metabolisme protein

                Insulin merangsang transpor aktif selular asam amino kedalam otot (menurunkan kadar asam amino didalam darah) dan juga merangsang langsung sintesis protein didalam otot, disamping menghambat pemecahan protein. Penurunan kadar asam amino didalam sirkulasi secara keseluruhan akan menurunkan glukoneogenesis didalam hati.

Metabolisme lemak

            Insulin merangsang ambilan glukosa kedalam sel-sel adiposa dan merangsang sintesis lemak (lipogenesis) dan penyimpanan asam lemak dalam bentuk trigliserida didalam jaringan adiposa dan hati (aktivitas enzim lipoprotein lipase yang memfasilitasi klirens lemak didalam diet dari plasma, meningkat dengan adanya insulin).Insulin juga mencegah pemecahan lemak (lipolisis) dengan cara menghambat aktivitas enzim hormone-sensitive lipase didalam sel-sel adiposa; sehingga kadar asam lemak bebas didalam sirkukasi akan menurun. Insulin mempunyai efek yang kompleks pada banyak jaringan. Efek ini sekarang diketahui dimediasi melalui interaksi dengan reseptor insulin spesifik pada permukaan sel target.

Reseptor insulin merupakan suatu glikoprotein transmembran dengan berat molekul 400 kDa, terdiri dari 2 subunit a yang identik, masing-masing berpasangan satu sama lain dan dihubungkan dengan 2 subunit b yang identik melalui jembatan disulfida. Subunit a mempunyai bagian pengikat yang mempunyai afinitas tinggi, yang menempati bagian luar, sementara subunit b berikatan dengan membran sel dan memiliki aktivitas intrinsik tyrosine-specific protein kinase yang diregulasi oleh ikatan insulin.  Aktivitas kinase ini sangat penting untuk mediasi kerja metabolik dari insulin. Beberapa kelainan genetik yang jarang ditandai dengan resistensi selular terhadap kerja insulin yang diyakini akan menimbulkan gangguan fungsi dan struktur reseptor insulin. Enzim protein kinase mengkatalisir transfer fosfat dari ATP ke residu asam amino pada protein, sementara enzim fosfatase mengkatalisir proses hidrolisis dari senyawaan fosfat sehingga secara efektif dapat melawan efek regulasi dari kinase. Bersamaan dengan ikatan insulin pada salah satu subunit a , domain internal dari subunit b secara cepat mengalami fosforilasi (autofosforilasi via ATP) yang selanjutnya akan merangsang aktivitas tirosin kinase intrinsik dari reseptornya.

Substrat protein sitoplasma utama bagi insulin receptor kinase dikenal dengan nama insulin receptor substrate-1 (IRS-1), suatu peptida dengan berat molekul 185 kDa mengandung beberapa tempat fosforilasi tirosin yang kuat didalam molekulnya. IRS-1 sendiri tidak mempunyai fungsi katalitik intrinsik, tetapi bekerja sebagai suatu docking protein yang berinteraksi dengan berbagai elemen-elemen regulator selama transmisi sinyal insulin. Beberapa enzim kunci dan protein yang mengalami fosforilasi (via enzim kinase) atau defosforilasi (via enzim fosfastase) dalam merespons kerja insulin, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3.

Enzim-enzim  kunci yang mengalami defosforilasi atau fosforilasi dalam merespons kerja insulin

 

Enzim yang mengalami defosforilasi

Efek terhadap enzim aktif

Glycogen synthase

Pyruvate dehydrogenase

Acetyl-CoA carboxylase

Glycogen phosphorylase

Phoshorylase kinase

Hormone-sensitive lipase

Aktivasi

Aktivasi

Aktivasi

Inaktivasi

Inaktivasi

Inaktivasi

Enzim dan protein yang mengalami fosforilasi

Efek terhadap enzim aktif

cAMP phosphodiasterase

ATP-citrate lyase

Protein phosphatase-1G (PP1G)

Protein yang mengontrol translokasi molekul-molekul transporter glukosa intraselular

Aktivasi

Aktivasi

Aktivasi

GLUT4 dari simpanan intra-selular menuju membran plasma.

 

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

                Reseptor untuk IGF-1 mempunyai kesamaan dengan reseptor insulin dan juga menggunakan jalur sinyal IRS-1. Stimulasi berkepanjangan terhadap reseptor insulin akan merangsang internalisasi (endositosis) dari kompleks insulin-reseptor dan pada akhirnya akan menyebabkan degradasi insulin. Beberapa reseptor yang telah mengalamai internalisasi akan mengalami degradasi, sementara kebanyakan akan digunakan kembali. Reseptor insulin yang mengalami internalisasi masih dapat  berfungsi sebagai enzim tyrosine kinase, menunjukkan peran tambahannya dalam proses transduksi sinyal. Beberapa gambaran jalur kerja insulin seperti mekanisme pengaruh insulin terhadap sintesis DNA dan RNA, sampai saat ini masih relatif belum jelas.

B.2. Glukagon

            Glukagon merupakan suatu peptida sederhana dengan 29 asam amino, yang disintesis didalam sel-sel a pulau-pulau Langerhans dari molekul prekursor yang lebih besar, preproglucagon dan disimpan didalam granul-granul sitoplasma. Tidak seperti insulin, struktur glukagon identik pada beberapa spesies mamalia yang berbeda. Hormon ini dilepaskan dari sel-sel a pulau Langerhans (kedalam sirkulasi darah porta) melalui proses eksositosis yang tergantung ion kalsium (Ca+2 dependent), dimediasi oleh adanya peningkatan kadar cAMP intrasel.  

            Setelah dilepaskan, dengan cepat dimetabolisir oleh hati dan ginjal (waktu paru didalam plasma 3 – 5 menit). Glukagon didalam usus juga disekresi oleh sel-sel khusus yang menyerupai sel a didalam mukosa lambung dan duodenum, dan mempunyai kerja yang sama dengan hormon yang dihasilkan oleh pankreas.

B.2.1. Kendali sekresi

Sekresi glukagon dipengaruhi oleh beberapa faktor :

  1. Kadar glukosa darah :

            Berbeda dengan insulin, peningkatan kadar glukosa darah (setelah makan), akan menghambat sekresi glukagon dan sebaliknya. Sensitivitas sel-sel a terhadap glukosa tergantung kepada kadar insulin yang adekuat. Jadi, dalam keadaan defisiensi insulin (misal pada diabetes melitus), terjadi gangguan sekresi glukagon untuk merespons keadaan kadar glukosa darah yang rendah.

  1. Hormon-hormon pulau Langerhans yang lain.

            Sekresi glukagon dihambat juga oleh somatostatin dan insulin.

  1. Hormon-hormon saluran cerna :

            Kolesistokinin, gastrin dan gastric inhibitory peptide (GIP) akan merangsang sekresi glukagon.

  1. Asam amino dan asam-asam lemak :

            Beberapa asam amino tertentu, terutama arginin dan alanin akan merangsang sekresi glukagon, sementara peningkatan kadar asam lemak bebas menyebabkan hambatan terhadap sekresi glukagon (efek antagonistik dari asam lemak terhadap pelepasan insulin). Meningkatnya sekresi glukagon dalam merespons asupan makanan yang kaya protein merangsang hati untuk merubah kelebihan asam amino didalam plasma menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis.

  1. Sistem syaraf otonom :

            Stimulasi syaraf simpatis dan parasimpatis akan meningkatkan sekresi glukagon. Sekresi glukagon juga dapat meningkat karena rangsangan stres, terutama via sistem syaraf simpatis.

B.2.2. Kerja glukagon

            Kerja utama dari glukagon berlawanan dengan insulin  dan bertujuan untuk melindungi tubuh dari keadaan hipoglikemi (kadar glukosa darah < 2,8 mmol/l = 50 mg/dl). Glukagon merupakan hormon anabolik yang bekerja meningkatkan kadar glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lemak didalam hati, yang merupakan organ target utamanya. Efek ini dimediasi oleh reseptor glukagon membran spesifik (berpasangan dengan adenylate cyclase) yang akan merangsang peningkatan kadar cAMP intraselular didalam sel-sel target.

Prinsip kerja glukagon dapat diringkas sebagai berikut :

  • Meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis, sehingga meningkatkan produksi dan pelepasan glukosa kedalam aliran darah.
  • Meningkatkan lipolisis dan mobilisasi asam lemak (dari trigliserida), yang akan menyebabkan peningkatan kadar ketoasid didalam sirkulasi, yaitu asetoasetat dan b-hidroksi butirat. Efek ini dimediasi melalui peningkatan aktivitas hormone-sensitive lipase (melalui peningkatan cAMP).

Rasio insulin-glukagon :

                Dibandingkan dengan insulin, kadar basal dari sekresi glukagon relatif tinggi. Asupan makanan akan merangsang perubahan kadar insulin dan glukagon plasma.

            Rasio insulin-glukagon (normalnya sekitar 2), dapat mengalami perubahan tergantung ketersediaan zat-zat nutrisi dan jumlah energi yang dibutuhkan tubuh, misal rasio akan menurun sampai kurang dari 0,5 selama periode puasa atau setelah latihan fisik yang lama. Dalam keadaan ini, terjadi peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis untuk mempertahankan kadar glukosa yang adekuat bagi kebutuhan organ-organ vital terutama sistem syaraf pusat, serta peningkatan lipolisis untuk menyediakan asam lemak dan keton sebagai sumber energi bagi proses oksidasi didalam otot dan hati.     Bila zat-zat gizi berlebihan, misal setelah makan, rasio ini dapat meningkat sampai mencapai angka diatas 10 karena peningkatan sekresi insulin, yang akan merangsang ambilan glikogen, protein dan lemak.

B.3. Peptida lain didalam sel b pankreas.

B.3.1. Amylin

                Amylin (islet amyloid polypeptide: IAPP) adalah suatu peptida dengan 37 rantai asam amino yang diproduksi oleh sel-sel b pankreas bersamaan dengan sekresi insulin dengan kadar yang sangat rendah (rasio 1:100). Secara struktural, merupakan peptida famili dari kalsitonin, yang didalam famili ini termasuk kalsitonin dan calcitonin gene-related peptides (CGRPa dan CGRPb). Famili ini merupakan neuropeptida regulator yang penting baik pada sistem syaraf pusat maupun sistem syaraf tepi. Amylin juga dapat mempengaruhi metabolisme karbohidrat dengan cara menurunkan sintesis glikogen dari glukosa didalam otot rangka, meningkatkan pemecahan glikogen didalam otot menjadi laktat (berlawanan dengan kerja insulin), sehingga akan meningkatkan kadar laktat didalam plasma. Amylin juga mempunyai efek inhibisi autokrin terhadap sekresi insulin oleh sel-sel b pankreas. Saat ini amylin diketahui  berperan penting dalam patogenesis DM tipe2, dimana kadarnya didalam plasma mengalami peningkatan pada pasien-pasien DM tipe 2 yang kronik dan mengalami penurunan atau kadarnya rendah pada DM tipe 1. Bila kadarnya berlebihan, amylin dapat mengalami akumulasi dan membentuk serat-serat amyloid didalam pankreas yang tidak larut yang akan mengendap didalam sel-sel beta pulau Langerhans. Endapan amyloid ini merupakan kontributor terjadinya degenerasi sel-sel beta pulau Langerhans. Secara fungsionil, amylin mempunyai efek metabolik yang berlawanan dengan insulin pada otot rangka dan produksinya yang berlebihan dapat menjadi penyebab terjadinya resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa dan obesitas. Strategi pengobatan yang ditujukan pada hambatan produksi amyloid pankreas atau blokade aksi amylin dijaringan perifer, saat ini sedang dalam penelitian untuk digunakan dalam pengobatan DM tipe 2.

B.3.2. Pancreastatin

                Pancreastatin (PST) merupakan peptida yang mengandung 49 rantai asam amino, diturunkan dari chromogranin A (CgA), suatu glikoprotein asam yang disekresi bersamaan dengan katekolamin dari ujung-ujung syaraf simpatis dan sel-sel kromafin adrenal. Karena CgA diproses menjadi PST  didalam plasma, diperkirakan bahwa kadarnya yang tinggi didalam darah merupakan refleksi dari aktivitas syaraf simpatis yang berlebihan pada hipertensi esensial. Didalam pankreas, PST dilepaskan bersamaan dengan insulin dan dapat menghambat baik sekresi insulin maupun sekresi glukagon, serta sekresi eksokrin pankreas. PST juga dapat dijumpai didalam saluran cerna (gaster, duodenum, usus halus dan kolon) dan disimpan serta disekresi bersamaan dengan parathormon (PTH) didalam kelenjar paratiroid. Namun fungsinya didalam kelenjar ini masih belum jelas.

  1. Kelainan klinis kelenjar endokrin pankreas

C.1. Hiposekresi dan hipersekresi glukagon

                Kondisi klinis hiposekresi glukagon tidak diketahui dengan jelas, walaupun beberapa kasus hipoglikemi neonatus menunjukkan adanya defisiensi glukagon. Pada keadaan yang jarang, sekresi glukagon yang berlebihan dapat terjadi akibat tumor yang mensekresi glukagon (glucagonoma) yang dapat menyebabkan gejala-gejala diabetes ringan (seperti hiperglikemi dan penurunan berat badan). Pengobatan tumor ini dilakukan dengan tindakan operatif. Pada keadaan hipoglikemi berat dapat diberikan glucagon hydrochloride (1 mg i.m., i.v., atau s.c).

C.2. Hiposekresi (defisiensi) insulin

                Hiposekresi insulin oleh pankreas dapat menyebab-kan diabetes melitus. Secara keseluruhan prevalensi diabetes di Amerika Serikat hampir sama dengan di Inggeris, dengan angka kejadian yang lebih dari 40% pada etnis Pima Indian di Arizona. Penyakit ini merupakan penyakit yang serius dimana terjadi gangguan konversi glukosa menjadi energi karena gangguan kemampuan untuk menyimpan glikogen, lemak dan protein.

 

Keadaan ini akan menyebabkan :

  1. Hiperglikemi kronik dan glikosuria (kadar glukosa darah dan urin yang tinggi.
  2. Poliuri (produksi urin berlebihan) disertai dehidrasi dan rasa haus yang berlebihan (polidipsi).
  3. Polifagi (nafsu makan bertambah) dikarenakan transpor glukosa kedalam sel yang tidak adekuat yang akan merangsang rasa lapar.
  4. Pengurangan massa otot dan lemak disertai dengan peningkatan metabolit-metabolit ketoasid didalam darah (ketosis).

Konsekuensi utama defisiensi insulin :

  1. Hiperglikemi dan glukosuria

            Tanpa adanya insulin, kadar glukosa darah dapat mengalami peningkatan diatas 35 mmol/liter (normal antara 3,6 – 6,7 mmol/l setelah puasa). Dalam keadaan normal, glukosa difiltrasi oleh glomeruli ginjal, kemudian secara sempurna akan direabsorbsi didalam tubuli ginjal melalui mekanisme pengangkut (carrier mechanism). Namun bila beban filtrasi melebihi ambang ginjal yaitu bila melebihi 10 mmol/liter (180 mg/dl), glukosa akan ditemukan didalam urin dan berperan sebagai diuretik osmotik (menahan air didalam tubuli), menimbulkan poliuria, dehidrasi dan polidipsia. Ambang ginjal untuk glukosa umumnya cenderung mengalami peningkatan seusai dengan bertambahnya usia. Pada kasus yang berat, diuresis osmotik yang berat dapat menimbulkan penurunan volume darah yang berat sehingga  akan menyebabkan penurunan kesadaran bahkan kematian.

  1. Ketosis

            Dalam keadaan tanpa insulin, terjadi stimulasi lipolisis sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas didalam darah. Asam lemak didalam hati akan dirubah menjadi produk intermedianya yaitu derivat acyl CoA dan kemudian dioksidasi didalam mitokondria menjadi acetyl CoA. Acetyl CoA kemudian akan masuk kedalam siklus asam sitrat, mengalami oksidasi lebih lanjut dan menghasilkan CO2 dan energi. Pada DM yang tidak terkontrol terutama DM tipe 1, defisiensi insulin yang berat akan menyebabkan peningkatan kadar acetyl CoA yang akan menumpuk didalam hati dan membentuk benda-benda keton : acetoacetate, 3-hydroxybutyrate dan acetone, yang kemudian masuk kedalam aliran darah (ketonemia) dan urin (ketonuria). Acetone akan menimbulkan bau nafas yang khas.

Kadar benda-benda keton yang tinggi didalam sirkulasi juga akan menimbulkan mual, muntah, asidosis metabolik (pH darah yg rendah) dan koma diabetik.

  1. Kelemahan otot.

            Defisiensi insulin akan menurunkan proses anabolik dan memfasilitasi proses katabolik, akibatnya pemecahan protein mengalami peningkatan dan kadar asam amino didalam darah meningkat. Deplesi protein (bersamaan dengan peningkatan pemecahan lemak) pada DM yang kronik akan menyebabkan kelemahan otot yang berat dan penurunan berat badan.

C.3. Hipersekresi insulin

            Hipersekresi insulin (hiperinsulinisme) dapat terjadi akibat tumor yang mensekresi insulin, yaitu tumor sel-sel beta pankreas (insulinoma) atau yang sangat jarang yaitu proliferasi difus dari sel-sel endokrin pankreas (hiperplasi sel-sel beta pankreas, yang lebih sering ditemukan pada anak-anak). Kerja insulin yang berlebihan akan menyebabkan hipoglikemi kronik (yang dapat terjadi pada saat puasa atau latihan fisik), terutama bermanifestasi berupa gejala-gejala neurologik yang episodik (neuroglikopeni), meliputi : hilangnya konsentrasi, konfusi, disorientasi, amnesia, perilaku abnormal (sering salah diagnosis sebagai kelainan jiwa) dan kejang-kejang sampai koma. Pengobatan insulinoma biasanya dengan pembedahan, walaupun cara ini sangat rumit karena tumornya berukuran sangat kecil dan lokasinya sulit ditentukan. Terapi farmakologi dapat diberikan tablet diazoxide (Eudemine) oral jangka panjang, yaitu suatu inhibitor kuat terhadap sekresi insulin dari pankreas. Diazoxide digunakan untuk menormalisir kadar glukosa darah sebelum dilakukan operasi tumor ini dan dalam penatalaksanaan hiperplasia sel-sel beta pankreas. Obat ini juga merupakan vasodilator kuat dan dapat diberikan secara intravena bolus cepat (300 mg) untuk menurunkan tekanan darah secara cepat pada kasus-kasus kedaruratan hipertensi. Reseksi subtotal membuta (blind subtotal resection) dari pankreas (pankreatektomi) merupakan pendekatan terapi yang kurang disenang

C.4. Diabetes Melitus

  1. Definisi

            Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Di  Indonesia saat ini penyakit DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya , yaitu berupa penurunan kualitas SDM , terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5 – 2,3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1 %.  Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Indonesia  membuktikan adanya kenaikan prevalensi  dari tahun ketahun.  Berdasarkan pola pertambahan penduduk , diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4 % akan didapatkan 7 juta pasien DM , suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis / subspesialis / endokrinologis. 

            Dalam strategi pelayanan kesehatan bagi penderita DM, yang seyogyanya diintegrasikan kedalam pelayanan kesehatan primer, peran dokter umum adalah sangat penting. Kasus DM yang tanpa disertai dengan penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum. Apalagi kalau kemudian kadar glukosa darah ternyata dapat terkendali baik dengan pengelolaan ditingkat pelayanan kesehatan primer. Tentu saja harus ditekankan pentingnya tindak lanjut  jangka panjang pada para pasien tersebut. Pasien yang potensial akan menderita penyulit DM perlu secara periodik dikonsultasikan kepada dokter ahli terkait ataupun kepada tim pengelola DM pada tingkat lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Kemudian mereka dapat dikirim kembali kepada dokter yang biasa mengelolanya. Demikian pula pasien DM yang sukar terkendali kadar glukosa darahnya, pasien DM dengan penyulit, apalagi penyulit yang potensial fatal, perlu dan harus ditangani oleh instansi yang lebih mampu dengan peralatan yang lebih lengkap, dalam hal ini Pusat DM di Fakultas Kedokteran / Rumah Sakit Pendidikan / RS Rujukan Utama.  Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna bagi pasien DM dan untuk menekan angka penyulit, diperlukan suatu standar pelayanan minimal bagi penderita DM. Diabetes Melitus adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya dokter, perawat dan ahli gizi, tetapi lebih penting lagi keikutsertaan  pasien sendiri dan keluarganya. Penyuluhan  kepada pasien dan keluarganya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan DM.

  1. Klasifikasi

Klasifikasi DM yang  dianjurkan oleh PERKENI adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sebagai berikut :

  1. Diabetes Melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) :            
    • Autoimun
    • Idiopatik
  2. Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin)
  3. Diabetes Melitus tipe lain :
  4. Defek genetik fungsi sel beta :
    • Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3.
    • DNA mitokondria
  5. Defek genetik kerja insulin
  • Penyakit endokrin pankreas :
    • pankreatitis
    • tumor pankreas /pankreatektomi
    • pankreatopati fibrokalkulus
  1. Endokrinopati :
    • akromegali
    • sindrom Cushing
    • feokromositoma
    • hipertiroidisme
  2. Karena obat/zat kimia :
    • vacor, pentamidin, asam nikotinat
    • glukokortikoid, hormon tiroid
    • tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain
  3. Infeksi :
    • Rubella kongenital, Cytomegalovirus (CMV)

 

  • Sebab imunologi yang jarang :
    • antibodi anti insulin
  • Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :
    • sindrom Down, sindrom Kleinfelter, sindrom Turner, dan lain-lain.

 

  1. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
  1. Diabetes Melitus tipe 1

            Diperkirakan sebanyak 10-20% dari semua kasus diabetes. Onset biasanya akut dan terutama terjadi pada individu usia muda non-obese (walaupun dapat terjadi pada usia dewasa). DM tipe 1 terjadi akibat kerusakan sel-sel beta pankreas, yang menyebabkan penurunan produksi insulin, sehingga memerlukan injeksi insulin eksogen. Penyandang DM tipe 1 juga mempunyai antibodi didalam serum terhadap sel-sel beta pankreas (islet cell autoantibodies;ICAs), atau yang lebih sedikit, antibodi terhadap insulin itu sendiri atau reseptor insulin. Antibodi-antibodi ini dapat dideteksi beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun sebelum timbul gejala-gejala klinis. Antibodi ini bermanfaat sebagai petanda diagnostik pada individu-individu yang suseptibel. Kejadian penyakit otoimun yang lain seperti Penyakit Addison, penyakit tiroid dan anemia pernisiosa cenderung meningkat pada pasien-pasien dengan DM tipe 1. Walaupun DM tipe 1 tidak secara langsung diturunkan, pasien-pasien yang mempunyai tipe HLA (Human Leukocyte Antigen) tertentu mempunyai risiko tinggi untuk menderita penyakit tersebut yang kemungkinan dapat diturunkan.

Antigen-antigen HLA adalah glikoprotein permukaan sel yang terdapat pada semua jenis sel kecuali sel-sel darah merah dan sperma; mereka membentuk bagian dari molekul-molekul permukaan sel yang ditentukan oleh suatu major histocompatibility complex (MHC) dari gen yang terdapat pada lengan pendek dari kromosom 6. Ada 6 loki gene HLA yang penting (dikenal dengan kode A,B,C,DP,DQ dan DR) untuk lebih dari 100 jenis antigen HLA, yang masing-masing memiliki kombinasi tetap dari molekulnya. Antigen-antigen tertentu yang mempredisposisi seseorang untuk menderita DM tipe 1 adalah HLA-DR3,DR4 (atau keduanya) dan DQw8 (w menunjukkan indentifikasi provisional). Hal yang menarik yaitu adanya HLA-DR2 yang bersifat proteksi terhadap terjadinya diabetes). Beberapa penyakit otoimun yang lain juga berhubungan dengan kelompok HLA tertentu (misalnya Penyakit Grave dengan HLA-B8). Saat ini telah diketahui pula bahwa terbentuknya antigen HLA spesifik tertentu dapat meningkatkan suseptibilitas sel-sel beta pankreas terhadap serangan virus (seperti virus mumps, rubella atau coxsackie B4) atau terhadap pengaruh toksin-toksin tertentu didalam lingkungan, sehingga respons otoimun akan terbentuk melawan self-antigen tersebut yang terdapat dipermukaan membran sel beta.

  1. Diabetes Melitus tipe 2

            Jenis diabetes ini sebelumnya dikenal dengan maturity-onset diabetes, lebih sering ditemukan (berkisar antara 80% sampai 90% dari semua kasus). Perjalanan penyakitnya berlangsung lebih lambat, biasanya terjadi pada usia yang lebih tua (diatas 40 tahun) dan kebanyakan pada individu yang obese. Saat ini jumlah pasien DM tipe 2 diseluruh dunia diperkirakan sebesar 5% dari populasi dunia. Sel-sel beta pankreas pada pasien DM tipe 2 masih mensekresi insulin, sehingga terapi insulin biasanya tidak mutlak diperlukan. Namun walaupun demikian jumlah insulin yang disekresi oleh sel-sel beta pankreas tidak cukup banyak untuk mempertahankan kadar glukosa darah yang normal. Pada kebanyakan pasien menunjukkan gambaran resistensi insulin (disertai dengan kadar insulin didalam darah yang tinggi atau hiperinsulinemia, sehingga akan menyebabkan kelelahan (exhaustion) sel-sel beta pankreas. Keadaan ini menunjukkan adanya gangguan dari kerja insulin (terutama dalam merangsang ambilan glukosa dijaringan otot) pada tingkat reseptor atau post receptor. Resistensi insulin akan menyebabkan meningkatnya lipolisis dan peningkatan kadar asam lemak bebas. Bersamaan dengan meningkatnya produksi glukosa hati dan menurunnya ambilan glukosa diotot, akan terjadi hiperglikemi. Mekanisme pasti terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 masih simpang siur, walaupun sudah jelas adanya hubungan langsung antara derajat obesitas dengan resistensi terhadap kerja insulin. Gangguan fungsi reseptor insulin dapat terjadi akibat mutasi genetik dari gen reseptor insulin. Disamping itu dapat pula terjadi abnormalitas sintesis insulin secara struktural, dimana terdapat gangguan dari gen enzim glukokinase atau adanya down regulasi dari protein transporter glukosa (GLUT4) pada jaringan target, sehingga akan diikuti dengan terjadinya hiperglikemi yang berkepanjangan. Berbeda dengan DM tipe 1, pada DM tipe 2 tidak ada hubungan dengan gen HLA atau ICA (Islet Cell Autoantibody), namun terdapat komponen genetik yang sangat kuat berperan dalam patogenesis DM tipe 2.

            Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa penyakit ini dapat diturunkan dari orang tua yang menderita DM tipe 2 kepada anak-anaknya.  Selanjutnya, bila salah satu dari kembar identik menderita DM tipe 2, kemungkinan saudara kembarnya untuk menderita penyakit yang sama semakin besar. Mutasi gen reseptor glukagon baru-baru ini diketahui juga mempunyai hubungan dengan terjadinya DM tipe 2.

  1. Diabetes gestasional

            Diabetes gestasional didefinisikan sebagai gangguan toleransi glukosa  yang terjadi selama kehamilan dan akan kembali normal setelah melahirkan. Keadaan ini dapat pula berulang pada kehamilan berikutnya atau akan berkembang menjadi DM tipe 2 dikemudian hari.  Kendali glukosa darah ibu yang baik selama kehamilan akan memperbaiki proses tumbuh kembang janin yang dikandung sehingga mengurangi risiko kelainan kongenital atau kematian janin. Bayi yang dikandung oleh ibu yang mengalami diabetes gestasional cenderung lebih besar dari bayi normal, yang dikenal dengan istilah makrosomia, dan dapat mengalami sindrom gagal nafas (respiratory distress syndrome) akibat gangguan surfaktan fosfolipid didalam jaringan paru.             Penatalaksanaan diabetes gestasional dapat dilakukan dengan diet saja atau dengan tambahan insulin. Obat hipoglikemik oral tidak direkomendasikan selama hamil, karena akan meningkatkan risiko kelainan kongenital atau hipoglikemi neonatus.

  1. Diabetes Melitus tipe lain

            Hiperglikemi juga dapat disebabkan karena sekresi berbagai hormon yang berlebihan, yaitu kortisol, adrenalin, growth hormone, glukagon dan tiroksin. Hiperglikemi juga dapat disebabkan karena pemberian obat-obat tertentu yang menurunkan toleransi glukosa.

III. Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah  pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler.  Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala , hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.

  1. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada.  Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) , adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok  dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu :

  • kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
  • kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
  • tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
  • riwayat keluarga DM
  • riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
  • riwayat DM pada kehamilan
  • dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl
  • pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)

 

  1. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus

      Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.

Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ³  200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa  ³ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.  Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk  menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)

  • 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
  • kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
  • puasa semalam, selama 10-12 jam
  • kadar glukosa darah puasa diperiksa
  • diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
  • diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

 

 

 

Tabel 4. Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*

 

 

  1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl                                           atau
  2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ³ 126 mg/dl                               

Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir   atau

  1. Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**

 

 

* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.

**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik.

  1. Pengelolaan

 

Tujuan :

  1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.
  2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.
  3. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.

Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi  harus tercermin pada langkah pengelolaan.

  1. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.

Pilar utama pengelolaan DM :

  1. Edukasi
  2. Perencanaan makan
  3. Latihan jasmani
  4. Intervensi Farmakologik

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan.

            Pada keadaan tertentu OHO juga dapat segera diberikan  sesuai dengan indikasi dan dosis dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.

 

IV.1.Edukasi

Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan:

  • makan makanan sehat;
  • kegiatan jasmani secara teratur;
  • menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang spesifik;
  • melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada;
  • melakukan perawatan kaki secara berkala;
  • mengelola diabetes dengan tepat;
  • mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan;
  • dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi

IV.2.Perencanaan makan

Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu  cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi. Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes mendukung akan perlunya dimasukan makanan yang mengandung karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam menu makanan orang dengan diabetes. Banyak faktor yang berpengaruh pada respons glikemik makanan, termasuk didalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan lainnya (lemak, protein).

 

Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total kalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

Karbohidrat     60-70%
Protein             10-15%
Lemak             20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.

Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT).

IMT = BB(kg)/TB(m2)

Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu:

Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) – 10%

Status gizi:

BB kurang bila BB < 90% BBI

BB normal bila BB 90-110% BBI

BB lebih bila BB 110-120% BBI

Gemuk bila BB >120% BBI

 

            Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan kebutuhan kalori basal (30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25 kcal/kgBB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10-3%); untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak lagi sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi (bila gemuk, dikurangi; bila kurus, ditambah) dan kalori yang dibutuhkan menghadapi stres akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu hamil diperlukan perhitungan tersendiri. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya.

            Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal. Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/hari. Diusahakan lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hari. Diutamakan serat larut (soluble fibre).

Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan mengkonsumsi garam seperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizin-kan. Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk meng-konsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori. Untuk mendapatkan kepatuhan ter- hadap pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai bahan penukar akan sangat membantu pasien.

IV.3.Latihan jasmani

Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa  dan selain itu dapat pula menurunkan berat badan. Di samping kegiatan jasmani sehari-hari, dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah jalan atau bersepeda santai, bermain golf atau berkebun. Bila hendak mencapai tingkat yang lebih  baik dapat dilakukan kegiatan seperti, dansa, jogging, berenang, bersepeda menanjak atau mencangkul tanah di kebun, atau dengan cara melakukan kegiatan sebelumnya dengan waktu yang lebih panjang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur, kondisi sosial ekonomi, budaya dan status kesegaran jasmaninya.

IV.4.Intervensi Farmakologik

            Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan  latihan  jasmani yang teratur namun sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dipertimbangkan intervensi farmakologik yang terdiri dari obat hipoglikemik oral (OHO) dan sediaan injeksi insulin.

IV.4.1. Obat hipoglikemik oral (OHO)

            Dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue: sulfonilurea dan meglitinid), insulin sensitizer : metformin dan tiazolidindion, dan jenis OHO yang lain,  harus diperhatikan benar fungsi hati, ginjal dan jantung.

  1. Insulin Secretagogue

 

1.a. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Oleh sebab itu merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, sebaiknya dihindari pemberian sulfonilurea dengan waktu kerja yang panjang.

1.b. Meglitinid (Rapid-acting prandial insulin releasers)

Merupakan generasi baru obat yang menyerupai kerja sulfonilurea, yang terutama bekerja pada fase pertama sekresi insulin pada sel beta pankreas. Meglitinid dapat diberikan baik sebagai terapi tunggal maupun sebagai terapi kombinasi dengan  OHO golongan lain atau insulin. Bila diberikan sebagai terapi tunggal sangat jarang menyebabkan hipoglikemia.Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat  fenil alanin). Golongan obat ini merupakan regulator prandial yang bekerja cepat, diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati, karena itu dapat diberikan dengan dosis 2 sampai 3 kali sehari bersama makanan.

  1. Insulin Sensitizer

2.a. Metformin

            Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati di samping juga efek memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat ini terutama dianjurkan dipakai sebagai obat tunggal pada pasien gemuk. Metformin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya pasien dengan penyakit serebrovaskular). Obat metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan bersamaan atau sesudah makan.

2.b. PPAR g agonist (Tiazolidindion)

              Tiazolidindion (contoh: rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor (PPAR gamma), suatu reseptor inti sel yang bekerja pada gen di otot dan hati.  Obat golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah glucose transporter, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer  dan menurunkan produksi glukosa hati.  Obat ini dikontraindikasikan pada keadaan gagal jantung klas III-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan.

  1. Alpha Glucosidase Inhibitor (Acarbose)

Obat ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik sesudah makan. Terutama bermanfaat untuk pasien dengan glukosa darah puasa yang masih normal namun mengalami peningkatan kadar glukosa darah postprandial . Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50 mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika tidak didapati keluhan gastrointestinal, (dan sasaran kadar glukosa darah belum tercapai), dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg.

Pada pasien yang menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal secara serial, terutama pasien yang sudah mengalami gangguan faal kedua organ tersebut.

  1. Incretin based therapy (terapi berbasis inkretin)

            Sistem inkretin diperankan oleh 2 hormon kunci, yaitu glucagon-like peptide 1 (GLP-1) dan glucose dependent insulinotropic polypeptide (GIP), yang dihasilkan oleh usus halus sebagai respons terhadap adanya beban glukosa oral. Namun pada DM tipe 2, aktivitas insulinotropik dari GIP tidak terlalu kuat dibandingkan GLP-1, oleh karena itu penelitian lebih banyak difokuskan pada GLP-1. Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan salah satu hormon inkretin yang dihasilkan oleh usus halus, yang dapat menurunkan kadar glukosa darah post prandial.

            Kerja dari hormon ini bersifat “glucose dependent” (tergantung glukosa) , sehingga tidak menimbulkan efek hipoglikemi. Penurunan kadar glukosa darah yang dipicu GLP-1 terjadi disamping karena kerjanya yang kuat merangsang sekresi insulin, juga menghambat sekresi glukagon dan pengosongan lambung, meningkatkan rasa kenyang, meningkatkan ambilan glukosa serta hambatan terhadap glukoneo-genesis. Pada hewan coba, GLP-1 juga memiliki efek trofik terhadap sel-sel beta pankreas, melalui stimulasi pertumbuhan dan differensiasi sel serta hambatan proses apoptosis. Saat ini GLP-1 menjadi pusat perhatian industri farmasi dalam penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 2. GLP-1 merupakan hormon peptida dengan 30 asam amino, disekresi oleh sel2 L dari ileum terminalis sebagai respons terhadap glukosa, asam amino dan lemak. Pemberian GLP-1 secara eksogen terbukti efektif memperbaiki respons insulin fase awal. Suatu studi yang dilakukan oleh Zander dan kawan-kawan pada tahun 2002 membuktikan bahwa pada pasien2 DM tipe 2 yang diberikan GLP-1 menunjukkan penurunan kadar glukosa darah puasa dan postprandial. GLP-1 mempunyai waktu paruh yang sangat pendek, yaitu hanya sekitar 1,5 menit, karena mengalami inaktivasi secara cepat oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4). Hal ini mendorong para ahli untuk melakukan 2 pendekatan berbeda dalam meningkatkan kadar hormon inkretin didalam sirkulasi. Pendekatan pertama adalah dengan membuat GLP-1 mimetics (GLP-1 receptor agonist) yaitu agonis reseptor GLP-1 yang mempunyai aktivitas biologik intrinsik secara langsung merangsang sekresi insulin dari sel-sel beta pankreas. Pendekatan kedua adalah dengan hambatan terhadap aktivitas enzim DPP-4 yang akan meningkatkan kadar fisiologik dari hormon inkretin GLP-1 dan GIP. Saat ini GLP-1 receptor agonist menempati posisi lini kedua penatalaksanaan DM tipe 2 menurut panduan penatalaksaan dari ADA dan AACE. Ada 2 jenis GLP-1 receptor agonist yang sekarang sudah mendapat lisensi di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, yaitu exenatide dan liraglutide, namun masih banyak lagi yang sedang dalam pengembangan. Exenatide, yaitu suatu exendin-4 GLP-1 mimetic yang hampir 53% molekulnya homolog dengan GLP-1 endogen, saat ini di rekomendasi untuk digunakan monoterapi atau kombinasi dengan metformin dan atau sulfonilurea. interni

  1. 5. Sodium–Glucose Cotransporter 2 Inhibitors
 (SGLT2 Inhibitor)

            Obat jenis ini bekerja dengan cara menghambat SGLT2 didalam nefron proksimal, sehingga mengurangi reabsorpsi glukosa dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin sampai 80 gram per hari. Kerja obat ini tidak tergantung insulin, sehingga SGLT2 inhibitor dapat digunakan pada semua stadium dari DM tipe 2, bahkan bila sekresi insulin sudah sangat berkurang secara bermakna. Keuntungan tambahan dari obat jenis ini adalah dapat menurunkan berat badan dan tekanan darah.

Dalam suatu studi head to head dibandingkan dengan OHO standar, obat jenis ini menunjukkan efektivitas yang sama dalam hal penurunan kadar HbA1c. Dibandingkan dengan plasebo, obat jenis ini dapat menurunkan kadar HbA1c sebesar 0,5 sampai 1%.

  1. Terapi Kombinasi

            Pemberian Obat Hipoglikemik Oral selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kadar glukosa darah pasien.      Kalau dengan OHO dosis hampir maksimal, ternyata sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral baik secara terpisah ataupun dalam bentuk fixed dose combination yang berbeda mekanisme kerjanya (insulin secretagogue + insulin sensitizer).

Tujuan terapi kombinasi ialah untuk dapat lebih memperbaiki kendali glukosa darah dengan :

  1. Menurunkan produksi glukosa hati  (dengan metformin dan atau tiazolidindion)
  2. Meningkatkan sekresi insulin (dengan insulin secretagogue)
  3. Menurunkan resistensi insulin (dengan tiazolidindion dan atau metformin)
  4. Mengurangi absorpsi karbohidrat (dengan penghambat glukosidase alfa)

 

            Disamping itu kombinasi OHO dosis kecil dapat pula digunakan untuk menghindari efek samping masing-masing kelompok obat. Dapat pula diberikan kombinasi ketiga kelompok OHO bila belum juga dicapai sasaran yang diinginkan, atau ada alasan klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai. Kalau dengan dosis OHO hampir maksimal baik sendiri-sendiri ataupun secara kombinasi sasaran glukosa darah belum tercapai, dipikirkan adanya kegagalan pemakaian OHO. Pada keadaan demikian dapat dipakai kombinasi OHO dan insulin (Lihat gambar 11).

Gambar 11. Algoritma Pengelolaan DM tipe 2 di Indonesia.

Sumber : Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus   tipe 2 di Indonesia, PB. Perkeni 2015

            Ada berbagai cara kombinasi OHO dan insulin (OHO + insulin kerja cepat 3 kali sehari, OHO + insulin kerja sedang pagi hari, OHO + insulin kerja sedang malam hari). Yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin malam hari mengingat walaupun dapat diperoleh keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin yang diperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang malam hari. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 5-10 unit yang diberikan antara jam 22.00-24.00. kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa puasa keesokan harinya. 

            Bila dengan cara seperti seperti diatas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin kerja menengah dua kali sehari, dengan pembagian 2/3 pagi dan 1/3 malam hari. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik.

            Diabetes mellitus terkendali baik tidak berarti hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid dan A1c seperti tercantum pada tabel 5.

Tabel 5. Kriteria pengendalian DM (Asia Pasifik)

Sumber : Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, PB. Perkeni 2015.

 

 

Baik

Sedang

Buruk

Glukosa darah puasa (mg/dl)
Glukosa darah 2 jam (mg/dl)

80-109

110-159

110-139

160-199

>140

>200

 

 

 

 

A1c (%)

<6.5

6.5 – 8

>8

Kolesterol Total (mg/dl)
Kolesterol LDL (mg/dl)

Kolesterol HDL (mg/dl)
Trigeliserida (mg/dl)

<200
<100
>40atau 45?
<150

200-239
100-130

150-199

>240
>130

 

>200

IMT (kg/m2)

<25

 

 

 

 

 

Tekanan darah (mmHg)

<130/80-85

130-140/80-90

>140/90

 

            Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi dari biasa (puasa < 150 mg/dl, dan sesudah makan < 200 mg/dl), demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.

 

  1. Komplikasi diabetes

Komplikasi diabetes dapat terjadi baik secara akut maupun kronik

V.1.Komplikasi akut

V.1.A. Hipoglikemi

            Hipoglikemi dapat terjadi akibat efek samping dari obat hipoglikemik oral (terutama sulfonilurea) atau dosis  injeksi insulin yang berlebihan. Hipoglikemi didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi penurunan kadar glukosa darah dibawah 3 mmol/l (48 mg/dl). Namun batas terendah kadar glukosa darah yang disepakati untuk mendefinisikan keadaan hipoglikemi adalah 70 mg/dl. Interaksi obat dengan obat hipoglikemik oral dapat juga terjadi karena pertukaran ikatan protein plasma dengan obat-obat lain (seperti tolbutamid dengan aspirin atau sulfonamid) yang akan menyebabkan peningkatan risiko hipoglikemi. Kortikosteroid, kontrasepsi oral dan diuretik thiazid mempunyai efek berlawanan, yaitu dapat menimbulkan hiperglikemi. Alkohol dapat meningkatkan kerja insulin sehingga dapat memperberat hipoglikemi.

Gejala-gejala adrenergik (otonomik) dari hipoglikemia adalah : nervous, berkeringat, tremor, palpitasi, rasa lapar, kesemutan dibibir dan lidah, kebingungan dan pada kasus yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran. Beberapa gejala ini tidak bermanifestasi karena adanya neuropati otonom (disebut sebagai hypoglycemia unawareness).

Pengobatan

            Pada kasus yang ringan diberikan 2 sampai 4 sendok teh gula atau 3 tablet glukosa dengan sedikit air yang diminum selama 10 sampai 15 menit. Bila pasien tidak sadar, diberikan injeksi glukagon intramuskular (1 mg) diikuti dengan glukosa oral. Bila tidak ada respons, diberikan infus 20 sampai 50 ml glukosa (50%). Pasien sebaiknya dimonitor di ruang rawat darurat (ICU).

V.1.B. Krisis hiperglikemi

Krisis Hiperglikemi yang meliputi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Status Hiperosmolar Hiperglikemi (KHH)  merupakan komplikasi akut yang serius pada penderita diabetes melitus. Kedaruratan ini masih merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas penderita diabetes melitus, walaupun telah dicapai kemajuan dalam pemahaman tentang patogenesis , diagnosis dan penatalaksanaannya. Angka kejadian Ketoasidosis Diabetik diperkirakan berkisar antara 4,6 sampai 8 episode per 1000 pasien diabetes pertahun. Angka kejadian Status Hiperosmolar Hiperglikemi  masih sulit diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di Rumah Sakit. Pengobatan penderita Ketoasidosis Diabetik  dan Status Hiperosmolar Hiperglikemi  akan meningkatkan biaya perawatan penderita. Angka kematian penderita KAD kurang dari 5% pada pusat2 perawatan yang berpengalaman, sedangkan angka kematian penderita KHH masih tinggi yaitu sekitar 15%.  Prognosis keduanya semakin buruk dengan semakin bertambahnya usia dan dengan adanya penurunan kesadaran dan hipotensi.

Definisi

Ketoasidosis Diabetik merupakan kedaruratan pada penderita diabetes melitus yang ditandai dengan adanya hiperglikemi, ketonemia dan asidemia.  Istilah Koma Hiperosmolar Non Ketotik diganti dengan istilah Status Hiperosmolar Hiperglikemi  karena beberapa alasan, antara lain :

  • Penurunan kesadaran kadang-kadang tidak sampai menjadi koma
  • Status Hiperosmolar Hiperglikemi dapat pula disertai dengan ketosis ringan yang dapat dideteksi dengan metode nitroprusside.

Beratnya keadaan hiperglikemi pada Ketoasidosis Diabetik bervariasi dan  tidak menentukan beratnya ketoasidosis. Perubahan status mental / kesadaran lebih banyak ditentukan oleh osmolalitas serum.

Patogenesis :

Kelainan yang mendasari kedua keadaan ini adalah adanya penurunan kerja insulin yang disertai dengan peningkatan sekresi counterregulatory hormones seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan Growth Hormone. Perubahan keseimbangan hormonal ini akan menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepar dan penurunan ambilan glukosa oleh jaringan perifer, yang akan memperberat hiperglikemi serta perubahan2 osmolalitas cairan ekstraseluler. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan counter-regulatory hormones pada KAD juga akan merangsang pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak kedalam sirkulasi darah serta peningkatan oksidasi asam lemak hati menjadi ketone bodies (benda2 keton) yaitu β hydroxybutyrate dan asam asetoasetat yang akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Sebaliknya pada KHH, kadar insulin tidak mencukupi untuk memfasilitasi pemakaian glukosa oleh jaringan2 perifer, namun masih cukup untuk mencegah lipolisis dan terjadinya ketogenesis (pembentukan benda2 keton) sehingga jarang terjadi asidosis metabolik. Baik KAD maupun KHH disertai dengan glikosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik yang berakibat kehilangan cairan dan elektrolit.

Faktor pencetus :

Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling utama pada KAD dan KHH.     Disamping itu pemberian insulin dengan dosis yang tidak adekuat, juga merupakan faktor pencetus untuk terjadinya KAD pada penderita DM tipe 1. Faktor pencetus lain adalah CVD, penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli paru dan infark miokard. Berbagai jenis obat dapat pula mengganggu metabolisme karbohidrat, antara lain : kortikosteroid, pentamidine, obat-obat simpatomimetik, penghambat α dan β adrenergik serta diuretik , sehingga dapat  pula mencetuskan KAD dan KHH terutama pada penderita usia lanjut. Disamping itu pada penderita DM tipe 1 onset baru biasanya terdiagnosis pertama kali karena KAD.  KHH juga dapat terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut yang tidak menyadari kondisi hiperglikeminya dan kurang mendapat asupan cairan yang cukup pada saat diperlukan.  Pada penderita DM tipe 1 yang disertai problem psikologik sehingga terjadi gangguan selera makan dapat pula menjadi faktor pemicu KAD yang berulang.

Diagnosis :

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :

Proses terjadinya KHH biasanya mulai terjadi dalam beberapa hari sementara timbulnya episode KAD terjadi secara mendadak. Walaupun gejala2 dari DM yang tidak terkontrol baik dapat terjadi dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas dari KAD  biasanya terjadi dalam waktu yang singkat (kurang dari 24 jam).

 

 

Baik pada KAD maupun KHH , dapat ditemui gambaran klinis yang klasik     meliputi :

  • poliuri, polidipsi dan polifagi
  • penurunan BB dalam waktu singkat
  • mual muntah
  • nyeri perut
  • dehidrasi
  • badan lemas
  • penglihatan kabur
  • gangguan kesadaran mulai dari apatis sampai koma.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :

  • Turgor yang kurang, bibir dan kulit kering
  • Pernafasan Kussmaull ( pada KAD )
  • Takhikardi
  • Hipotensi
  • Syok hipovolemik
  • Gangguan kesadaran dari apatis sampai koma

Lebih dari 25% penderita KAD mengalami muntah yang dapat berwarna hitam kecoklatan yang pada endoskopi terlihat adanya gastiris erosive karena stress ulcer. Perubahan status mental dapat bervariasi mulai dari sadar penuh pada kasus ringan sampai letargi atau koma pada kasus yang berat.   Walaupun infeksi merupakan faktor pemicu utama terjadinya KAD atau KHH, pada pengukuran suhu tubuh dapat menunjukkan suhu tubuh yang normal (normotermik) atau bahkan hipotermik, terutama karena adanya vasodilatasi perifer. Hipotensi merupakan petanda prognosis yang jelek pada kedua komplikasi ini.

Pemeriksaan laboratorium :

Pemeriksaan laboratorium pertama yang harus dilakukan pada pasien2 yang dicurigai KAD atau KHH meliputi :

  • Pemeriksaan kadar glukosa darah plasma, ureum, kreatinin dan keton serum, elektrolit, osmolalitas, urinalisis, keton urin, analisa gas darah, darah rutin lengkap dan Elektrokardiografi
  • Biakan urin, darah dan usap tenggorok dilakukan untuk pertimbangan pemberian antibiotika yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab infeksi.
  • Pemeriksaan HbA1c (A1c) bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut dari krisis hiperglikemi ini terjadi akibat kulminasi dari proses perjalanan penyakit DM yang tidak terdiagnosis sebelumnya atau tidak terkontrol baik atau murni merupakan episode akut dari DM yang selama ini terkontrol baik.

Kebanyakan pada pasien dengan krisis hiperglikemik ditemukan adanya lekositosis. Kadar natrium serum biasanya mengalami penurunan karena perubahan aliran air dan elektrolit dari ruang intravaskuler menuju ekstraseluler akibat adanya hiperglikemi. Kadar kalium serum dapat mengalami peningkatan karena perpindahan kalium ekstraseluler akibat defisiensi insulin, hipertonisitas dan asidemia. Penderita yang pada saat pertama kali datang dengan kadar kalium yang normal rendah atau rendah, sebenarnya sudah menunjukkan defisiensi kalium yang berat sehingga memerlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan gangguan fungsi jantung sehingga perlu diberikan suplemen kalium yang cukup untuk mencegah terjadinya aritmia jantung. Terjadinya stupor atau koma pada penderita DM tanpa adanya kelainan osmolalitas perlu segera dipertimbangkan adanya penyebab lain dari perubahan status mental ini. Osmolalitas efektif dapat dihitung dengan rumus :

2 [Na+(mEq/l)] + glucose(mg/dl)/18

 

Diagnosis banding :

Tidak semua pasien dengan ketoasidosis disebabkan karena DM. Ketosis akibat kelaparan dan alcoholic ketoacidosis dapat dibedakan dengan KAD dari anamnesis riwayat menderita DM dan pemeriksaan kadar glukosa plasma yang tidak terlalu tinggi (jarang melebihi 250 mg/dl) bahkan sampai hipoglikemi. Pada ketosis akibat starvasi (kelaparan yang berat), kadar bikarbonat serum biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/l.

Penatalaksanaan :

Prinsip pengobatan KAD dan KHH meliputi :

  • Koreksi terhadap :
  1. Dehidrasi
  2. Hiperglikemi
  3. Gangguan keseimbangan elektrolit
  • Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus
  • Follow up yang ketat

Terapi cairan :

Pasien dewasa :

Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan intra dan ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal.

Bila tidak ada kelainan / gangguan fungsi jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan 15 sampai 20 ml/kgBB/jam.  Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5 liter).  Pada jam berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis (jumlah urin). Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na rendah, diberikan 0,9% NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal membaik, terlihat dengan adanya diuresis, segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi pasien stabil dan dapat menerima suplemen Kalium oral.

Pasien pediatrik (< 20 tahun)

Terapi initial/awal ditujukan untuk memperbaiki volume cairan intra dan ekstravaskuler serta perfusi ginjal. Kebutuhan cairan harus diperhitungkan untuk mencegah timbulnya edema serebri akibat pemberian cairan yang terlalu cepat dan berlebihan. Cairan yang diberikan pada 1 jam pertama berupa cairan isotonik (0,9% NaCl) dengan kecepatan 10-20 ml/kgBB/jam.  Pada pasien yang mengalami dehidrasi berat, pemberian cairan perlu diulang, namun tidak boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam. Terapi cairan lanjutan diperhitungkan untuk mengganti kekurangan cairan selama 48 jam. Umumnya pemberian cairan 1,5 kali selama 24 jam berupa cairan 0,45% – 9% NaCl dapat menurunkan osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kgBB/jam. Setelah fungsi ginjal membaik dengan adanya diuresis, diberikan infus kalium 20-40 mEq/l (2/3 KCl atau K asetat dan 1/3 K fosfat). Setelah kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan sebaiknya diganti dengan 5% glukosa dan 0,45% – 0,75% NaCl. Status mental sebaiknya dimonitor secara ketat untuk mencegah agar tidak terjadi kelebihan cairan iatrogenik yang dapat menyebabkan edema serebri.

Terapi Insulin :

Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan terapi pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ < 3,3 mEq/l) diberikan bolus RI intravena dengan dosis 0,15 UI/kgBB disertai dgn infus RI dgn dosis 0,1 UI/kgBB/jam (5-7 UI/jam). Pada pasien pediatrik, diberikan infus RI berkesinambungan dgn dosis 0,1 UI/kg/jam.    Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar   50-75 mg/dl per jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien. Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa plasma turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam.

Bila kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-6 UI/jam) dan pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal sampai asidosis pada KAD atau gangguan mental dan keadaan hiperosmolar  pada KHH dapat diatasi. Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada hiperglikemi.  Pengukuran langsung terhadap β hydroxy butirate dalam darah merupakan cara yang lebih baik untuk memantau KAD.  Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering ditemukan pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside.  Selama pengobatan, β-OHB dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis memburuk.  Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya diperiksa setiap 2 – 4 jam untuk menentukan kadar elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH darah vena. Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah arteri. Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri) dan anion gap dapat pula digunakan untuk memantau adanya asidosis pada KAD.

Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan maupun intramuskuler   setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena pada KAD yang berat.  

Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 – 0,6 UI per kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan separuhnya secara s.c. atau i.m.

Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau intramuskuler.

Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi :

  • Penurunan kadar glukosa plasma < 200 mg/dl
  • Bicarbonat serum ≥ 18 mEq/l
  • pH darah vena > 7,3

Setelah KAD dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi cairan sebaiknya diteruskan sesuai kebutuhan. Pada pasien dewasa, dosis insulin dapat dinaikkan sebesar 5 UI untuk setiap kenaikan kadar glukosa darah diatas 150 mg/dl sampai 20 UI bila kadar glukosa darah ≥ 300 mg/dl.  Bila pasien sudah bisa makan, mulai diberlakukan jadwal dosis multiple menggunakan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja sedang / kerja panjang sesuai kebutuhan untuk mengontrol kadar glukosa plasma.

Kalium :

Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat menurunkan kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi, penambahan kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis. Umumnya pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam setiap liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas normal (4 – 5 mEq/l).  Bila terjadi hipokalemi berat (< 3,3 mEq/l) , penambahan kalium  hendaklah dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l, untuk mencegah terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan.

Bikarbonat :

Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0, pemberian insulin dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis tanpa perlu tambahan pemberian bikarbonat. Suatu studi prospektif tidak menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas atau mortalitas penderita KAD dengan pH darah antara 6.9 – 7.1,  yang diberi terapi bikarbonat. Dan tidak ada studi yang menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH darah < 6.9. Namun pada penderita dengan  asidosis yang berat  dimana pH darah < 6,9 dapat  menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100 mmol  natrium bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada penderita dengan pH darah antara 6,9 – 7,0 diberikan 50 mmol natrium bikarbonat yang diencerkan dalam 200 ml aquadest, diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan pemberian bikarbonat.  Perlu diingat bahwa terapi insulin dan bikarbonat dapat menurunkan kadar kalium serum.  Oleh karena itu, suplementasi kalium dalam cairan infus  hendaklah dipertahankan  dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya, pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0. Bila perlu pemberian bikarbonat dapat diulang.              Pada penderita pediatrik, bila pH darah masih < 7.0 setelah rehidrasi jam pertama, perlu diberikan natrium bikarbonat dengan dosis 1-2 mEq/kg BB / jam. Sodium bikarbonat dapat ditambahkan kedalam NaCl dengan campuran kalium yang diperlukan, sehingga menghasilkan larutan dengan kadar natrium yang tidak melebihi    155 mEq/l.

Fosfat :

Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun beberapa studi prospektif tidak menunjukkan adanya manfaat  pemberian fosfat pada penderita KAD. Namun untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung dan otot rangka serta depresi pernafasan akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen fosfat terutama pada penderita yang disertai dengan gangguan fungsi jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan kadar fosfat serum < 1.0 mg/dl.      

V.2.Komplikasi kronik

V.2.A.Komplikasi makrovaskular

            Semua pasien yang sudah mengidap diabetes lebih dari 20 tahun mempunyai risiko tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular (aterosklerosis) lebih dini dari populasi non diabetes; hal ini sebagian disebabkan karena gangguan metabolisme lipid (dislipidemia). Pembuluh-pembuluh darah besar seperti arteri koroner dan serebral, serta pembuluh-pembuluh perifer cenderung untuk mengalami oklusi (trombosis), menyebabkan penyakit jantung iskemik (infark miokard) dan stroke. Iskemi tungkai akan menyebabkan gangren yang dapat berakhir dengan tindakan amputasi.

V.2.B. Komplikasi mikrovaskular

            Komplikasi kronik diabetes (terutama pada pasien-pasien dengan kendali glikemik yang buruk) juga akan meningkatkan risiko untuk terjadinya kerusakan pembuluh-pembuluh darah kecil (mikroangiopati). Terjadi penebalan membrana basalis (disertai dengan peningkatan glikosilasi protein) dan peningkatan permeabilitas kapiler, terutama diretina mata dan glomerulus, menimbulkan kerusakan retina (retinopati) dan gangguan filtrasi glomerulus (nefropati) yang akan menyebabkan proteinuria. Diabetes masih merupakan penyebab paling umum dari kebutaan pada usia pertengahan. Pembentukan katarak (peningkatan opasitas lensa), terutama pada pasien-pasien diabetes usia muda, dan perubahan-perubahan refraksi didalam lensa juga umum ditemukan. Oleh karena itu pemeriksaan mata dianjurkan untuk dilakukan lebih sering pada pasien-pasien diabetes melitus.Kerusakan mikrovaskular pada pembuluh darah dikulit juga akan menyebabkan lesi kulit (dermopati), terutama pada kaki, dimana sirkulasi darah yang buruk (disertai dengan hambatan umum dari proses penyembuhan luka dan peningkatan suseptibilitas terhadap infeksi) dapat menyebabkan ulserasi kaki bahkan gangren pada jari-jari kaki. Pasien diabetes (terutama yang berusia lanjut) dianjurkan untuk menggunakan sepatu yang nyaman, menghindari pemotongan kuku yang terlalu pendek dan selalu memeriksakan kakinya kepada seorang chiropodist.

Neuropati perifer

            Jaringan syaraf tepi (terutama syaraf-syaraf sensorik), dapat mengalami kerusakan secara progresif dan menimbulkan rasa nyeri bahkan kehilangan rasa pada kedua tungkai. Ulserasi dan infeksi kaki dapat terjadi tanpa disadari penderitanya. Tanda-tanda dini yang umum ditemukan pada neuropati diabetik antara lain hilangnya refleks tendon dalam dan rasa getar pada tungkai bawah. Kerusakan syaraf simpatik dan parasimpatik  (neuropati otonom) juga dapat menyebabkan gangguan rekleks kardiovaskular. Neuropati dan pembentukan katarak pada pasien diabetes terbukti terjadi akibat akumulasi sorbitol didalam syaraf perifer dan jaringan lensa; keadaan ini terjadi akibat hiperglikemi yang kronik yang menyebabkan perubahan tekanan osmotik dan kerusakan sel-sel tubuh.

C.5. Sekresi endokrin dari saluran cerna

            Sejumlah besar hormon peptida juga disekresi oleh sel-sel enteroendokrin  khusus dari mukosa saluran cerna yang mempengaruhi sekresi dan motilitas saluran cerna. Hormon yang dihasilkan oleh usus halus pertama kali ditemukan oleh Bayliss & Starling tahun 1902, yang dikenal dengan secretin. Peptida usus ini mempunyai karakteristik struktural dan fungsional yang umum dan dikelompokkan kedalam famili hormon, dimana masing-masing kelompok berasal dari gen yang sama.

 

 

Famili gastrin :

– gastrin

– kolesistokinin

Famili pancreatic polypeptide :

– pancreatic polypeptide (PP)

– peptide YY (PYY)

– neuropeptide Y (NPY)

Famili orphan peptide :

– motilin

– neurotensin

– somatostatin

– galanin

– pancreastatin

 

 

 

 

 

 

 

Beberapa peptida yang dihasilkan dari usus halus (dan pankreas) beredar didalam aliran darah untuk mempengaruhi organ-organ jauh, sehingga dianggap berperan sebagai hormon dalam sistem endokrin klasik (contoh : gastrin, CCK, GIP, secretin); yang lain bekerja secara parakrin atau otokrin, disekresikan secara lokal untuk mempengaruhi sel-sel yang berdekatan atau sel yang sama didalam sistem saluran cerna (regulatory peptides). Beberapa peptida berperan sebagai neurotransmitter peptidergik pada sistem syaraf didalam usus halus (contoh : VIP). Sejumlah besar peptida usus juga berlokasi didalam sistem syaraf pusat (dan sebaliknya), dimana mereka dipercaya bekerja sebagai neurotransmitter atau neuromodulator (peran neurokrin) seperti somatostatin, substance P dan CCK. Peptida saluran cerna atau antagonisnya sampai saat ini belum digunakan dalam pengobatan berbagai kelainan klinis, kecuali somastatin dan analognya octreotide. Beberapa kelainan klinis yang melibatkan peptida saluran cerna antara lain :

            Sindrom Zollinger-Ellison, suatu keadaan yang jarang dimana terjadi sekresi ektopik dari gastrin akibat adanya tumor yang memproduksi gastrin (gastrinoma) sehingga menyebabkan hipergastrinemia. Sindrom ini akan menimbulkan gejala klinis ulkus peptikum berat yang rekuren (yang tidak respons dengan terapi) dan diare berat. Pengobatan biasanya dilakukan reseksi bedah terhadap tumor atau terapi jangka panjang dengan inhibitor pompa proton (omeprazol, lansoprazol) atau histamine H2 receptor antagonist (cimetidine, ranitidine, famotidine).                                    Gastrin disekresi oleh sel-sel G endokrin dari mukosa antrum gaster dan duodenum. Gastrin terutama bekerja merangsang sekresi asam (HCl) dari sel-sel parietal gaster serta juga merangsang pertumbuhan sel-sel parietal tersebut (efek trofik). Gastrin mempunyai 3 bentuk aktif dengan panjang rantai peptida yang berbeda yaitu dengan 17, 34 dan 14 residu asam amino. Gastrin juga diketahui dapat merangsang pertumbuhan sel-sel kanker lambung dan kolorektal. Antagonis reseptor gastrin dapat digunakan untuk pengobatan kanker saluran cerna dan pencegahan terhadap pembentukan tukak lambun

 

Bab 7

Gonad dan sistem reproduksi

 

  1. Pendahuluan

     Gonad (ovarium pada wanita dan testes pada laki-laki) mempunyai 2 fungsi utama :

  1. Memproduksi sel-sel benih (ovum atau sperma) melalui proses gametogenesis.
  2. Memproduksi hormon-hormon seks steroid yang diperlukan untuk perkembangan dan fungsi normal dari organ-organ reproduksi dan diferensiasi karakteristik seks sekunder. Hormon-hormon ini juga berperan penting selama kehamilan, persalinan dan laktasi.

Terdapat 3 jenis hormon seks yang disekresi oleh gonad,

antara lain :

  1. 1. Androgen = hormon seks laki-laki, contoh :     Testosteron
  2. Estrogen = hormon seks wanita, contoh : 17b-                 Estradiol
  3. Progestogen = hormon seks wanita, contoh :                 Progesteron

Androgen dan estrogen memiliki efek maskulinisasi dan feminisasi, sedangkan progestogen terutama mempengaruhi uterus dalam persiapan dan selama kehamilan. Testes secara terus menerus memproduksi spermatozoa dan testosteron mulai sejak pubertas (sekitar 13 tahun) sampai usia tua. Pada wanita dewasa, biasanya hanya satu ovum yang diproduksi setiap 28 hari, dan sekresi estrogen/progesteron terjadi secara siklik (siklus menstruasi) sampai masa menopause. Fungsi gonad dan seksual terutama dikendalikan oleh hipothalamus dan hipofisis anterior, dibawah pengaruh pusat otak yang lebih tinggi (cortex cerebri). Pubertas diinisiasi oleh proses maturasi dan pelepasan gonadotrophin releasing hormone (GnRH) dari neuron-neuron nukleus arkuatus di hipothalamus, menyebabkan pelepasan GnRH secara pulsatif (dgn frekuensi 60-90 menit) dan mengakibatkan peningkatan sekresi gonadotrophin dari hipofisis. Aktivasi prematur dari sistem hipofisis-hipothalamus ini (misal akibat tumor otak atau hidrosefalus) dapat menyebabkan pubertas precox pada anak-anak.

 

  1. Struktur dan Histologi Sistem Reproduksi Laki-laki

                Seperti ovarium pada wanita, testes mempunyai fungsi eksokrin dan endokrin. Setiap testis (dengan berat sekitar 20 gram) berada didalam scrotum, terutama terdiri dari sejumlah gulungan tubulus seminiferus yang dikelilingi oleh kapsul jaringan ikat (capsula fibrosa); dinding dalam dari tubulus ini mengandung sejumlah besar sel-sel spermatogenik.

 

Gambar 12. Struktur hormon-hormon seks steroid yang disekresi oleh testes pada laki-laki (testosteron) atau oleh ovarium pada wanita (17b-oestradiol dan progesteron).

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

            Epitel tubulus seminiferus juga mengandung sel-sel Sertoli yang lebih besar (yang memanjang dari membran basalis ke lumen tubulus), yang terlibat dalam pemberian nutrisi dan pemeliharaan sel-sel sperma selama proses pematangannya. Tight junction berada diantara sel-sel Sertoli yang berdekatan, membentuk suatu “blood-testes barrier” (yang memisahkan kompartemen basal dan adluminal dari tubulus) yang membentuk lingkungan yang baik untuk sel-sel benih dan dapat melindunginya dari pengaruh zat-zat berbahaya. Spermatozoa yang terbentuk sempurna (sekitar 100 – 200 x 106 perhari) dilepaskan dari apeks sel-sel Sertoli kedalam lumen dari tubuli seminifera. Sel-sel Leydig terdapat diantara tubulus seminiferous, dikelilingi oleh anyaman pembuluh darah, pembuluh limfe dan serat-serat syaraf, berperan mensintesis dan mensekresi testosteron kedalam sirkulasi darah. Sel-sel Sertoli juga mampu merubah androgen menjadi estrogen, yang mempunyai fungsi parakrin terhadap sel-sel Leydig untuk mengendalikan produksi testosteron. Pada laki-laki dewasa, sekitar 70% dari estrogen berada didalam sirkulasi, walaupun testosteron dan androstenedion  didalam sirkulasi juga dapat berasal dari jaringan non testikular melalui aktivitas enzim aromatase didalam jaringan perifer (terutama jaringan adiposa dan hati); kecepatan produksi estrogen ekstraglandular cenderung meningkat dengan pertambahan usia.Aromatisasi otak dari testosteron (yang dilepaskan oleh testis janin) menjadi 17b-estradiol didalam hipothalamus janin, diduga bertanggung jawab dalam diferensiasi poros umpan balik negatif hipothalamus/ hipofisis.

 

Gambar 13. Kendali sekresi testosteron oleh testes.

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

            Sistem enzim aromatase juga ditemukan didalam peptida lain yaitu inhibin dan activin yang diproduksi oleh sel-sel Sertoli tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig, yang mempunyai aksi umpan balik negatif atau positif langsung terhadap hipofisis.

  1. Kendali spermatogenesis dan pelepasan hormon

            Fungsi testes terutama diatur oleh gonadotrophin yang dilepaskan oleh hipofisis anterior, yaitu LH dan FSH yang dikendalikan oleh GnRH dari hipothalamus. Inisiasi dan keberlangsungan proses spermatogenesis oleh tubulus seminiferus memerlukan rangsangan dari LH dan FSH. FSH bekerja pada sel-sel Sertoli terutama untuk inisiasi proses spermatogenesis. Selanjutnya, LH merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron, yang berdiffusi disekitar sel-sel Sertoli dan mempunyai peran kunci dalam mempertahankan proses spermatogenesis.Testosteron diperlukan untuk proses perkembangan akhir dari spermatid menjadi spermatozoa. FSH bersama-sama dengan testosteron juga merangsang sel-sel Sertoli untuk memproduksi androgen binding protein (ABP) yang membantu mempertahankan kadar hormon testosteron yang tinggi didalam tubulus seminiferus yang diperlukan untuk proses spermatogenesis yang normal.Kerja FSH dimediasi melalui reseptor FSH yang spesifik yang terdapat dipermukaan sel-sel Sertoli. Disamping itu, LH dan FSH mempunyai efek tropik yang penting terhadap sel-sel Leydig dan sel-sel Sertoli.

  1. Kendali Sekresi

                Produksi testosteron terutama dikendalikan oleh LH yang bekerja pada sel-sel Leydig, dimediasi oleh reseptor LH yang berada dipermukaan sel, bersamaan dengan produksi cAMP intraselular. Testosteron menghambat pelepasan LH melalui kerja umpan balik langsung dan tak langsung terhadap hipofisis anterior dan hypothalamus.  Pada kadar yang normal testosteron tidak menurunkan sekresi FSH.  Suatu hormon peptida yaitu inhibin, disekresi oleh sel-sel Sertoli dibawah pengaruh FSH, diyakini mempunyai efek umban balik negatif langsung terhadap hipofisis. Inhibin adalah suatu glikoprotein dimerik dengan ukuran 32-kDa dengan 2 subunit yang tidak sama, yaitu subunit a dan b. Yang menarik, adalah peptida gonad kedua yaitu activin, terbentuk dari 2 rantai beta inhibin, mempunyai efek berlawanan terhadap inhibin terhadap sekresi FSH oleh hipofisis dan terhadap steroidogenesis gonad. Pada laki-laki, activin terutama disekresi oleh sel-sel Leydig testikular. Inhibin dan activin mempunyai efek parakrin yang penting terhadap sel-sel Leydig dan Sertoli yang berdekatan. Kedua peptida ini juga mempunyai fungsi regulasi penting diluar sistem reproduksi, misalnya, mengontrol diferensiasi dan perkembangan dini dari sel-sel tubuh. Ada suatu peptida yang menyerupai inhibin diketahui disekresi oleh kelenjar adrenal, yang diduga berperan penting dalam proses proliferasi dan atau diferensiasi sel-sel korteks adrenal. Kemungkinan penggunaan inhibin sebagai obat kontrasepsi bagi laki-laki telah disarankan. Suatu glikoprotein monomer, follistatin, juga ditemukan didalam cairan folikel ovarium, yang mempunyai efek inhibisi serupa dengan inhibin (walaupun tidak terlalu kuat) terhadap sekresi FSH. Follistatin berikatan dengan activin didalam sirkulasi darah dengan affinitas yang tinggi sehingga dapat menetralisir dan membatasi efek biologik dari activin pada banyak jaringan. Namun peran pasti dari follistatin pada proses reproduksi manusia masih belum diketahui.

  1. Androgens: Testosteron

            Hormon steroid utama yang disekresi oleh testes adalah testosteron (disintesis terutama dari LDL kolesterol dan dirubah menjadi pregnenolon. Sejumlah kecil testosteron juga disekresi oleh korteks adrenal (baik pada laki-laki maupun wanita) dan juga oleh ovarium pada wanita. Sekitar 98% testosteron didalam plasma terikat dengan protein: 65% dengan sex hormone binding globulin (SHBG) yang disintesis oleh hati, dan sisanya terikat dengan albumin dan protein lain. Waktu paruh dari testosteron yang tidak terikat (secara biologis : aktif) hanya sekitar 10 sampai 20 menit, secara cepat dimetabolisir oleh hati menjadi bentuk inaktif yaitu 17-ketosteroid (terutama androsteron dan etiocholanolone) dan juga metabolit polar (-diols, -triols dan konjugat [glukoronid dan sulfat]), kemudian diekskresi kedalam urin.  Karena testosteron yang terikat dengan albumin cepat mengalami disosiasi, maka “bioavailabilitas” testosteron yang tersedia didalam plasma adalah jumlah hormon yang bebas dan yang terikat dengan albumin. Testosteron merangsang pertumbuhan dan perkembangan saluran genital laki-laki, bersifat anabolik protein yang kuat ( meningkatkan sintesis protein, meningkatkan massa otot dan retensi nitrogen).

Efek utama dari testosteron dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Pada janin :

            Testosteron disekresi oleh embrio testes selama periode kritis dari kehidupan janin (antara 8 sampai 12 minggu), berperan pada proses diferensiasi dari genitalia interna dan eksterna laki-laki dan untuk merangsang proses desensus (penurunan) testes kedalam skrotum. Mullerian inhibiting substance (MIS) disekresi oleh testes janin untuk mencegah perkembangan saluran genital wanita pada janin laki-laki.

  1. Selama masa pubertas

            Testosteron berperan dalam proses pertumbuhan organ-organ seks laki-laki dan membantu proses percepatan fase pertumbuhan dan fusi dari epifisis tulang-tulang panjang; juga menyebabkan pembesaran suara (menyebabkan pembesaran pita suara), pertumbuhan kumis dan jenggot, rambut-rambut dipubis, ketiak dan badanserta penambahan massa otot dan kekuatannya. Penambahan aktivitas sekresi kelenjar keringat dimuka dapat menyebabkan timbulnya jerawat.

  1. Pada masa dewasa

            Testosteron mempertahankan maskulinisasi seperti dorongan seksual (libido) dan kemampuannya. Peranannya dalam mempertahankan respons ereksi masih kontroversi.

Bersama dengan FSH, testosteron  dibutuhkan untuk mengatur spermatogenesis pada testes dan memiliki efek umpan balik terhadap hipothalamus dan hipofisis.

E.1. Mekanisme kerja

            Kerja testosteron dimediasi secara langsung melalui protein reseptor androgen intraselular yang akan berikatan dengan Androgen-responsive elements (ARE) yang terdapat pada DNA inti sel, yang kemudian akan mempengaruhi transkripsi beberapa gen spesifik untuk sintesis protein spesifik didalam sitoplasma sel. Konversi testosteron menjadi 5a-dihydrotestosterone (DHT) terjadi didalam beberapa jaringan target (diantara kulit, kelenjar prostat dan vesicula seminalis) yang dikatalisir oleh enzim inti 5-a-reductase. DHT berinteraksi dengan reseptor intraselular yang sama dengan reseptor testosteron, tetapi mempunyai afinitas ikatan yang 2 kali lebih tinggi dengan kecepatan disosiasi yang lebih lambat. Disamping efek langsungya, testosteron juga berperan sebagai prohormon bagi produksi DHT intraselular didalam jaringan target androgen yang spesifik. Diferensiasi genitalia eksterna laki-laki dan kelenjar prostat pada janin lebih membutuhkan kerja DHT daripada testosteron, sementara testosteron diperlukan untuk memediasi perkembangan duktus Wolffian menjadi genitalia interna wanita. DHT juga merupakan hormon aktif yang berperan untuk pertumbuhan prostat dan penis.Pada wanita, androstenedion merupakan prekursor utama produksi DHT pada kulit. Tidak seperti testosteron, DHT merupakan androgen yang non-aromatizable, yaitu bukan merupakan substrat untuk aromatase, sehingga di perifer tidak bisa dikonversi menjadi estrogen. Pada embrio laki-laki selama perkembangan, sel-sel Sertoli yang belum matang mensekresi suatu peptida menyerupai inhibin, yaitu mullerian inhibiting substance (MIS), yang bertangguang jawab meregresi sistem duktus mullerian, yang selanjutnya berkembang menjadi tuba fallopii dan uterus. Mullerian Inhibiting Substance merupakan glikoprotein dimer yang termasuk superfamili dari TGF-b (transforming growth factor-b), yang terlibat dalam proses regulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel.MIS juga dapat ditemukan didalam testes postnatal dimana selama beberapa tahun kadarnya semakin meningkat sampai awal pubertas, selanjutnya kadarnya menurun mencapai kadar terendah.  Pada wanita, MIS dapat ditemukan didalam ovarium, tetapi keberadaannya tidak sampai mencapai pubertas. Pada masa kehidupan reproduksi, MIS disintesis oleh sel-sel granulosa ovarium dan berperan dalam mengendalikan pematangan oosit. Pengukuran kadar MIS didalam serum dapat digunakan dalam mendiagnosis pasien-pasien dengan berbagai kelainan gonad dan interseks kongenital. Disamping itu recombinant human MIS (rhMIS) terbukti dapat menyebabkan regresi tumor ginekologik tertentu secara in vitro dan dapat digunakan secara klinis dikemudian hari sebagai obat antikanker yang baru.

E.2. Kelainan-kelainan klinis

Hiposekresi atau hipofungsi testosteron pada laki-laki (hipogonadism) dapat terjadi akibat beberapa kelainan :

  1. Tidak adanya testes yang fungsional pada saat lahir (dapat disebabkan karena abnormalitas kromosom —> hipogonadism primer.)
  2. Perkembangan testes yang kurang baik akibat gangguan sekresi gonadotrophin dari hipofisis (hipopituitarism –> hipogonadisme sekunder)
  3. Testes janin yang tidak turun dari abdomen menuju kedalam skrotum (cryptorchidism)
  4. Hilangnya testes sebelum atau pada saat pubertas (kastrasi atau destruksi testes karena penyakit tertentu).

            Pengobatan hipogonadisme memerlukan terapi pengganti androgen, tergantung kepada penyebab yang mendasari dan usia pada saat onset terjadi. Cryptorchidism dapat diobati (sebelum pubertas) dengan pemberian gonadotrophin intramuskuler (Pregnyl) atau dengan pembedahan. Tidak adanya enzim yang berperan dalam mekanisme kerja testosteron (seperti pada defisiensi enzim 5-a-reductase yang menyebabkan pseudohermaph-roditism), atau defek molekular pada tingkat reseptor testosteron atau post-reseptor (dikenal dengan resistensi androgen) dapat pula menyebabkan abnormalitas serius dalam perkembangan seksual.

Hipersekresi testosteron

Walaupun sangat jarang, dapat terjadi akibat pertumbuhan tumor sel-sel Leydig pada anak-anak, dapat menyebabkan pubertas pseudo-precox dan penutupan epifisis tulang prematur (dengan akibat terjadinya perawakan yang pendek). Pengobatan pada kasus ini adalah dengan tindakan operatif pengangkatan tumor testes diikuti dengan terapi suli hormonal.

E.3. Manfaat Klinis dari Androgen

            Testosteron tidak dapat diberikan secara oral, karena metabolismenya yang cepat melalui hati. Sediaan depot (lepas lambat) dari ester testosteron seperti testosterone enanthate (Primoteston Depot) atau propionate (Virormone) dapat diberikan secara injeksi intramuskular dalam setiap 2 – 3 minggu, atau dapat diberikan oral menggunakan sediaan kapsul yang mengandung larutan berminyak dari testosterone undecanoate (Restandol). Sediaan depot yang bekerja lebih panjang yang terdiri dari campuran ester testosteron (propionat, fenilpropionat dan isokaproat [Sustanon 100/250]) juga tersedia. Steroid androgen oral lain yang tersedia di pasaran Inggeris saat ini adalah Mesterolon (Pro-Viron). Fluoxymesterone dan methyltestosterone digunakan di Amerika Serikat. Saat ini juga telah tersedia sediaan transdermal (Andropatch), yang terdiri dari film testosteron, digunakan setiap hari dengan ditempelkan pada kulit scrotum atau dipunggung, perut, paha atau lengan atas dalam bentuk patch. Efek samping dapat berupa iritasi kulit lokal.

Androgen dapat digunakan untuk :

  1. Terapi pengganti pada laki-laki dewasa yang mengalami pengebirian dan untuk pengobatan hipogonadisme karena insufisiensi testes atau hipofisis. Pada kasus terakhir, terapi androgen dapat dimulai pada masa pubertas (sering dalam kombinasi dengan terapi hormon pertumbuhan). Pengobatan pada anak-anak haruslah dipantau secara ketat untuk mencegah terjadinya penutupan epifisis secara dini. Androgen tidak digunakan secara umum sebagai terapi untuk penurunan libido dan impotensi (kecuali yang disertai dengan hipogonadisme).
  2. Sebagai anabolik protein untuk menambah massa otot setelah mengalami penyakit kronik (seperti kolitis ulseratif berat), operasi besar atau kondisi-kondisi terminal. Analog sintetik (steroid anabolik) yang lebih disukai adalah yang mempunyai efek androgenik yang kecil dan efek anabolik yang lebih besar {misal : nandrolone (Deca-Durabolin) atau stanozolol (Stromba)}. Efek anabolik dari obat-obat ini juga meliputi remineralisasi tulang, yang dapat memperbaiki demineralisasi tulang pada laki-laki usia lanjut yang mengalami defisiensi androgen (osteoporosis). Walaupun masih kontroversial, penggunaan steroid anabolik untuk pengobatan anemia aplastik mempunyai manfaat; penggunaan obat ini oleh para binaragawan atau atlet untuk meningkatkan agresivitas, kekuatan otot dan performance tidak dibenarkan dan bersifat illegal. Dosis tinggi dari steroid anabolik dan androgenik yang digunakan untuk maksud diatas dapat memberikan efek samping yang serius terhadap hati dan sistem kardiovaskular. Eryhtropoietin (EPO) yang merupakan hormon glikoprotein, terutama disekresi oleh sel-sel epitel glomerulus ginjal (dan juga oleh hati), yang merangsang pembentukan sel-sel darah merah dari sel-sel punca sumsum tulang. Sintesis hormon ini dipicu oleh adanya hipoksia jaringan (akibat anemia, tinggal didataran tinggi atau akibat oksigenasi hemoglobin yang tidak adekuat) dan juga oleh steroid androgenik (estrogen menghambat proses eritropoiesis). Recombinant human erythropoietin (rHuEPO) (Eprex atau Recormon: diberikan secara intravena atau subkutan) sekarang telah tersedia untuk pengobatan anemia sekunder pada gagal ginjal kronik (pada pasien yang mengalami hemodialisis).
  3. Pengobatan tumor yang dependen terhadap estrogen. Tumor ganas payudara dan leher rahim pada wanita dapat mengalami regresi bila terpapar dengan androgen. Efek samping maskulinisasi dapat terjadi dengan pemberian androgen, meliputi pertumbuhan kumis dan jenggot, terhentinya siklus menstruasi, suara yang menjadi besar dan timbulnya jerawat. Efek samping lain yang umum terjadi pada pengobatan dengan androgen antara lain kerusakan hati, tumor hati dan kholestasis, penambahan berat badan karena edema akibat retensi Na+/H2O (terutama pada pasien-pasien dengan penyakit jantung dan ginjal), priapisme (ereksi abnormal yang persisten) dan penurunan fertilitas pada pria (akibat efek umpan balik negatif terhadap sekresi GnRH dan gonadotrophin). Supresi terhadap spermatogenesis dan pengecilan testes selama pengobatan dapat pula terjadi dan dapat kembali seperti semula setelah penghentian pengobatan. Senyawaan anti-androgenik cyproterone acetate (Androcur; Cyprostat), flutamide (Drogenil) dan bicalutamide (Casodex) merupakan antagonis kompetitif dari testosteron yang bekerja pada reseptor androgen, dapat digunakan untuk menekan dorongan seksual yang berlebihan pada laki-laki (sex offenders: Androcur), atau dalam kombinasi dengan estrogen (Dianette) untuk pengobatan akne berat/hirsutisme pada wanita. Kanker prostat lanjut yang bersifat androgen-dependent juga memberikan respon yang baik dengan terapi anti-androgen (Casodex). Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini pada laki-laki dapat berupa : ginekomastia, infertilitas yang bersifat reversibel (karena hambatan terhadap spermatogenesis), keletihan, depresi dan osteoporosis. Saat ini cyproterone belum disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat.          

            Finasteride (Proscar) yang merupakan inhibitor selektif dari enzim 5-a-reductase yang bekerja dalam proses konversi perifer dari testosterone menjadi dihydro-testosterone (DHT). Karena DHT berperan dalam pertumbuhan dan fungsi normal dari prostat, inhibitor digunakan untuk pengobatan terhadap BPH untuk memicu pengecilan dari kelenjar prostat yang membesar dan untuk memperlancar aliran urin. BPH merupakan kelainan jinak yang umum terjadi pada hampir 80% laki-laki diatas umur 60 tahun. Efek samping pengobatan dapat berupa impotensi dan penurunan libido. Penghambat á1-adrenoreceptor alfuzosin (Xatral SR), doxazosin (Cardura), indoramin (Doralese) dan tamsulosin (Flowmaz MR) juga digunakan dalam pengobatan BPH untuk memperlancar aliran urin dan mengurangi gejala-gejala obstruksi saluran kemih.

  1. Sistem reproduksi wanita, struktur dan histologi

                Ovarium terletak disisi kanan dan kiri uterus, berdekatan dengan muara tuba fallopii didalam pelvis. Masing-masing ovarium mempunyai berat sekitar 15 gram, terbungkus oleh kapsul jaringan ikat, terdiri dari korteks yang berisi ribuan follikel primordial (sekitar 200.000 pada masa pubertas) yang tertanam didalam jaringan penunjang (stroma). Masing-masing follikel primordial berisi ovum (oosit) yang dikelilingi oleh selapis sel epitel granulosa. Selama masa reproduksi, hanya sekitar 450 follikel yang dapat berkembang menjadi matur dan mengeluarkan oosit, sisanya akan mengalami degenerasi spontan (atresia). Pada masa menopause (ketika proses menstruasi terhenti) hanya beberapa follikel primordial yang terdapat didalam ovarium.

F.1. Siklus Ovarium dan pelepasan hormon

            Dalam setiap fase siklus menstruasi, folikel-folikel ovarium berkembang melalui 3 tahap, yang akhirnya membentuk folikel matang yang disebut dengan folikel Graaf. Pada permulaan (hari pertama) dari setiap siklus menstruasi (fase folikular), sekitar 10 sampai 20 folikel primordial, yang dirangsang oleh meningkatnya kadar FSH, akan membesar membentuk folikel sekunder, walaupun setelah hari ke enam, hanya satu yang menjadi matang secara sempurna.  Folikel-folikel yang tersisa akan mengalami regresi. Pada pertengahan siklus (hari ke 14), folikel Graaf bermigrasi menuju tepi dari ovarium dan mengalami ruptur, membebaskan oosit menuju rongga abdomen (mengalami ovulasi) dan masuk kedalam tuba Fallopi. Bila ovum mengalami pembuahan (fertilisasi) selama perjalanannya didalam tuba Fallopi, akan mulai terjadi pembelahan (stadium blastocyst) sebelum mengalami implantasi didalam uterus, dan pertumbuhan sel selanjutnya (stadium trophoblast).  Sel-sel trophoblast, bersama-sama dengan blastocyst dan sel-sel endometrium yang berdekatan, secara cepat akan membelah diri membentuk plasenta. Setelah kira-kira 72 jam, bila tidak dibuahi, ovum akan mati dan dikeluarkan melalui vagina.

Proses pematangan folikel dapat diringkas sebagai berikut :

  1. Folikel primer (primordial) yang berdiameter 25 mm, merupakan oosit yang belum matang yang dikelilingi oleh selapis sel epitel folikuler.
  2. Folikel sekunder berdiameter 500 mm. Oosit semakin membesar dan dibawah pengaruh FSH, sel-sel folikel memperbanyak diri membentuk suatu lapisan sel-sel granulosa. Akan terbentuk pula rongga yang berisi penuh dengan cairan (disebut antrum) yang mengandung zat-zat nutrisi.

Sama seperti sel-sel Sertoli pada laki-laki, sel-sel granulosa juga akan membentuk gap junction diantara mereka yang berperan sebagai sawar pelindung disekelilingi oosit.

  1. Folikel Graaf berdiameter sekitar 20 mm. Antrum membesar dan lapisan luar dari sel-sel thecal berkembang dari stroma ovarium, yang dibawah rangsangan dari LH, bertanggung jawab untuk memulai produksi estrogen. Hal ini penting dalam mempersiapkan pembentukan saluran reproduksi wanita untuk proses konsepsi. Sel-sel theca memproduksi androgen (terutama androstenedione) yang selanjutnya dirubah (via aktivitas enzim aromatase) menjadi estrogen oleh sel-sel granulosa (yang distimulasi oleh FSH dan LH). Kedua efek ini melibatkan peningkatan dari cAMP intraseluler. FSH (bersama dengan estrogen) meningkatkan jumlah reseptor LH dan FSH pada sel-sel granulosa, sehingga akan meningkatkan sensitivitas sel tersebut terhadap LH/FSH. Setelah ovulasi (fase luteal), sel-sel theca dan granulosa mengalami kolaps, folikel-folikel yang mengalami perdarahan akan berproliferasi membentuk corpus luteum yang berwarna kekuningan (berdiameter 1,5 cm), dimana pada wanita yang tidak hamil akan bertahan selama 10 hari dan mensekresi estrogen dan progesteron, sebelum mengecil membentuk jaringan parut (corpus albicans). Peningkatan mendadak dari kadar progesteron akan meningkatkan suhu tubuh sebesar 0,5oC, yang akan bertahan sampai akhir dari siklus menstruasi. Namun bila terjadi fertilisasi dari ovum atau implantasi, corpus luteum akan bertahan hidup dan terus mensekresi steroid selama 2 sampai 3 bulan, sampai plasenta mengambil alih tugasnya. Corpus luteum akan mempertahankan endometrium uterus selama awal kehamilan. Proses pematangan folikel dan ovulasi dapat dilihat pada gambar 12.

F.2. Siklus Uterus

                Perubahan siklus yang terjadi didalam lapisan endometrium mempersiapkan uterus untuk fertilisasi dan kehamilan. Perubahan-perubahan ini terjadi dalam rangkaian waktu yang tepat, yaitu :

  1. Hari pertama siklus menstruasi mulai terjadi ketika lapisan luar endometrium dari siklus awal mengalami pengelupasan, dengan akibat keluarnya darah melalui vagina (fase menstruasi).
  2. Hari ke 5. Menstruasi berhenti, dan estrogen disekresi oleh folikel-folikel yang sedang berkembang, menyebabkan endometrium berproliferasi dan tumbuh menebal (fase follikular/ proliferatif).
  3. Hari ke 14 (pertengahan siklus). Terjadi gelombang sekresi LH, diikuti 24 sampai 48 jam kemudian dengan terjadinya ovulasi. Progesteron yang disekresi oleh corpus luteum akan merangsang endometrium menjadi lebih banyak mengandung pembuluh darah dan mensekresi mukus (fasel sekretori/ luteal); fase ini penting sebagai persiapan untuk terjadinya implantasi dari ovum yang telah dibuahi.
  4. Hari ke 28 (tidak ada pembuahan). Corpus luteum mengalami regresi, dukungan hormonal dari endometrium hilang dan menstruasi dimulai lagi. Endometrium mengalami nekrosis dan rusak karena terputusnya suplai darah dari arteri spiralis. Perubahan siklus hormonal ini juga merubah konsistensi dan keasaman dari lendir servik (jernih, cair, elastis, pHnya tinggi pada saat ovulasi dan menjadi kental, selular dengan pH yang rendah setelah ovulasi.

 

Gambar 14. Sekuens perkembangan folikel didalam ovarium.

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

F.3. Regulasi hormonal siklus menstruasi

                Selama 14 hari pertama siklus menstruasi, kadar FSH (dan LH) didalam plasma secara perlahan mengalami peningkatan, yang merangsang maturasi folikel ovarium dan sekresi estrogen. Estrogen memasuki sirkulasi darah dan menghambat sekresi FSH melalui efek umpan balik negatif terhadap hipofisis dan hipothalamus, tetapi pada kadar ambang tertentu yang tinggi, akan terjadi efek umpan balik positif, dimana saat ini estrogen merangsang LH (yang berlangsung selama 24 -48 jam), menyebabkan terjadinya ovulasi, pembentukan corpus luteum dan sekresi progesteron.

Progesteron juga mempunyai efek umpan balik negatif terhadap sekresi gonadotropin selama fase luteal. Pada saat kadar LH menurun, corpus luteum mengalami degenerasi, umpan balik negatif normal dari estrogen terhadap hipofisis dan hipothalamus  dilanjutkan dan akan terjadi menstruasi ketika ketersediaan estrogen serta progesteron dari corpus luteum tidak cukup untuk mempertahankan endometrium. Perubahan-perubahan siklik dari kadar hormon didalam plasma yang terjadi selama siklus menstruasi dapat dilihat pada gambar 6.5. Sel-sel granulosa juga memproduksi peptida inhibin (dalam stimulasi oleh FSH), yang mempunyai efek umpan balik negatif berupa inhibisi terhadap sekresi FSH selama fase folikuler. Inhibin juga diproduksi oleh corpus luteum selama fase luteal.

Gambar 15. Kendali produksi steroid gonad wanita oleh hipothalamus dan hipofisis anterior.

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

Perubahan-perubahan hormonal selama kehamilan

                Bila terjadi fertilisasi atau implantasi ovum kedalam uterus (sekitar hari ke 20), sel-sel trofoblas disekitar embrio akan mensekresi human chorionic gonadotrophin (hCG), suatu hormon glikoprotein yang menyerupai LH, yang dapat dideteksi didalam urin ibu pada hari ke 9 dari konsepsi dan dapat digunakan sebagai dasar uji kehamilan.  Human chorionic gonadotrophin akan mempertahankan corpus luteum (produksi estrogen/ progesteron) selama 9 minggu dan mencegah ovulasi dan menstruasi berikutnya.

            Dari mulai sekitar minggu ke 9, plasenta berfungsi sebagai kelenjar endokrin yang penting dan mulai mensekresi estrogen (terutama estriol, dengan estradiol dan estrone) dan progesteron, serta terus mensekresi sejumlah besar hCG. Kadar hCG akan menurun dari kadar puncaknya pada awal kehamilan menjadi lebih rendah setelah  minggu ke 16 dan corpus luteum mengalami regresi. Fungsi hCG selama perkembangan janin atau selama kehamilan masih belum diketahui secara pasti, diduga berperan penting dalam menstimulasi sel-sel Leydig dari testes janin laki-laki untuk memproduksi testosteron dan juga merangsang kelenjar adrenal janin untuk memproduksi prekursor steroid androgenik, dehydroepiandrosterone sulphate (DHEAS) yang diperlukan oleh plasenta untuk memproduksi estrogen.

 

Gambar 16. Perubahan-perubahan kadar LH dan FSH serta estradiol dan progesteron selama 28 hari siklus menstruasi. Sebagai catatan, pada laki-laki fluktuasi siklik dari kadar LH/FSH didalam plasma tidak terjadi.  Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

                Chorionic gonadotrophin (hCG) yang diambil dari urin wanita hamil dapat digunakan untuk pengobatan infertilitas anovulatorik dan penatalaksanaan pubertas yang tertunda pada laki-laki atau untuk stimulasi descensus testicularis pada anak laki-laki dengan cryptorchidism.

Bentuk jarang dari suatu tumor otak yang mensekresi hCG dapat menimbulkan pubertas pseudoprecox pada anak laki-laki. Mulai minggu ke 5 kehamilan, plasenta juga mensekresi human chorionic somatomammotrophin (hCS) yang juga disebut human placental lactogen, hPL), suatu peptida dengan 191 rantai asam amino, mirip dengan human Growth Hormone dan prolactin. Walaupun sejumlah besar hCS terdapat didalam darah ibu, peranan dari hormon ini dalam kehamilan masih belum diketahui dengan pasti, diduga mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lipid maternal untuk mencukupi kebutuhan nutrisi yang konstan terutama glukosa bagi janin. Hormon ini (hCS) juga mempunyai aktivitas menyerupai GH yang lemah terhadap pertumbuhan janin dan merangsang pertumbuhan parsial dari jaringan payudara ibu hamil untuk persiapan menyusui.

Gambar 17. Kadar estrogen, progesteron dan hCG didalam darah maternal selama kehamilan normal. Setelah minggu kesembilan, plasenta mengambil alih dari corpus luteum sebagai sumber utama estrogen dan progesteron. Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

                Protein lain yang juga diproduksi oleh jaringan plasenta, antara lain pregnancy-associated plasma protein A (PAPP-A) dan  pregnancy-specific beta 1-glycoprotein (SP-1),  namun peran biologik yang pasti dari peptida-peptida ini masih belum diketahui dengan pasti. Kadar hPL dan SP-1 didalam serum ibu (yang diukur dengan teknik radioimmunoassay) dapat digunakan sebagai indikator dari berat /fungsi plasenta dan kondisi janin selama kehamilan. hCG, hPL dan SP-1 juga dapat diproduksi secara ektopik oleh tumor ganas tertentu dari kelenjar adrenal atau saluran kemih, dan dapat digunakan sebagai pertanda diagnostik dari tumor-tumor ganas tersebut. Relaxin, merupakan asam amino kecil (53 asam amino) dengan 2 rantai polipeptida,  secara struktural menye-rupai insulin dan IGF. Hormon ini disintesis didalam corpus luteum ovarium (dan juga plasenta) dan dilepaskan kedalam aliran darah maternal selama kehamilan (juga disekresi oleh kelenjar prostat laki-laki dan dapat ditemukan didalam cairan semen). Kerja utama peptida ini diduga memperlonggar ligamentum pubis dan memperlunak serta mendilatasi cervix uteri untuk persiapan persalinan. Walaupun relaxin dapat bekerja secara sinergik dengan progesteron untuk mengurangi kontraksi spontan uterus pada beberapa spesies binatang, namun efek inhibisi langsung dari relaxin dalam pengaturan aktivitas uterus pada kehamilan manusia tidak terlalu besar. Saat ini penggunaan recombinant human relaxin (rhRlx) sebagai obat pelunak serviks uteri, yang diberikan intravaginal atau intraservikal sebelum persalinan, masih dalam penelitia

Sintesis Steroid oleh Unit Feto-placental maternal

            Progesteron plasenta (disintesis dalam jumlah besar dari kolesterol ibu, melalui pregnenolon) digunakan oleh kelenjar adrenal janin untuk memproduksi kortisol dan aldosteron. Hormon ini penting untuk mencegah kontraksi uterus selama kehamilan (jadi mencegah keluarnya janin secara prematur) dan untuk memper-siapkan kelenjar mamma untuk memproduksi ASI.

 

Gambar 18. Sintesis hormon steroid didalam unit maternal fetal-placental. Progesteron disintesis oleh plasenta dari kolesterol maternal, yang dirubah (via DHEAS) menjadi estrogen, estradiol dan estrone. Progesteron juga melewati janin, dirubah menjadi kortisol dan aldosteron oleh kelenjar adrenal janin. Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

                Estrogen plasenta mempunyai fungsi penting merangsang pertumbuhan sistem saluran kelenjar mamma dan juga merangsang pembesaran alat genitalia wanita. Selain menyebabkan relaksasi ligamentum pelvis, estrogen juga memfasilitasi pembesaran uterus selama kehamilan. Estradiol dan estron disintesis didalam plasenta, dari DHEAS ibu dan janin, sementara estriol dibentuk dari hidroksilasi prekursor 16-OH-DHEAS, yang berasal dari kelenjar adrenal dan hati janin (gambar 16). Kadar yang tinggi dari estrogen mempunyai efek umpan balik negatif terhadap hipothalamus dan hipofisis selama kehamilan, yang selanjutnya dapat mencegah pelepasan LH/FSH, perkembangan folikel dan ovulasi lebih lanjut.

Menopause

                Wanita usia antara 45 tahun sampai 55 tahun secara normal akan mengalami menstruasi yang tidak teratur, bahkan berhenti sama sekali (disebut menopause). Pada stadium ini, sangat sedikit sekali folikel-folikel primordial yang tersisa didalam ovarium. Sekitar 80% wanita kemudian akan mengalamui gejala-gejala post-menopause yang tidak menyenangkan, yang sebagian besar berhubungan dengan penurunan produksi estrogen.

Keadaan ini meliputi gejala-gejala:

– Hot flush pada kulit

– Berkeringat

– Palpitasi

– Iritabilitas

– Cemas

– Depresi

– Atropi vagina

– Osteopeni yang berlanjut menjadi osteoporosis (hilangnya massa tulang dan terjadinya demineralisasi yang akan meningkatkan risiko patah tulang, terutama tulang-tulang belakang dan paha. Karena tidak adanya umpan balik negatif, kadar LH dan FSH plasma sangat tinggi pada wanita post-menopause, walaupun tidak ada variasi siklus menstruasi. Estrogen folikular tidak lagi disekresi, tetapi produksi estrogen masih tetap terjadi melalui konversi perifer (aromatisasi) dari androgen ovarium atau adrenal, dimana estrogen utama yang dihasilkan lebih banyak dalam bentuk estron daripada estradiol.  Menotrophin (Pergonal), suatu sediaan gonadotropin yang diekstraksi dari urin post-menopause, dapat diberikan melalui injeksi intramuskular untuk merangsang perkembangan folikel dan merangsang ovulasi pada kasus-kasus infertilitas akibat hipopituitarisme.

            Sediaan ini juga dapat digunakan untuk mengobati hipogonadisme karena kekurangan gonadotropin pada laki-laki. Urofollitrophin (Metrodin) yang mengandung FSH murni dapat pula digunakan untuk menginduksi superovulasi (pertumbuhan folikel multipel) sebagai bagian dari terapi untuk membantu konsepsi melalui teknik fertilisasi in vitro.

Hormon-hormon seks wanita

Estrogen

                Hormon steroid estrogenik utama yang dihasilkan oleh ovarium adalah 17b-oestradiol, bersamaan dengan beberapa estron dan estriol. Estrogen juga disekresi oleh korpus luteum, plasenta pada saat hamil dan dalam jumlah kecil oleh korteks adrenal. Hanya 25 dari estradiol didalam sirkulasi berada dalam bentuk hormon bebas, sisanya berikatan dengan albumin plasma (60%) atau dengan sex hormone binding globulin (SHBG) (38%).

            Estriol mempunyai affinitas yang relatif rendah dengan SHBG. Estrogen dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan mempertahankan fungsi saluran genital dan kelenjar payudara wanita.

 

Efek utama dari hormon-hormon estrogenik meliputi :

  1. Selama pubertas

            Merangsang pertumbuhan dari uterus, payudara dan vagina serta mengontrol penyimpanan dan distribusi lemak didalam jaringan subkutan. Seperti testosteron pada laki-laki, estrogen merupakan penyebab utama dari “growth spurt”, penutupan epifisis tulang-tulang panjang dan perkembangan karakteristik seks sekunder. Pertumbuhan rambut pubis dan ketiak pada wanita terutama dirangsang oleh sekresi androgen adrenal.

  1. Pada periode dewasa

            Estrogen mengatur rangkaian proses yang terjadi selama siklus menstruasi (pertumbuhan lapisan endometrium), yang penting selama kehamilan dan menyusui serta berkontribusi dalam mempertahankan dorongan seksual (libido) dan kepribadian wanita.

Progesteron

            Progestogen utama yang disekresi oleh ovarium selama fase luteal adalah progesteron, yang bertanggung jawab untuk perubahan-perubahan sekretorik didalam endometrium uterus dalam persiapan kehamilan dan bersama-sama dengan estrogen merangsang perkembangan kelenjar mammae dalam persiapan laktasi. Progesteron juga menyebabkan mukus leher rahim menebal dan bersifat asam, sehingga sulit ditembus oleh spermatozoa. Hanya sekitar 1 sampai 2 % dari progesteron didalam sirkulasi yang bersifat bebas, sekitar 50% berikatan dengan albumin dan sisanya berikatan dengan corticosteroid-binding a2-globulin transcortin. Selama kehamilan, progesteron mengurangi frekuensi kontraksi spontan dari miometrium, yang berguna untuk mencegah terjadinya abortus. Hormon ini mempunyai efek umpan balik negatif yang lemah terhadap hipofisis anterior dan hipothalamus dalam mengendalikan sekresi Luteinizing Hormone.

Mekanisme kerja hormon

            Estrogen dan progesteron memiliki efek melalui difusi bebas pada sel-sel target dan ikatannya dengan reseptor-reseptor intraselular yang mempunyai afinitas tinggi. Protein reseptor ini termasuk kedalam superfamili dari ligand-activated transcription factors (LTFs), yang merupakan reseptor untuk hormon tiroid dan glukokortioid. Hasil akhir dari ikatan kompleks steroid-reseptor akan terjadi perubahan-perubahan bentuk molekul, pelepasan heat shock protein (Hsp-90), dimerisasi, dan kemudian berikatan dengan sekuens DNA untuk inisiasi atau supresi ekspresi gen-gen spesifik untuk sintesis mRNA yang baru dan protein-protein baru. Jumlah reseptor estrogen dan progesteron didalam jaringan target dikendalikan oleh stimulasi estrogen sebelumnya. Progesteron juga dapat menyebabkan down-regulasi jumlah reseptornya sendiri. Abnormalitas ekspresi dan fungsi dari reseptor estrogen dan progesteron dapat menyebabkan terjadinya penyakit-penyakit tertentu seperti kanker payudara, fibroid uterus atau endometriosis.

Kelainan klinis

            Hiposekresi estrogen (hipogonadisme) dapat terjadi akibat tidak terbentuknya ovarium atau terjadinya gangguan fungsi ovarium sejak lahir. Pada kasus ini organ-organ seks wanita dan karakteristik seks sekundernya tidak berkembang, tidak terjadi menstruasi (amenore primer) dan tidak terjadi penutupan epifisis tulang pada saat usia remaja.  Sindrom Turner atau disgenesis gonad (karena abnormalitas kromosom ; 45,XO) merupakan penyebab paling sering dari hipogonadisme kongenital. Kelainan ini (dan beberapa variannya), dimana defeknya terjadi didalam gonad, secara kolektif disebut primary or hypergonadotrophic hypogonadism (disertai dengan kadar LH dan FSH serum yang tinggi). Kegagalan ovarium prematur (yang menyebabkan amenore sekunder) dapat juga terjadi pada beberapa wanita usia dibawah 40 tahun karena penyakit otoimun. Selain itu, fungsi ovarium dapat pula mengalami gangguan akibat gangguan sekresi hormon-hormon hipothalamus atau hipofisis pada masa pubertas. Keadaan ini disebut dengan secondary or hypogonadotrophic hypogonadism.

            Hilangnya estrogen akibat pengangkatan prematur dari ovarium pada wanita dewasa, akan menyebabkan regresi dari organ-organ seks dan uterus serta atropi dari payudara disertai dengan gejala-gejala karakteristik lain dari keadaan menopause.  

Hipersekresi estrogen dapat terjadi akibat tumor sel-sel lapisan granulosa-theca ovarium (jarang) yang menyebabkan efek estrogenik yang berlebihan, terutama terhadap uterus, sehingga dapat terjadi hipertrofi dan perdarahan endometrium yang abnormal.

Endometriosis

            Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium berkembang secara ektopik didalam rongga peritoneum (biasanya menutupi organ-organ seks internal). Keadaan ini sering disebabkan akibat menstruasi retrograd sepanjang tuba fallopi. Selama siklus menstruasi, jaringan aktopik ini mengalami proliferasi dan degenerasi layaknya endometrium uterus yang normal, namun gumpalan darah menumpuk didalam rongga abdomen yang akan menimbulkan iritasi, nyeri perut atau pelvis yang bersifat siklik dan akan menyebabkan terjadinya fibrosis pelvis.

            Perdarahan rektum atau hematuria yang bersifat siklik dapat pula terjadi pada beberapa pasien. Bila tidak diobati, keadaan ini dapat menimbulkan infertilitas akibat oklusi fibrotik dari ovarium dan tuba fallopi. Pengobatan meliputi tindakan operatif dan farmakoterapi, tergantung dari berat ringannya penyakit. Pada kasus yang ringan, tindakan operatif konservatif berupa pengangkatan jaringan endometrium ektopik dan adhesi menggunakan pendekatan laparoskopik/ ablasi laser atau laparotomi/ microsurgery untuk menghilangkan gejala dan mengembalikan anatomi pelvis yang normal. Pada kasus yang lebih berat, perlu dilakukan pengangkatan uterus dan ovarium (histerektomi dan oophorectomi bilateral). Terapi medikamentosa diberikan  untuk menghilangkan gejala. Obat-obat yang umum digunakan antara lain :

  1. Gonadotrophin release inhibitors : Danazol (Danol) dan Gestrinone (Dimetriose) yang merupakan turunan dari progestogen sintetik (secara struktural menyerupai testosteron), dapat menghambat sekresi gonadotrophin dari hipofisis sehingga mencegah ovulasi. Obat ini juga mempunyai aktivitas anti-progestogen dan aktivitas androgenik yang lemah. Obat-obat ini juga bermanfaat untuk pengobatan ginekomastia, tumor payudara jinak, nyeri payudara siklik (mastalgia), perdarahan menstruasi berlebihan (menorrhagia) dan sindroma premenstrual, walaupun beberapa efek samping androgenik ringan seperti penambahan berat badan, hirsutisme, akne, perubahan suara) dapat terjadi selama penggunaannya.
  2. Analog GnRH : Buserelin, Goserelin, Leuprorelin atau Nafarelin dapat diberikan setiap hari dalam bentuk nasal spray atau melalui injeksi subkutan/ intramuskular setiap bulan selama 6 bulan untuk menginduksi keadaan hipoestrogenik melalui kerja menekan sekresi gonadotrophin hipofisis. Efek samping berupa gambaran tanda-tanda menopause dapat terjadi berupa hot flushes, kekeringan vagina dan penurunan libido.
  3. Progestogen : Turunan progesteron sintetik seperti Norethisterone (Primolut N), Dydrogesterone (Duphaston) atau Medroxy-progesterone (Provera) dapat diberikan secara oral selama 4-6 bulan atau lebih, atau melalui injeksi intramuskular (Depo-Provera) untuk menekan pertumbuhan endometrium dan menghambat pelepasan gonadotrophin siklik dan ovulasi.

            Efek samping dapat berupa perdarahan vagina tidak teratur, berat badan bertambah, nyeri di payudara, sakit kepala dan mual-mual.

Penggunaan  klinis Estrogen dan Progestogen :

            Beberapa estrogen alamiah dan sintetik serta progestogen saat ini sudah tersedia untuk penggunaan klinis. Senyawaan terakhir yang diberikan secara oral hanya sedikit dimetabolisir oleh hati dibandingkan dengan hormon alamiah, sehingga lebih disukai untuk tujuan terapi.

 

Penggunaan Estrogen

Beberapa jenis estrogen yang umum digunakan antara lain :               17b-oestradiol, oestrone, oestriol, ehinyloestradiol, mestranol, dienoestrol dan stilboestrol.

Estrogen dapat digunakan sebagai :

  1. Terapi suli hormonal {hormone replacement therapy (HRT)}

            Selain penggunaannya untuk pengobatan berbagai keadaan hipofungsi ovarium kongenital (misal hipogonadisme primer) pada wanita muda (11 sampai 13 tahun), estrogen paling sering digunakan untuk memperbaiki gejala-gejala menopause yang kurang menyenangkan (misal hot flushes, keringat malam, palpitasi, sakit kepala, kekeringan dan atropi vagina) akibat hilangnya estrogen alamiah dari ovarium.  Gejala-gejala ini dapat pula terjadi lebih dini, setelah operasi pengangkatan ovarium (oophorectomy) akibat kanker atau bersama dengan pengangkatan uterus (histerektomi) pada kasus-kasus endometriosis berat. Karena estrogen alamiah secara normal bersifat antagonis terhadap efek mobilisasi ion kalsium (Ca2+) dari hormon paratiroid pada tulang, maka suplemen estrogen dalam terapi suli hormonal perlu diberikan dalam jangka panjang, untuk mencegah terjadinya osteoporosis post menopause dan menurunkan risiko patah tulang. Terapi suli hormonal juga diketahui untuk melindungi wanita post menopause dari terjadinya penyakit kardiovaskular (infark miokard dan stroke) melalui efek protektif terhadap metabolisme lipid/ lipoprotein (estrogen meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kadar kolesterol LDL serum) dan juga memperbaiki aliran darah. Beberapa progestogen mempunyai efek berlawanan terhadap lipid didalam darah, sehingga mengurangi efek menguntungkan dari estrogen terhadap profil lipid.

            Terapi suli hormonal dapat memberi manfaat bagi wanita yang sudah mengalami penyakit kardiovaskular. Oestrogen-alone (unopposed) HRT hanya cocok untuk wanita yang sudah tidak mempunyai uterus (misal setelah histerektomi); disamping itu, terapi kombinasi estrogen/ progestogen diberikan untuk mengurangi risiko terjadinya karsinoma endometrium.

Beberapa jenis sediaan estrogen yang umum digunakan antara lain :

 

  1. Terapi estrogen alamiah oral :

            Tablet yang mengandung oestradiol valerate, piperazine oestrone sulphate, oestriol atau conjugated equine oestrogen yang diberikan dengan dosis 1 tablet perhari (blister berisi 28 tablet).

  1. Terapi transdermal :

            Dianjurkan untuk pasien yang tidak tolerans terhadap terapi oral, atau yang kepatuhannya kurang. Jalur transdermal ini dimaksudkan untuk menghindari metabolisme hormon pertama oleh hati, namun harganya relatif mahal dan dapat menimbulkan iritasi lokal pada kulit.  Saat ini sudah dipasarkan sediaan “self-adhesive oestrogen-only reservoir patches” yang mengandung 17b-oestradiol (Estraderm TTS atau MX[matrix patch]; Evorel; Fematrix) dan dapat dipilih kecepatan lepas obatnya antara 25 sampai 100 ug hormon per 24 jam. Juga ada sediaan oestradiol patches 7 hari, yang kecepatan lepas obatnya sekitar 50 ug hormon per 24 jam (FemSeven; Progynova TS). Suatu gel yang mengandung estrogen (Oestrogel) dengan kandungan 0,06% 17b-oestradiol baru-baru ini terlah diperkenalkan, yang dapat digosokkan pada kulit lengan, bahu atau paha bagian dalam (tapi tidak boleh digosokkan pada payudara atau daerah vagina) sekali sehari, sebagai terapi pilihan bagi wanita yang alergi terhadap penggunaan patches atau tidak menyukai terapi oral. Tambahan tablet oral progestogen dapat diberikan bersamaan bila diperlukan untuk wanita yang masih mempunyai uterus yang utuh. Kontak kulit dengan pasangan laki-laki sebaiknya dihindari selama 1 jam setelah pemberian sediaan gel ini.

  1. Terapi implan

            Terapi implan dapat digunakan sebagai alternatif terhadap terapi oral; sediaan implan dari 17b-oestradiol dicangkokkan secara subkutan  didaerah bokong atau perut setiap 4 sampai 8 minggu bila diperlukan. Progestogen oral juga dapat diberikan selama 10 sampai 14 hari setiap siklus, bila uterus masih utuh.

  1. Terapi vaginal

            Estrogen seperti 17b-oestradiol, oestriol, conjugated equine oestrogen atau dienoestrol (Ortho Dienoestrol), dapat diberikan dengan cara aplikasi topikal berupa krim atau tablet vagina untuk terapi jangka pendek dari gejala-gejala atrofi vagina. Beberapa krim vagina dapat merusak kondom dan diafragma.

 

 

Tabel 6. Beberapa contoh obat-obat yang digunakan sebagai terapi suli hormonal untuk wanita yang sudah mengalami histerektomi. Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

Estrogen

Bentuk sediaan

Nama dagang

Sediaan oestrogen alami oral

Oestradiol valerate (1-2 mg)

Oestradiol valerate (1-2 mg)

Piperazine oestrone sulphate

[Estropipate] (0,93 mg)

 

Oestradiol, oestriol dan oestrone mixture (0,27/1,4/0,6 mg)

 

Conjugated equine oestrogens (0,625-1,25 mg)

 

Sediaan transdermal

 

17 b-oestradiol (25-100 ug/24 jam)

17 b-oestradiol (25-75 ug/24 jam)

17 b-oestradiol (40-80 ug/24 jam)

17 b-oestradiol (37,5-75 ug/24 jam)

17 b-oestradiol (0,06 %)

Sediaan vagina

Estriol

Estriol

Conjugated oestrogens

Dienoestrol

17 b-oestradiol

17 b-oestradiol

 

 

Tablet

Tablet

Tablet

Tablet

 

Tablet

 

 

Patches

 

 

 

 

Patches

Patches

Patches

Gel

 

 

 

Vaginal cream

Vaginal cream

Vaginal cream

Vaginal cream

Vaginal tablet

Vaginal ring

 

Climaval

Progynova Zumenon

Harmogen

 

 

Hormonin

 

 

Premarin

 

 

 

 

Estraderm TTS/MX

Evorel

Fematrix

Menorest

Oestrogel

 

 

Ortho-Gynest

Ovestin

Premarin

Orho-Dienoestrol

Vagifem

Estring

 

 

Pengobatan kanker prostat yang bersifat “androgen- dependent”.

            Pemberian estrogen dapat digunakan untuk membatasi efek stimulasi dari androgen terhadap sel-sel prostat ganas yang bersifat androgen dependent pada laki-laki. Estrogen sintetik non steroid yaitu stilbesterol dapat diberikan secara oral, walaupun dapat terjadi efek samping berupa feminisasi, atrofi testis, impotens dan ginekomastia. Karena adanya efek samping yang tidak diinginkan diatas, saat ini lebih disukai pemberian agonis GnRH seperti buserelin (Suprecur), goserelin (Zoladex) atau leuprorelin (Prostap SR) yang dapat menekan aktivitas androgenik dari karsinoma prostat stadium lanjut. Pemberian obat-obat ini dalam jangka panjang (melalui cara semprot hidung atau injeksi subkutan/ intramuskular) akan menyebabkan down-regulasi reseptor2 GnRH, penurunan sekresi gonadotrophin dan androgen. Beberapa gejala stimulasi awal dari aktivitas tumor dapat terjadi sebelum efek terapi inhibisi gonadotrophin terjadi. Keadaan ini dapat dikendalikan dengan pemberian terapi anti-androgen (misal Flutamide).

  1. Kontrasepsi oral post coital (the morning after pill).

            Kehamilan secara efektif dapat dicegah dengan pemberian jangka pendek estrogen dosis tinggi dalam kombinasi dengan progestogen (bekerja untuk mencegah implantasi). Sediaan yang saat ini tersedia yaitu Schering PC4 yang terdiri dari 4 tablet mengandung 50ug ethinyloestradiol dan 0,5 mg progestogen norgestrel (ekivalen dengan 0,25 mg isomer aktif dari levonorgestrel.

Obat ini dapat diberikan 72 jam setelah hubungan seks (2 tablet diminum segera, diikuti 2 tablet lagi setelah 12 jam) dan dilaporkan 98% efektif mencegah kehamilan. Beberapa efek samping dapat terjadi akibat tingginya  kadar estrogen. Efek samping tersebut antara lain mual, muntah, sakit kepala, pusing dan nyeri di payudara. Pasien hendaknya secara hati-hati diperiksa tentang kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik (tubal pregnancy). Di Amerika Serikat, stilboestrol (disebut diethylstilbestrol [DES], tablet 25 mg, 2 kali sehari selama 5 hari) dapat diberikan kontrasepsi darurat post-coital, dimulai 72 jam setelah hubungan seks.

 

Antagonis Estrogen

            Clomiphene (Clomid) merupakan obat anti estrogenik yang berkompetisi dengan estrogen untuk berikatan dengan reseptor estrogen sitoplasma, namun tidak mempunyai aktivitas estrogen intrinsik. Obat ini akan mencegah inhibisi umpan balik negatif normal terhadap hipothalamus dan hipofisis anterior dan merangsang peningkatan sekresi GnRH dan LH/FSH.  Obat ini dapat digunakan untuk stimulasi ovulasi pada wanita-wanita yang infertil, walaupun dapat terjadi hiperovulasi dan kehamilan multipel. Tamoxifen (Tamofen; Nolvadex-D) dan toremifene (Fareston) adalah suatu sediaan anti estrogen yang digunakan untuk mengobati infertilitas anovulasi dan sekarang menjadi terapi pilihan untuk pengobatan tumor payudara yang oestrogen dependent stadium lanjut.  Efek samping yang dapat menyertai penggunaan anti-oestrogen antara lain : hot flushes, perdarahan vagina, nyeri perut, pusing dan gangguan penglihatan. Bukti baru menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya kanker endometrium setelah penggunaan tamoxifen jangka panjang (lebih dari 2 tahun).

 

Aromatase Inhibitors

            Aminoglutethimide (Orimeten) merupakan suatu inhibitor enzim aromatase tipe II yang kuat, digunakan dalam penatalaksanaan kanker payudara stadium lanjut yang bersifat oestrogen dependent pada wanita post menopause atau yang telah mengalami oophorektomi (terutama yang telah resisten terhadap tamoxifen) dan juga sebagai terapi paliatif untuk karsinoma prostat stadium lanjut pada laki-laki. Obat ini bekerja dengan cara memblok beberapa tahap hidroksilasi steroid yang dimediasi oleh cytochrome P-450, terutama yang terlibat dalam proses perubahan kolesterol menjadi pregnenolone didalam kelenjar adrenal dan aromatisasi androgen menjadi estrogen (didalam sel-sel lemak, otot dan hati). Aminoglutethimide juga digunakan untuk pengobatan sindrom Cushing. Inhibitor aromatase yang lebih spesifik (tipe I), yaitu formestane (Lentaron, yang diberikan secara i.m. dalam), letrozole (Femara) atau anastrozole (Arimidex) yang diberikan secara oral, juga tersedia untuk pengobatan karsinoma payudara post-menopause stadium lanjut. Ketiga obat ini tidak mempunyai efek terhadap sintesis steroid dari korteks adrenal.

            Efek samping obat-obat ini dapat berupa iritasi ditempat suntik, hot flushes, banyak keringat, vagina yang kering, rambut yang tipis, dan letargi. Inhibitor aromatase tidak diindikasikan untuk digunakan sebagai penekan sintesis estrogen pada pasien-pasien kanker payudara premenopause.

Penggunaan klinis  progestogen

            Beberapa jenis progestogen aktif yang diberikan secara oral antara lain adalah : norethisterone, norgestrel, levonorgestrel, ethynodiol diacetate, medroxyprogesterone dan turunan yang baru : gestodene, desogestrel, norgestimate dan dydrogesterone.

Progestogen terutama digunakan untuk :

  1. Pengendalian perdarahan uterus dan gangguan menstruasi.

            Progestogen dapat mengendalikan nyeri menstruasi (dismenore) atau perdarahan menstruasi yang berlebihan (menoragi) dan sindrom premenstruasi. Juga dapat digunakan dalam pengobatan endometriosis dan untuk penundaan menstruasi.

 

  1. Kontrasepsi oral

            Prinsip penggunaan progestogen adalah dalam bentuk tablet kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestogen (progestogen-only contraceptive pill [POC]) atau mini-pill. Obat ini diberikan setiap hari (dimulai dari hari pertama periode menstruasi dan selanjutnya). POC kurang efektif mencegah kehamilan dibandingkan dengan pil kontrasepsi kombinasi. Efek kontrasepsi utama dari sediaan progestogen ini diduga berupa perubahan-perubahan  didalam endometrium yang tidak memungkinkan terjadinya implantasi serta menyebabkan perubahan lendir leher rahim menjadi kental dan lengket sehingga tidak dapat dilewati oleh sperma. Disamping itu terjadi perubahan umpan balik negatif terhadap pelepasan LH dan ovulasi, sehingga motilitas tuba fallopii menjadi berkurang. Pada beberapa wanita, pemberian POC dapat menekan sekresi gonadotrophin dan ovulasi secara sempurna, sehingga menyebabkan amenore, sedangkan pada wanita lain dapat terjadi siklus menstruasi dan ovulasi yang hampir normal.

  1. Sediaan injeksi depo dan kapsul implan

            Sediaan depo (lepas lambat) dari progestogen dapat pula digunakan untuk kontrasepsi yang lebih lama, terutama pada pasien-pasien yang tidak tolerans terhadap  kontrasepsi oral atau kepatuhannya yang kurang. Dapat diberikan injeksi intramuskular dalam dengan interval setiap 2 atau 3 bulan. Sediaan yang tersedia antara lain : Medroxyprogesterone acetate (Depo-Provera) atau norethisterone enanthate (Noristerate), atau sediaan subdermal berupa implan (susuk) yang ditanamkan pada daerah lengan atas (levonorgestrel= Norplant). Sediaan yang terakhir ini merupakan obat kontrasepsi yang sangat efektif yang dapat memberikan proteksi selama lebih dari 5 tahun, namun harganya mahal. Berbeda dengan sediaan depo, fertilitas dapat kembali terjadi dengan cepat (dalam waktu 48 jam) setelah implannya dilepaskan. Progestogen depo juga dapat digunakan untuk terapi kanker payudara dan endometrium. Suatu bentuk alat kontrasepsi baru berupa IUD (intrauterine device) yang dapat melepaskan levonorgestrel kedalam rongga uterus (20 mg/24 jam selama lebih dari 3 tahun) telah pula diperkenalkan dengan merek dagangnya Mirena. Efek samping yang menyertai penggunaan POC atau sediaan progestogen yang lain relatif ringan, diantaranya adalah : perdarahan menstruasi yang tidak teratur/ spotting terutama pada penggunaan pertama kali, karena adanya stimulasi progestogen terhadap endometrium, sakit kepala, mual, depresi, akne, retensi cairan (BB bertambah), hipertensi, rasa tidak nyaman pada payudara dan kemungkinan terjadinya infertilitas permanen selama beberapa bulan setelah penghentian penngobatan.

POC lebih cocok digunakan daripada pil kombinasi pada wanita-wanita usia yang lebih tua (diatas 35 tahun), perokok berat, yang mempunyai riwayat trombo emboli atau hipertensi atau pada wanita yang tidak diperbolehkan menggunakan estrogen (misal pada diabetes melitus).

Dosis kecil dari progestogen dapat menyebabkan gangguan ringan dari metabolisme lipid dan karbohidrat. Juga dapat menimbulkan kehamilan ektopik, walaupun risikonya tidak terlalu besar. Hal ini terjadi akibat penurunan motilitas tuba Fallopii.

 

Kombinasi Progestogen dengan estrogen terutama digunakan untuk :

  1. Sediaan kombinasi oestrogen/progestogen untuk

    kontrasepsi oral (COC = combined oestrogen/   

    progestogen)

            Kombinasi kontrasepsi oral estrogen/progestogen sintetik dosis rendah sangat efektif, mudah digunakan dan relatif aman. Kandungan estrogen (antara 20-50 μM) dapat menekan ovulasi dengan cara menghambat pelepasan LH/FSH, jadi menyerupai efek umpan balik negatif normal dari estrogen alamiah di tingkat hipofisis dan hipothalamus. Kandungan progestogen mer=nginduksi mukus leher rahim menjadi tebal dan bersifat lebih resisten terhadap penetrasi sperma, endometrium menjadi lebih tipis dan tidak memungkinkan untuk terjadinya implantasi.

Ada 2 sediaan yang saat ini tersedia :

1.a. Tablet kombinasi monofasik

            Mengandung kombinasi estrogen/ progestogen sintetik yang diberikan setiap hari mulai hari pertama atau kelima menstruasi selama 21 hari diikuti dengan interval 7 hari tablet plasebo (dummy), dimana terjadi penghentian mendadak dari progestogen akan menginisiasi perdarahan lucut (secara psikologik menyenangkan beberapa wanita, karena mereka yakin tidak terjadi kehamilan). Perlu diingatkan bahwa tablet hendaklah diminum pada waktu yang sama setiap hari, karena efektivitasnya akan berkurang bila terlambat atau lupa meminumnya.  Efektivitas obat juga dapat berkurang bila diminum bersamaan dengan obat-obat lain yang dapat mempengaruhi metabolisme estrogen/ progestogen (misal : barbiturat, fenitoin, fenilbutazon, rifampisin, griseofulvin) atau antibiotika spektrum luas yang dapat mempengaruhi flora usus (ampisilin dan tetrasiklin).

1.b. Tablet kombinasi bifasik atau trifasik  

            Sediaan ini mengandung kombinasi estrogen/ progestogen dengan dosis yang bervariasi sepanjang siklus menstruasi (sediaan ini lebih cocok untuk beberapa wanita dibandingkan sediaan monofasik). Tablet mulai diberikan pada hari pertama atau hari ke 5 dari periode menstruasi dan harus diminum secara teratur (1 tablet perhari selama 21 hari, dilanjutkan dengan 7 hari tablet plasebo.               Terapi kontrasepsi oral kombinasi ini dapat menimbulkan perdarahan lucut yang teratur, sehingga bermanfaat bagi wanita yang mengalami nyeri hebat pada saat menstruasi atau menstruasi yang tidak teratur. Efek samping ringan dari pil kontrasepsi kombinasi terutama berhubungan dengan kandungan estrogen, antara lain dapat berupa : mual, muntah, penambahan berat badan (karena retensi cairan dan natrium) hipertensi ringan, nyeri payudara, nyeri tungkai, kram, hilangnya libido, depresi, migren, gangguan penglihatan, peningkatan pigmentasi kulit dan gangguan toleransi glukosa. Efek samping yang sangat jarang antara lain dapat terjadi tromboemboli vena (estrogen dapat meningkatkan koagulasi darah), perdarahan otak/ emboli otak/ stroke, infark miokard (terutama pada perokok berat yang berusia diatas 35 tahun), kanker payudara/ leher rahim. Penekanan siklus ovarium oleh obat kontrasepsi oral sebenarnya dapat mengurangi risiko terjadinya kanker ovarium atau endometrium. Pada beberapa pasien penghentian terapi dapat menyebab-kan amenorre, walaupun tidak berlangsung lama (hanya beberapa bulan saja). Pada wanita-wanita yang akan menjalani operasi besar, dianjurkan untuk menghentikan konsumsi obat kontrasepsi oral kombinasi sebelum operasi untuk mengurangi risiko terjadinya tromboemboli.

 

            Saat ini ada 2 estrogen sintetik yang umum digunakan untuk kontrasepsi oral yaitu ethinyloestradiol dan mestranol.  Pada bulan Oktober 1995 komite keamanan obat di Inggeris, mengeluarkan peringatan bahwa penggunaan obat kontra-sepsi oral kombinasi generasi baru yang mengandung progestogen desogestrel atau gestodene dapat meningkat-kan risiko tromboemboli 2 kali lipat dibandingkan formula yang mengandung progestogen levonorgestrel atau norethisterone.

  1. Sediaan kombinasi estrogen/ progestogen untuk

    terapi suli hormonal post menopause

 

            Pada wanita-wanita menopause dengan uterus yang masih utuh, hilangnya paparan dengan estrogen akan mengakibatkan stimulasi endometrium yang berlebihan (terjadi hiperplasia) dan kemungkinan terjadinya kanker endometrium. Oleh karena itu perlu diberikan terapi kombinasi estrogen dan progestogen (progestogen diberikan selama 10 – 14 hari pada setiap siklus pengobatan dengan estrogen).

            Progestogen sintetik seperti levonorgestrel, norethisterone, medroxyprogesterone atau norgestrel lebih sering digunakan dibandingkan progesterone, karena sangat cepat dimetabolisir sehingga lebih efektif (waktu paruhnya sekitar 5 menit). Terapi suli hormonal kombinasi sebaiknya diberikan sesegera mungkin setelah onset menopause, atau pada fase peri-menopause yang memerlukan sediaan hormon pengganti yang bervariasi tergantung dari kebutuhan individu dan toleransinya terhadap obat. Pengobatan biasanya diberikan antara 18 bulan sampai 5 tahun, walaupun beberapa wanita dapat diberikan terapi suli hormonal dengan periode yang lebih lama (10 tahun atau lebih). Kemungkinan peningkatan risiko terjadinya kanker payudara akibat pemakaian jangka panjang  terapi suli hormonal masih simpang siur. Contoh sediaan terapi suli hormonal (untuk wanita dengan uterus yang masih utuh) yang mengandung oestradiol valerate atau conjugated equine oestrogen kombinasi dengan norethisterone, levonorgestrel, dydrogesterone atau medroxyprogesterone dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

 

Tabel 7. Beberapa contoh sediaan terapi suli hormonal untuk wanita-wanita menopause dengan uterus yang masih utuh. Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

Oestrogen

Progestogen

Nama dagang

Tablet (terapi sekuensial)

Oestradiol valerate (1-2 mg)

Oestradiol valerate (2 mg)

Oestradiol valerate (2 mg)

Oestradiol valerate (2 mg)

Conjugated equine oestrogen (0,625 – 1,25 mg)

Oestradiol (2 mg) + Oestriol (1 mg)

 

Tablet (terapi kontinyu)

Oestradiol valerate (2 mg)

 

Conjugated oestrogens (0,625 mg)

 

Transdermal patches

17-b-oestradiol (50 ug/24 jam)

 

17-b-oestradiol (50 ug/24 jam)

 

17-b-oestradiol (80/50 ug/24 jam)

 

 

 

Norethisterone (1 mg)

Levonorgestrel (75 ug)

Norgestrel (500 ug)

Dydrogesterone (10 mg)

Norgestrel (150 ug)

 

Norethisterone (1 mg)

 

 

 

Norethisterone (0,7/1 mg)

Medroxy-progesterone  (5 mg)

 

 

Norethisterone (250 ug/24 jam)

Norethisterone (1 mg)

 

Levonorgestrel (20 ug)

 

 

 

 

Climagest

Nuvelle

Cyclo-Progynova

Femoston 2/10

Prempak-C

 

Trisequens

 

 

 

Climesse

Kliofem

Premique

 

 

 

Estracombi

 

Estrapak (patches dan tablet)

Nuvelle TS (matrix patches)

 

 

 

            Pada terapi sekuensial, tablet biasanya diberikan setiap hari (dari paket blister 28 tablet), mulai dengan 1 tablet yang mengandung estrogen setiap hari sampai hari ke 16, diikuti dengan 1 tablet kombinasi estrogen/ progestogen setiap hari selama 12 hari. Diulangi setiap bulan secara siklik, yang akan disertai dengan terjadinya perdarahan lucut pada akhir setiap siklus. Hal ini kadang-kadang memberi rasa tidak nyaman bagi wanita menopause yang mendapat terapi suli hormonal untuk pertama kali. Transdermal reservoir patches, yang melepaskan 17b-oestradiol (50 μg/24 jam) dan norethisterone (250 μg/24 jam (Estracombi) dapat pula digunakan, ditempelkan pada kulit dibawah lingkaran pinggang dan diganti setiap 3 – 4 hari pada tempat yang berbeda. Oestrogen-only patched diberikan selama 2 minggu, diikuti dengan combined patched selama 2 minggu secara siklik. Tablet yang hanya mengandung progestogen, yaitu Norethisterone (Micronor-HRT) atau dydrogesterone (Duphaston-HRT) dapat diberikan setiap hari bersama dengan sediaan estrogen saja dengan dasar pemberian siklik atau kontinyu, kapan saja diperlukan sebagai pendekatan terapi suli hormonal kombinasi.

Tibolone (Livial) merupakan turunan hormon sintetik yang mempunyai aktivitas estrogenik dan progestogenik (dan sedikit androgenik), yang telah digunakan dalam terapi suli hormonal untuk terapi jangka pendek dari gejala-gejala vasomotor yang terjadi pada menopause, tanpa membutuhkan suplemen tambahan progestogen siklik.   Obat ini dapat mencegah perdarahan lucut yang terjadi pada penggunaan sediaan kombinasi. Obat ini lebih mahal dibanding yang lain dan dapat mengakibatkan efek samping hirsutisme.  Obat ini tidak dianjurkan untuk proteksi jangka panjang terhadap osteoporosis atau untuk pengobatan vaginitis atropik.

Antagonis Progestogen

Mifepristone (Mifegyne;RU486) berkompetisi dengan progesterone untuk berikatan dengan  reseptor proges-teron sitoplasmik dan bekerja sebagai antagonis progestogen. Obat ini dapat diberikan secara oral (diikuti dalam 36 – 48 jam berikutnya dengan pemberian  prostaglantin pessary intra vaginal (Gemeprost), dibawah pengawasan dokter, sebagai obat abortus untuk mengakhiri kehamilan intra uterin sampai hari ke 63 usia gestasi.

Efek samping yang mungkin dapat terjadi adalah berupa perdarahan vagina yang hebat, mual muntah dan abortus inkomplit.

Intrauterine Devices (IUDs)

Alat kontrasepsi jenis IUD telah dipakai dalam program Keluarga Berencana selama beberapa tahun terakhir dan menjadi pilihan bagi wanita-wanita yang memerlukan kontrasepsi yang efektif dan berkesinambungan tapi tidak mau menggunakan sediaan hormonal. Saat ini, semua IUD mengandung kawat tembaga dengan pembawa dari polythene berbentuk huruf T yang ditanamkan kedalam uterus dibawah supervisi medis dan diganti setiap 3 sampai 5 tahun. Mekanisme kerja yang pasti dari IUD dalam mencegah konsepsi masih belum jelas, namun diperkirakan melalui induksi respons inflamasi lokal yang  menyebabkan perubahan aktivitas enzim didalam uterus sehingga mencegah terjadinya implantasi ovum disamping adanya efek spermisidal langsung dari ion-ion Cu. Efek samping yang menyertai penggunaan IUD dapat berupa :

  • perdarahan uterus abnormal diserta rasa nyeri
  • menorrhagia
  • pelvic inflammatory disease (PID)
  • yang sangat jarang : kehamilan ektopik dan perforasi uterus/ leher rahim.
  • lepasnya IUD dari uterus
  • alergi Cu dan serangan epilepsi pada saat pemasangan.

Alat ini harus segera dilepaskan bila terjadi kehamilan yang tak terduga. Beberapa merek dagang IUD yang saat ini tersedia antara lain : Multiload Cu 375, Novagard, Ortho-gyne T/380 Slimline dan Nova-T.

Progestogen-releasing IUD

            Suatu bentuk baru dari alat kontrasepsi IUD yang sekarang tersedia yaitu dengan merek dagang Mirena, terdiri dari suatu bingkai plastik pembawa yang berbentuk T berisi campuran levonorgestrel dan silastic, didisain dapat melepaskan 20 mikrogram hormon per 24 jam kedalam rongga uterus. Setelah terpasang, alat ini efektif dapat mencegah konsepsi selama lebih dari 3 tahun, karena kerjanya berupa supresi endometrium yang poten. Fertilitas dapat kembali terjadi secara cepat setelah alat dilepaskan. Alat ini terutama direkomendasikan bagi wanita-wanita yang mengalami menorrhagia atau yang memerlukan kontrasepsi jangka panjang namun tidak dapat atau tidak mau menggunakan obat kontrasepsi oral. Pelepasan levonorgestrel intrauterus  juga dipertimbangkan sebagai pendekatan alternatif penambahan komponen progestogen pada  regimen terapi suli hormonal. Efek samping IUD jenis ini (terutama selama bulan pertama penggunaan) antara lain : perubahan-perubahan pola menstruasi, sakit kepala, akne dan mual-muntah. Risiko untuk terjadinya infeksi pelvis atau kehamilan ektopik, secara signifikan lebih kecil dibandingkan IUD yang mengandung Cu.

 

Bab 8

Kelenjar Paratiroid, Vitamin D dan metabolisme kalsium.

                Ion kalsium diperlukan untuk pembentukan tulang dan gigi, mempertahankan fungsi normal dari otot polos dan otot rangka, pertumbuhan dan pembelahan sel, koagulasi darah serta aktivitas normal dari enzim-enzim intrasel.        Ion kalsium juga memegang peran penting dalam mempertahankan aktivitas jaringan (bekerja sebagai stabilisator membran) dan terlibat dalam transmisi neuromuskular, sekresi hormone dan dalam mempertahan-kan fungsi normal dari jantung. Konsentrasi total kalsium ekstrasel didalam plasma dipertahankan dalam batas-batas yang sempit yaitu 2,2 sampai 2,67 mmol/l atau 8,4 sampai 10,7 mg/dl. Sebaliknya , kadar Ca2+ didalam sel (sitosol) dipertahankan dalam kadar yang sangat rendah yaitu antara 10 sampai 100 nmol/l melalui pompa aktif Ca+2 dari sitosol dan melalui ambilan kedalam mitokondria dan endoplasmic reticulum.

 

            Kalsium didalam plasma terdistribusi dalam 3 bentuk, yaitu :

  1. Bentuk ion bebas (50%), secara fisiologik dan metabolik merupakan bentuk aktif (Kalsium 1-1,4 mmol/l)
  2. Bentuk yang terikat dengan protein (45%), terutama berikatan dengan albumin dan globulin
  3. Bersenyawa dengan beberapa anion (5%), contoh : bikarbonat, sitrat, fosfat dan sulfat.

            Distribusi ini dipengaruhi oleh pH dari plasma, dimana pada pH plasma yang rendah (asidosis), akan meningkatkan ion kalsium bebas dan sebaliknya. Kalsium didalam diet terutama berasal dari produk-produk makanan seperti susu, keju dan telur. Kadar kalsium didalam tubuh dipengaruhi oleh asupan makanan (sekitar 1 g perhari) dan diatur oleh aktivitas 3 hormon utama yang bekerja pada tulang, ginjal dan saluran cerna, yaitu :

  1. Hormon Paratiroid yang disekresi oleh kelenjar paratiroid
  2. Kalsitonin yang disekresi oleh sel-sel C parafolikular kelenjar tiroid
  3. 1a,25-dihydroxycholecalciferol, suatu metabolit dari vitamin D.

            Kebanyakan (99%) kalsium didalam tubuh disimpan didalam tulang, dimana sebagian kecil dengan cepat mengalami mobilisasi bila diperlukan.  Metabolisme fosfat (dalam bentuk PO4, HPO4 dan H2PO4), berhubungan erat dengan metabolisme kalsium. Fosfat diperlukan untuk sintesis berbagai molekul-molekul penting didalam tubuh, misalnya asam nukleat (DNA, RNA), ATP, cAMP, membrane phospholipid (phosphatidylcholine) dan berbagai komponen penting dari tulang (sebagai kalsium fosfat dan senyawaan garam hidroksiapatit yang mengandung kalsium, fosfat dan air). Kadar fosfat normal didalam plasma pada orang dewasa berada dalam kisaran 0,8 sampai 1,5 mmol/l (2,5 – 4,8 mg/dl).

  1. Struktur dan histologi kelenjar paratiroid.

            Kelenjar paratiroid terdiri dari empat buah kelenjar yang berbentuk oval, masing-masing berukuran sebesar kacang polong, tertanam dibagian posterior dari keempat kutub kelenjar tiroid, didalam kapsul tiroid. Masing-masing kelenjar terdiri dari sel-sel epitel padat dari 2 jenis yang berbeda, yaitu chief cell dan oxyphil cell, dikelilingi oleh selapis jaringan ikat yang tipis. Chief cell berukuran kecil dan lebih banyak jumlahnya, dengan sitoplasma yang jernih mengandung granul2 kecil yang padat. Sel-sel ini mensekresi hormon paratiroid yang mengatur metabolisme kalsium dan fosfat. Oxyphil cells berukuran lebih besar dengan sedikit granul didalam sitoplasmanya dan tidak diketahui fungsi hormonalnya.

  1. Hormon paratiroid

            Hormon paratiroid (parathyroid hormone = PTH) merupakan peptida dengan 84 asam amino yang diturunkan dari prekursor polipeptida yang lebih besar, prepro-PTH dan pro-PTH. Selanjutnya PTH akan dipecah terutama didalam sel-sel hati dan ginjal (waktu paruhnya didalam plasma 2 sampai 5 menit) menjadi fragmen C-terminal yang inaktif. 

B.1. Kendali sekresi hormon

            Tidak seperti hormon-hormon lain, sekresi PTH tidak dikendalikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Sekresinya dari Chief cells kelenjar paratiroid ditentukan oleh kadar ion kalsium (Ca+2) didalam sirkulasi darah. Menurunnya kadar ion kalsium secara langsung akan merangsang sekresi PTH oleh kelenjar paratiroid, dan sebaliknya kadar ion kalsium yang tinggi akan menekan sekresi PTH (umpan balik negatif).

Efek terakhir ini berlawanan dengan efek yang lebih umum dari ion Ca++ intrasel dalam merangsang pelepasan hormon secara selular, dan ini diyakini melibatkan reseptor G-protein dipermukaan sel (CaR1). Ion Mg+2 juga mempunyai efek terhadap sekresi PTH walaupun lebih lemah daripada ion Ca+2. Kadar fosfat didalam plasma tidak mempunyai efek langsung terhadap sekresi PTH oleh kelenjar paratiroid. Metabolit aktif vitamin D yaitu 1,25 (OH)2D3 dapat juga menurunkan produksi PTH oleh kelenjar paratiroid.

B.2. Prinsip kerja hormon paratiroid

            Kerja utama PTH adalah meningkatkan kadar ion kalsium didalam plasma, jadi PTH disebut juga sebagai Calcium ion-raising factor. Kerja ini dicapai dengan cara mempengaruhi tulang dan reabsorpsi ion kalsium oleh tubulus renalis serta meningkatkan absorpsi kalsium diusus halus. Sebaliknya kadar fosfat didalam plasma mengalami penurunan oleh pengaruh PTH.

 

 

 

B.3. Ringkasan kerja utama PTH :

  1. Didalam ginjal

            PTH menyebabkan peningkatan yang cepat dari reabsorpsi Ca+2 (dan Mg+2) didalam tubulus distalis dari filtrasi glomerulus, dan meningkatkan ekskresi fosfat didalam urin (reabsorpsi fosfat via mekanisme Na+/phosphate-cotransport didalam tubulus proksimal dihambat : efek fosfaturik). Konsentrasi Ca+2 plasma meningkat, sementara kadar fosfat plasma menurun. PTH juga memicu pembentukan metabolit aktif Vitamin D1a, 25-dihydroxy-cholecalciferol {1,25-(OH)2D3} didalam sel-sel tubulus ginjal, dimana sebaliknya, memfasilitasi pelepasan ion Ca2+ dari usus halus dan ginjal. Sintesis 1,25-(OH)2D3 dimediasi melalui stimulasi enzim mitokondria dari ginjal yaitu 25-hydroxyvitamin D-1a-hydroxylase.

 

 

 

 

 

Gambar 19. Homeostasis kalsium

Keterangan gambar :

Faktor-faktor hormonal utama yang terlibat dalam kendali kadar kalsium didalam plasma dan efeknya terhadap organ-organ target (tulang, usus halus dan ginjal) : PTH dan vitamin D {sebagai 1,25-(OH)2 vitamin D3} merangsang resorpsi dan reabsorpsi Ca+2 dari cairan tubulus ginjal dan usus halus, sementara calcitonin (CT) menghambat resorpsi tulang dan reabsorpsi ginjal dari Ca+2 dengan sedikit efek terhadap absorpsi Ca+2 didalam usus halus. PTH merangsang absorpsi Ca+2 didalam usus halus secara tidak langsung, melalui stimulasi konversi vitamin D menjadi metabolit aktifnya 1,25-(OH)2 vitamin D3 didalam ginjal.

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam 2005.

 

 

 

 

 

 

  1. Pada tulang

PTH mempunyai 2 efek yaitu :

  1. Merangsang masuknya ion Ca2+ secara cepat dari pool kalsium menembus membran sel osteosit-osteoblas menuju cairan ekstraselular (difasilitasi oleh 1,2 (OH)2D3)
  2. Merangsang sel-sel tulang osteoklas (indirek) melepaskan kalsium (dan fosfat) melalui proses dissolusi atau resorpsi tulang dan meningkatkan jumlah osteoklas yang terlibat dalam proses ini. Sel-sel osteoblas juga dirangsang untuk mensintesis matriks tulang yang baru.
  3. Pada saluran cerna

            PTH merangsang absorpsi Ca+2 dan fosfat secara tidak langsung. Efek ini (yang memerlukan waktu 24 jam atau lebih) dimediasi oleh metabolit vitamin D yaitu 1,25-(OH)2D3.  PTH juga merangsang aktivitas enzim 1a-hydroxylase yang terlibat dalam produksi 1,25-(OH)2D3 didalam ginjal.

 

B.4. Sel-sel tulang yang dipengaruhi oleh PTH.

                Ada 2 jenis sel utama didalam tulang yaitu osteoblas dan osteoklas. Osteoblas merupakan sel-sel yang menyerupai fibroblas (berasal dari sel-sel osteoprogenitor dari sumsum tulang) yang berperan dalam pembentukan tulang baru, melalui cara mensekresi kolagen tipe I dan glikoprotein kedalam ruang ekstraselular untuk membentuk osteoid, yang kemudian mengalami kalsifikasi membentuk matriks organik yang pada awalnya mengandung kalsium fosfat (sebagai CaHPO4.2H2O), dan kemudian mengandung kristal-kristal hidroxyapatite [(Ca10(PO4)6 (OH)2] –> mineralisasi. Osteoblas yang telah dikelilingi oleh mineral-mineral tulang disebut sebagai osteosit. Osteosit mempertahankan kontak sitoplasmanya satu sama lain dan dengan osteoblas aktif via gap junction (membentuk suatu membran tulang). Enzim alkaline phosphatase (diyakini memegang peran penting dalam proses mineralisasi tulang normal), terdapat didalam sel-sel osteoblas dan didalam plasma. Keberadaan enzim ini didalam plasma dapat digunakan sebagai petanda untuk mengetahui aktivitas osteoblas.

Osteoklas, adalah sel-sel besar multinukleus (berasal dari hemopoietik) yang melapisi permukaan dari jaringan tulang, yang mempunyai kemampuan mencerna matriks tulang yang terbentuk sebelumnya untuk melepaskan kalsium dan fosfat kedalam cairan tulang ekstraselular (resorpsi tulang); Absorpsi tulang terjadi dibawah batas yang berkerut dari osteoklas, yang melepaskan enzim-enzim hidrolitik (collagenase dan proteinase) dan proton. Proses resorpsi tulang yang terjadi secara lambat dan berkesinambungan (siklik) yaitu selama 2 sampai 4 minggu akan diikuti deposisi dan mineralisasi matriks yang baru (pembentukan tulang yang terjadi selama 3 sampai 7 bulan). Jadi massa tulang total dipertahankan secara konstan. Proses ini dikenal dengan remodeling tulang yang berperan penting untuk mempertahankan kekuatan tulang yang normal, memperbaiki mikrofraktur yang terjadi selama pemakaian normal dan untuk mempertahankan homeostasis kalsium. Bagian permukaan tulang tempat terjadinya remodeling disebut dengan basic multicellular units (BMUs). Hanya sel-sel osteoblas yang secara langsung memberikan respons terhadap PTH, sedangkan efek PTH terhadap resorpsi osteoklas secara tidak langsung dimedia melalui pelepasan sitokin-sitokin (terutama interleukin-1 dan 6 [IL-1, IL-6] dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor [GM-CSF]) yang bertanggung terhadap aktivasi dan diferensiasi osteoklas dari sel-sel prekursornya. Baru-baru ini telah diisolasi dari matriks tulang, suatu kelompok glikoprotein dengan berat molekul rendah, yaitu bone morphogenic proteins (BMPs 2-8), yang termasuk superfamili protein regulator transforming growth factor-b (TGF-b).  BMP-7 (juga dikenal dengan osteogenic protein-1 [OP-1]), disintesis didalam ginjal. Molekul-molekul ini merangsang diferensiasi osteoblas dan sel-sel kolagen (kondrosit) dari sel-sel punca mesokimal dan dapat berperan penting dalam pembentukan kartilago dan tulang selama perkembangan embrio. Implan lokal yang mengandung recombinant human BMP7 (hBMP7) dimasa datang diharapkan dapat digunakan untuk mengobati kerusakan tulang yang berat dan untuk memperbaiki gigi yang rusak.

B.5. Mekanisme kerja

            Efek PTH terhadap aktivitas sel tubulus ginjal dan tulang dimediasi terutama melalui stimulasi reseptor-reseptor membran plasma spesifik yang berpasangan melalui suatu G-protein dengan adenylate cyclase dan peningkatan kadar cAMP intraselular serta Ca+2 sitosolik. Meningkatnya ekskresi cAMP didalam urin terjadi sebagai respons langsung terhadap PTH. Aktivasi jalur second messenger lain (melibatkan metabolisme phospho-inositide, dengan produksi inositol triphosphate [IP3] dan diasilgliserol [DAG]) juga dapat dilibatkan dalam mekanisme kerja PTH. Parathyroid hormone-related protein (PTHrP), disekresi oleh berbagai jaringan normal dan jaringan keganasan, dapat pula berinteraksi dengan reseptor membran yang sama seperti PTH didalam tulang dan ginjal, dan diyakini bertanggung jawab terhadap keadaan hiperkalsemia humoral pada keganasan.

 

 

Gambar 20. Remodeling tulang melalui aktivitas sel-sel osteoblas dan osteoklas. Osteoklas berperan dalam penghancuran tulang dan demineralisiasi (resorpsi) tulang yang matang, sementara osteoblas berperan dalam pembentuka tulang baru dan mineralisasi tulang.

Sumber : Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam  2005.

 

            Parathyroid hormone (PTH) dan 1,25-(OH)2 vitamin D3 merangsang resorpsi tulang osteoklastik secara tidak langsung melalui fasilitasi pelepasan sitokin osteoblastik (IL-6; GM-CSF), sementara kalsitonin mempunyai efek inhibisi langsung terhadap aktivitas osteoklas.

            Efek inhibisi dari estrogen terhadap resorpsi tulang secara tidak langsung dimediasi melalui inhibisi pelepasan sitokin osteoblastik (IL-6).

B.6. Kelainan-kelainan klinis :

  • Hiperparatiroid

                Hiperparatiroid primer terjadi secara perlahan, dimana angka kejadiannya 2 sampai 3 kali lebih sering pada wanita dewasa daripada laki-laki. Sekresi PTH yang berlebihan akan menyebabkan hiperkalsemia dan fosfaturia (kehilangan fosfat yang banyak melalui urin) yang menyebabkan penurunan kadar fosfat didalam plasma (hipofosfatemia). Dapat pula terjadi peningkatan kadar cAMP didalam urin. Kelainan ini dapat disebabkan karena tumor tunggal dari chief cell (adenoma), pembesaran satu atau keempat kelenjar paratiroid (hiperplasia) atau karena karsinoma paratiroid (jarang). Hiperparatiroid dapat disertai dengan sindrom endokrin herediter, yaitu Multiple Endocrine Neoplasia  tipe (MEN-1), yang dikenal juga dengan Multiple Endocrine Adenomatosis (MEA), yang melibatkan banyak kelenjar endokrin (pankreas, hipofisis, adrenal atau tiroid).  Overaktivitas dan hiperplasia dari keempat kelenjar paratiroid (yang tidak disertai dengan hiperkalsemia) dapat juga terjadi sekunder sebagai respons kompensasi terhadap hipokalsemia yang lama akibat malabsorpsi atau defisiensi kalsium/ vitamin D atau akibat gagal ginjal kronik. Kadar PTH tetap meningkat sampai penyebab hipokalsemianya dapat dikoreksi. Hiperparatiroid ringan dapat menimbulkan tanda-tanda klinis yang ringan pula, namun peningkatan kadar PTH yang kronis dapat menimbulkan gejala-gejala langsung akibat peningkatan kadar kalsium didalam darah.

Gejala-gejala klinis hiperparatiroid antara lain :

  1. Kelelahan, kelemahan umum, depresi, letargi, pusing, haus, anoreksia, mual, muntah dan dehidrasi (karena diuresis yang berlebihan), kelainan psikiatrik (depresi, paranoia) dan aritmia jantung (interval QT memendek). Anemia dan hipertensi dapat terjadi pada beberapa kasus.
  2. Batu ginjal dapat terjadi akibat endapan kalsium fosfat (oksalat) yang tidak larut, karena meningkatnya ekskresi ion kalsium urin dan fosfat. Keadaan ini dapat menyebabkan kolik renal dan hematuria, bahkan sampai terjadi gagal ginjal. Dapat pula terjadi batu empedu.
  3. Keluhan saluran cerna : nyeri abdomen, konstipasi, dispepsia, ulkus peptikum dan duodenum.
  4. Lesi tulang akibat resorpsi kalsium dari tulang. Pada kasus yang berat dapat terjadi osteitis fibrosa (kista tulang) yang disertai dengan nyeri tulang dan meningkatnya kejadian patah tulang.

Pengobatan

            Dilakukan pengangkatan jaringan paratiroid yang overaktif secara hati-hati (paratiroidektomi subtotal), walaupun beberapa tumor kadang-kadang sangat sulit ditentukan lokasinya (ektopik). Karsinoma paratiroid dapat pula diobati dengan eksisi lokal, namun dapat terjadi gejala-gejala terjadi hipoparatiroid permanen (dengan hipokalsemia). Hiperkalsemia berat (krisis hiperkalsemia) dapat dikoreksi dengan pemberian cairan rehidrasi intravena (larutan garam fisiologik) bersama-sama dengan loop diuretic (misalnya furosemid) untuk meningkatkan ekskresi Ca2 didalam urin; sebagai terapi tambahan dapat diberikan  Salmon Calcitonin (Salcatonin; Calsynar) (injeksi subkutan atau intramuskular) atau mungkin diperlukan infus intravena disodium pamidronat (Aredia) secara perlahan untuk menghambat resorpsi tulang. Pengobatan dengan  inhibitor selektif terhadap kerja PTH saat ini sedang dikembangkan sebagai pendekatan terapi baru terhadap hiperparatiroid akut.

  1. Hipoparatiroid

Kurangnya PTH akan menyebabkan hipokalsemia dan peningkatan kadar fosfat didalam darah  (hiperfosfatemia) akibat peningkatan reabsorpsi fosfat didalam  tubulus ginjal. Penyebab paling umum adalah kerusakan kelenjar paratiroid secara insidentil pada operasi kelenjar tiroid (strumektomi).  Suatu bentuk yang jarang dari hipoparatiroid primer (idiopatik) juga dapat terjadi akibat proses otoimun, dimana biasanya bersamaan dengan gangguan otoimun kelenjar endokrin spesifik lainnya (misal insufisiensi  adrenal, hipotiroid, dan diabetes melitus tipe 1). Pada keadaan ini dapat pula ditemukan antibodi serum spesifik terhadap kelenjar paratiroid. Ada suatu kelainan herediter yang disebut  pseudohyperpara-thyroidism, dimana fungsi sekresi kelenjar paratiroid  normal, namun jaringan target utama (tulang dan ginjal) tidak sensitif terhadap kerja dari PTH (‘end-organ’ resistance). Keadaan ini berkaitan dengan kekurangan struktur subunitα dari kompleks stimulasi Gs-protein yang berperan dalam transduksi reseptor PTH dijaringan target. Pada keadaan ini kadar kalsium plasma mengalami penurunan ringan sampai berat, dan pasien mempunyai  karakteristik wajah yang bulat, tubuh yang gemuk pendek, dan mengalami keterbelakangan mental.

Kadar kalsium plasma yang terus-menerus rendah akan mengakibatkan :

  1. Hipereksitabilitas saraf dan jaringan neuromuskular, ditandai dengan rasa kesemutan (parestesia) pada muka atau jari-jari, kram dan kejang otot (terutama di tangan dan kaki) yang dapat menyebabkan tetani hipokalsemik dan bahkan kejang dan Pada rekaman jantung dapat ditemukan Interval QT yang memanjang.
  2. Tanda Chvostek yaitu otot-otot muka berkedut saat dilakukan ketukan ringan pada daerah saraf muka tersebut, dan tanda Trousseau berupa  kejang tetanik yang khas pada pergelangan tangan dan jari-jari pada saat dilakukan over-inflasi manset sphygmomanometer yang ditempatkan pada lengan atas selama lebih dari tiga menit .
  3. Kelainan gigi, kulit kering bersisik, rambut kering, kuku rapuh dan katarak juga dapat terjadi pada kasus-kasus hipokalsemi

Pengobatan

Tergantung dari berat ringannya hipokalsemia, diperlukan suplementasi vitamin D dalam bentuk tablet kalsiferol (vitamin D2) atau larutan oral dari derivat vitamin, dihydrotacysterol (AT 10) untuk meningkatkan absorpsi dan pemanfaatan kalsium. Pengobatan harus diikuti dengan pengukuran kalsium urin dan serum yang teratur untuk mencegah agar tidak terjadi overtreatment dan hiperkalsemia.

 

Penyesuaian dosis yang hati-hati harus dilakukan untuk mempertahankan kadar kalsium darah yang normal. Dalam kasus akut tetani hipokalsemik, peningkatan kadar kalsium darah yang lebih cepat dapat dicapai dengan cara infus lambat larutan kalsium glukonat 10%. PTH sendiri tidak tersedia untuk terapi substitusi.

  1. Kalsitonin

Kalsitonin adalah hormon peptida terdiri dari 32 rantai tunggal asam amino, yang disekresi oleh sel-sel C parafolikular dari kelenjar tiroid. Hormon ini diturunkan dari peptida prekursor yang lebih besar yaitu pre-prokalsitonin dan prokalsitonin, disimpan didalam vesikel-vesikel sekresi sel-sel parafolikular untuk kemudian dilepaskan melalui proses eksositosis.

C.1. Kendali sekresi

            Faktor utama yang terlibat dalam regulasi pelepasan kalsitonin dari sel-sel C kelenjar tiroid adalah kadar ion kalsium bebas didalam darah. Peningkatan kadar ion kalsium akan merangsang pelepasan kalsitonin dan sebaliknya. Pelepasan kalsitonin juga dirangsang oleh hormon gastrin dari saluran cerna, yang merupakan mekanisme umpan balik penting dalam mencegah terjadinya hiperkalsemia setelah makan.

Waktu paruh dari kalsitonin relatif pendek (sekitar 2 sampai 15 menit) karena cepat mengalami degradasi didalam plasma dan ginjal.

C.2. Prinsip kerja :

Tidak seperti PTH, kalsitonin merupakan faktor penurun kadar ion kalsium, menurunkan kadar kalsium dan fosfat didalam plasma melalui cara :

  1. Menurunkan masuknya ion kalsium menembus membran tulang osteosit-osteoblas dan juga menghambat resorpsi tulang melalui penekanan langsung terhadap aktivitas sel tulang osteoklas dan penurunan pembentukan osteoklas baru dari prekursor sumsum tulang. Efek kalsitonin lebih besar bila laju resorspsi tulang tinggi.
  2. Hambatan reabsorpsi tubulus ginjal terhadap kalsium dan fosfat (dari ansa Henle dan tubulus distal). Kalsitonin tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap aliran ion kalsium.

Walaupun efek ini berlawanan dengan PTH (antagonis fisiologik), kalsitonin terlalu  penting dibandingkan PTH dan vitamin D dalam proses regulasi normal dari homeostasis kalsium pada manusia. Kalsitonin mempengaruhi jaringan target (sel-sel osteoklas) melalui interaksi dengan reseptor-reseptor membran sel spesifik yang berhubungan dengan produksi cAMP intrasel. Area dari tubulus ginjal yang merespons efek kalsitonin berbeda dengan area yang  merespons efek PTH.

C.3. Kelainan-kelainan klinis

            Kelainan-kelainan klinis yang melibatkan hipo/ hipersekresi kalsitonin sangatlah jarang. Sekresi kalsitonin yang berlebihan (bersamaan dengan beberapa bentuk molekul dimerik dan polimerik) dapat terjadi akibat karsinoma tiroid medulare (yang berasal dari sel-sel C parafolikular tiroid) atau akibat tumor ektopik (seperti tumor paru atau payudara). Pada kasus-kasus ini, tidak ditemukan gangguan keseimbangan yang signifikan dari kadar kalsium dan fosfat didalam plasma, namun kelebihan kalsitonin dapat dipakai sebagai petanda tumor

C.4. Manfaat terapetik

Ada 2 manfaat terapetik dari kalsitonin, yaitu pada pengobatan Penyakit Paget dan status hiperkalsemik berat :

  1. Penyakit Paget adalah penyakit kronik yang tidak diketahui penyebabnya (diduga virus) yang mengenai 0,5% populasi masyarakat (terutama laki-laki) umur diatasa 40 tahun. Penyakit ini ditandai dengan turnover tulang yang tinggi akibat resorpsi tulang osteoklastik yang berlebihan diikuti dengan meningkatnya aktivitas osteoblas sebagai usaha untuk memperbaiki kerusakan tulang. Tulang-tulang yang terkena (biasanya tulang tengkorak, tulang belakang, pelvis dan tulang-tulang panjang) mengalami deformasi dan menunjukkan gambaran densitas abnormal pada pemeriksaan rontgen. Walaupun terjadi peningkatan pertukaran tulang (bone turnover), pada awalnya tidak bergejala, kadar kalsium dan fofat plasma masih normal, walaupun terjadi peningkatan kadar alkaline phosphatase. Gambaran klinis meliputi Nyeri tulang dan sendi, fraktur, deformitas tulang terutama mengenai tungkai bawah, pembesaran tulang tengkorak yang dapat menyebabkan kompresi syaraf pendengaran dan penglihatan (menyebabkan tuli dan kebutaan). Porcine calcitonin (dari paratiroid babi: Calcitare) atau salcatonin (kalsitonin sintetik dari ikan salmon: Miacalcic; Calsynar) dapat diberikan setiap hari secara subkutan atau intramuskular selama 3 sampai 6 bulan untuk mengurangi resorpsi tulang, memperbaiki abnormalitas tulang dan menyembuhkan nyeri tulang serta komplikasi neurologik yang menyertai penyakit ini. Efek samping yang mungkin terjadi dapat berupa mual-mual dan kemerahan pada muka. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan terbentuknya antibodi terhadap kalsitonin (salcatonin kurang bersifat imunogenik). Obat-obat lain yaitu : 1. biphosphonates, analog dari pyrophosphate, suatu inhibitor alamiah dari mineralisasi tulang) juga dapat diberikan untuk pengobatan penyakit Paget pada tulang. Senyawaan ini dapat mengurangi resorpsi tulang osteokaltik melalui dua mekanisme, yaitu menyerap secara kuat kristal-kristal hidroksiapatit tulang (terutama dilokasi remodeling tulang) dan memperlambat laju pembentukan dan penghancurannya, serta secara tidak langsung menghambat aktivitas sel-sel osteoklas melalui penurunan produksi faktor-faktor stimulasi osteoklas oleh osteoblas. Disodium etidronate (Didronel) tablet, dapat diberikan setiap hari selama 3 sampai 6 bulan. Efek samping dapat berupa mual, diare dan sensasi rasa logam dilidah yang bersifat sementara. Disodium etidronate oral (Didronel PMO), bergantian dengan suplementasi kalsium karbonat, diberikan secara siklik intermiten (2 minggu etidronate, 76 hari kalsium setiap 3 bulan, diberikan sampai 3 tahun) atau salcatonin subkutan [harganya mahal] setiap hari, bersamaan dengan diet kalsium dan suplementasi vitamin D selama 2 sampai 3 tahun), terbukti efektif dalam meningkatkan kandungan mineral tulang dan mencegah kehilangan tulang yang berlebihan. Pendekatan terapi ini bermanfaat bagi pasien-pasien yang tidak dapat atau tidak mau mendapatkan terapi pengganti hormonal. Biphosphonate sodium alendronate oral (Fosamax) dapat diberikan secara terus menerus (bersamaan dengan suplementasi kalsium), tanpa ada pembatasan lamanya pengobatan. Sediaan intranasal salcatonin telah tersedia di Amerika Serikat (Miacalcin) dan dibeberapa negara Eropa, tapi belum tersedia di Inggeris.

 

  1. Status hiperkalsemi berat.

Porcine calcitonin atau salcatonin (subkutan atau intramuskular) dapat digunakan untuk menghasilkan penurunan cepat (dalam 24 jam) konsentrasi kalsium plasma pada beberapa pasien dengan hiperkalsemia (terutama akibat keganasan). Pada kasus-kasus yang berat, dapat diberikan infus salcatonin intravena. Namun penggunaan calcitonin atau salcatonin jangka panjang selama beberapa bulan dapat menyebabkan resistensi klinis karena down regulasi dari reseptor kalsitonin terhadap jaringan target dan menyebabkan terbentuknya antibodi yang menetralisir kerja obat tersebut. Pemberian infus secara lambat  dari biphosphonate seperti disodium pamidronate (Aredia) atau sodium clodronate (Loron; Bonefos) saat ini sudah digunakan secara luas dalam mengontrol hiperkalsemia pada keganasan.

  1. Vitamin D

            Vitamin  ini termasuk dalam kelompok sterol yang larut dalam lemak, dengan struktur molekul menyerupai steroid, berperan dalam metabolisme kalsium dan fosfat. Walaupun secara tradisional sebagai suatu vitamin (bahan nutrisi esensial), vitamin D lebih tepat diklasifikasikan sebagai suatu hormon, karena dapat diproduksi secara endogen dalam jumlah kecil didalam satu organ dan didistribusikan melalui aliran darah untuk mempengaruhi aktivitas sel-sel ditempat yang jauh. Vitamin D dibentuk dari bahan-bahan makanan atau disintesis didalam jaringan kulit setelah mendapat pajanan sinar matahari berupa provitamin D yang secara biologik bersifat inaktif. Selanjutnya mengalami transformasi didalam hati dan ginjal menjadi bentuk aktif yaitu 1a,25-dihydroxycholecalciferol (1,25-(OH)2D3) sebelum dilepaskan kedalam aliran darah untuk mempengaruhi berbagai jaringan target, terutama usus halus, tulang dan ginjal. Jaringan target yang lain meliputi otak, sumsum tulang, sel-sel limfosit, medulla spinalis, endokrin pankreas dan sel-sel endokrin yang lain, keratinosit, payudara, organ-organ reproduksi laki-laki dan wanita. Namun peranan fisiologik dari vitamin D pada jaringan-jaringan diatas masih belum diketahui secara jelas. 1,25-(OH)2D3 diketahui merupakan stimulator diferensiasi dan inhibitor proliferasi sel yang kuat sehingga berperan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tertentu, terutama sel-sel imun dan keratinosit.

Vitamin D tersedia dalam 2 bentuk :

  1. Vitamin D2 (calciferol; ergocalciferol), vitamin D yang berasal dari tumbuhan, diproduksi melalui iradiasi sinar ultraviolet dari matahari terhadap sterol tumbuhan (ergosterol).
  2. Vitamin D3 (cholecalciferol), merupakan vitamin D alamiah yang disintesis didalam kulit manusia dan mammalia tingkat tinggi dari prekursor inaktif 7-dehydrocholesterol (provitamin D3) melalui efek sinar ultraviolet dari matahari (panjang gelombang 300 sampai 320 nm). Untuk menjadi aktif, pertama kali dihidrolisir didalam hati menjadi 25-hydroxycholecalciferol {25-(OH)D3}, kemudian menjadi bentuk aktif 1a,25-dihydroxychole-calciferol {1,25-(OH)2D3; calcitriol} didalam tubulus proksimal ginjal dibawah pengaruh hormon parathyroid. Beberapa produksi 1,25-(OH)2D3 dari 25-(OH)D3 juga terjadi didalam kulit. 1,25-(OH)2D3 juga dikenal dengan soltriol atau the “heliogenic steroid hormone”. Hormon ini dapat mengatur produksinya sendiri melalui hambatan aktivitas enzim 25-hydroxyvitamin D-1a-hydroxylase didalam ginjal dan menginduksi aktivitas enzim 24-hydroxylase ginjal untuk menghasilkan metabolitnya 24,25-(OH)2D3 yang kurang aktif. Deplesi fosfat juga akan merangsang aktivitas 1-a-hydroxylase, menyebabkan peningkatan produksi 1,25-(OH02D3.      1,25-(OH)2D3 diangkut didalam darah terutama dalam bentuk terikat dengan vitamin D-binding a-globulin spesifik, yaitu transcalciferin (yang dapat juga mengikat vitamin D3 dan 25-(OH)D3), disekresi terutama oleh hati, sebagaimana hormon-hormon steroid lain. Hanya bentuk bebas yang tidak terikat, yaitu free unbound 1,25-(OH)2D3 secara biologik bersifat aktif dimana waktu paruhnya antara 3 sampai 6 jam. Kebutuhan harian vitamin D untuk mempertahankan homeostasis kalsium pada orang dewasa sangat kecil yaitu sekitar 10 μg perhari. Vitamin D2 (calciferol) berbeda dengan vitamin D3 dalam hal adanya tambahan ikatan ganda antara posisi rantai samping C22 – 23 dan gugus metil yang melekat pada C24. Pada manusia, setelah diabsorpsi oleh usus halus (bergabung dengan kilomikron),  calciferol dimetabolisir melalui jalur yang sama menghasilkan 1a,25-dihydroxycalciferol {1,25-(OH)2D2}, yang ekivalen dalam aktivitas biologiknya dengan 1,25-(OH)2D3.

D.1. Kerja Utama vitamin D

            Kerja utama 1,25-(OH)2D3 merangsang absorpsi aktif kalsium dari usus halus dan dari tulang serta ginjal dengan kerja sekunder berupa peningkatan absorpsi fosfat.  Sama seperti hormon-hormon steroid, kerja dari 1,25-(OH)2D3 pada jaringan targetnya dimediasi oleh reseptor vitamin D sitosolik yang spesifik (VDR = Vitamine D Receptor) yang kemudian berinteraksi dengan DNA didalam inti sel untuk mengaktivasi gen-gen spesifik didalam usus halus dan ginjal. Interaksi ini akan menyebabkan peningkatan sintesis Calcium Binding Proteins [CaBP(9K) dan CaBP(28K) yang juga disebut dengan Calbindins] serta peningkatan ekspresi transporter pompa protein (Ca-Mg-ATPase) yang terlibat dalam proses absorpsi kalsium.     VDR merupakan bentuk primitif dari protein reseptor hormon tiroid (Thyroid Receptor) yang diduga terbentuk dari gen primordial yang sama. Sebagai akibatnya, efek 1,25-(OH)2D3 dapat menunjukkan adanya keterlambatan 1 sampai 3 hari sebelum terjadi peningkatan kadar kalsium plasma. Hal ini mungkin berhubungan dengan variasi molekular dalam struktur VDR. 1,25-(OH)2D3  juga mempunyai efek stimulasi langsung terhadap transpor Ca2+ yang dimediasi melalui mekanisme non genomik.           Kerja 1,25-(OH)2D3 terhadap resorpsi tulang osteoklas terjadi secara tidak langsung yang dimediasi melalui pelepasan faktor-faktor parakrin dari sel-sel osteoblas yang terstimulasi; (hanya osteoblas yang mempunyai VDR intraselular). 1,25-(OH)2D3 juga menginduksi peningkatan sintesis protein tulang spesifik yang dilepaskan oleh osteoblas, yaitu osteokalsin, yang disimpan didalam matriks tulang dan berperan dalam aktivasi dan rekrutmen osteoklas. Kadar osteokalsin plasma (dan alkaline phosphatase) dapat digunakan sebagai petanda klinis metabolik dari aktivitas tulang osteoblas.

 

D.2. Kelainan klinis

  1. 1. Defisiensi vitamin D

            Defisiensi vitamin D yang terjadi pada anak-anak akan menyebabkan riketsia sedangkan  pada orang dewasa akan menyebabkan osteomalasia. Kedua keadaan ini masih sering terjadi dinegara-negara tropik dan subtropik yang ditandai dengan kalsifikasi matriks tulang yang tidak adekuat sehingga menimbulkan perlunakan dari tulang-tulang rangka. Pada anak-anak, ujung-ujung tulang yang dalam masa pertumbuhan mengalami pembengkakan, tulang menjadi bengkok dan berubah bentuk, memberikan gambaran khas kaki bengkok (bowed legs). Pada orang dewasa, gejala klinis utama adalah berupa nyeri tulang, fraktur tulang sebagian dan kelemahan otot (yang dapat meningkatkan risiko jatuh). Penurunan kemampuan alamiah kulit untuk mensintesis vitamin D3 terjadi seiring dengan pertambahan usia. Defisiensi vitamin D dapat terjadi karena adanya abnormalitas metabolik (seperti adanya gangguan genetik dari aktivitas enzim 1a-hydroxylase (vitamin D-dependent rickets type 1 [VDDR 1]), malabsorpsi lemak di usus halus, penyakit hati kronik, insufisiensi pajanan sinar matahari atau asupan vitamin D yang kurang didalam diet. Sumber utama vitamin D antara lain : ikan, hati, telur, minyak ikan dan susu sapi, sereal dan mentega. Pengobatan terhadap defisiensi vitamin D yang ringan mencakup pemberian dosis rendah vit D (10 μg perhari ; 400 unit [1 unit = 25 ng vitamin D2 atau D3] untuk meningkatkan absorpsi kalsium bersamaan dengan suplementasi kalsium.

Sediaan suplemen vitamin D yang saat ini tersedia antara lain :

  1. a. Tablet Chocovite (Ca glukonat + 1,25 mg vitamin D2).
  2. b. Tablet Calcichew D3 (Ca karbonat dengan 5 mg vitamin D3) atau Kalsium + ergocalciferol (vitamin D2) tablet (Ca laktat dan fosfat + 10 mg vitamin D2).
  3. c. Kalsiferol (ergocalciferol vitamin D2) atau cholecalciferol (vitamin D3) (250 ug tablet, atau dengan injeksi intramuskular dalam larutan minyak sayur); [1.25 mg tablet juga tersedia untuk pengobatan hipoparatiroidisme yang mungkin memerlukan dosis hingga 2,5 mg setiap hari].

 

Pemberian obat-obat antikonvulsan tertentu (seperti fenitoin atau fenobarbiton) dalam jangka panjang yang menginduksi enzim mikrosomal hepatik, dapat meningkatkan laju bersihan metabolit vitamin D dari tubuh dan karena itu dapat menimbulkan gejala-gejala defisiensi vitamin D. Pada kasus-kasus malabsorpsi usus atau penyakit hati, dosis tinggi vitamin D (lebih dari 1 mg per hari) diperlukan dalam bentuk sediaan dengan kekuatan yang lebih tinggi. Pengobatan riketsia berat atau osteomalasia memerlukan dosis awal vitamin D yang besar, diberikan secara intramuskular, diikuti suplementasi oral secara reguler. Pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang tidak dapat menghidroksilasi vitamin D menjadi bentuknya yang aktif, dapat diterapi dengan derivat aktif yang lebih baru yaitu alfacalcidiol (1a-hydroxycholecalciferol : One-Alpha; AlfaD) atau calcitriol (1α, 25-dihidroksikolekalsiferol: Calcijex; Rocaltrol) diberikan dalam bentuk kapsul, larutan oral atau dengan injeksi intravena lambat. Analog ini memiliki onset lebih cepat dan durasi yang lebih singkat dari tindakan dari vitamin D2 atau D3.

 

Calcitriol juga dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan kelainan metabolik  Vitamin D-dependent rickets type 1 (VDDR 1). Semua pasien yang mendapatkan  dosis tinggi vitamin D, memerlukan pemantauan rutin kadar Ca2+ plasma dan urin  (terutama di tahap awal pengobatan) untuk memantau terjadinya hiperkalsemia dan kemungkinan intoksikasi  vitamin D. Suplementasi  vitamin D sebaiknya  tidak diberikan pada wanita selama menyusui, karena kelebihan vitamin D yang disekresi ke dalam ASI dapat menimbulkan terjadinya  hiperkalsemia pada bayi.

  1. Vitamin D-dependent rickets type 2 (VDDR 2)

            Penyakit ini merupakan kelainan yang bersifat herediter, disebabkan karena defek pada gen yang mengkode reseptor 1,25- (OH) 2D3.  Pada keadaan ini, pasien mengalami rakhitis yang resisten terhadap dosis fisiologis vitamin D dan metabolitnya, walaupun menunjukkan kadar 1,25 (OH) 2D3 didalam plasma yang tinggi. Jadi untuk pengobatan keadaan ini diperlukan dosis vitamin D atau metabolitnya yang lebih tinggi.

 

  1. Hipervitaminosis D ( kelebihan vitamin D)

            Hipervitaminosis D biasanya terjadi akibat pengobatan dengan vitamin D yang berlebihan. Gejala-gejala awal hiperkalsemi dapat berupa kelelahan, hilangnya nafsu makan dan mual muntah. Hiperkalsemia dapat juga terjadi secara spontan pada beberapa pasien dengan sarkoidosis, dimana akan terjadi peningkatan sintesis vitamin D3 pada kulit setelah mengalami pajanan sinar matahari.  Sarkoidosis adalah suatu penyakit kronik sistemik yang penyebabnya tidak diketahui, ditandai dengan timbulnya granuloma yang menginfiltrasi kulit dan organ-organ tubuh lain seperti paru, kelenjar limpe, hati dan limpa.          Granuloma-granuloma ini terdiri dari akumulasi sel-sel epiteloid, monosit dan makrofag, yang diinduksi oleh iritan-iritan toksik atau antigen-antigen lain yang tidak diketahui. Keadaan ini dapat muncul sebagai suatu inflamasi terlokalisir pada kulit (erythema nodosum), tapi dapat pula mempengaruhi bagian-bagian tubuh yang lain (muka, tangan dan mata). Sarkoidosis kulit ditandai dengan adanya hipersensitivitas terhadap vitamin D dan terjadinya gejala-gejala hiperkalsemi pada beberapa pasien setelah pajanan yang lama dengan sinar matahari atau akibat konsumsi berlebihan produk-produk yang mengandung vitamin D. Meningkatnya metabolisme vitamin D diduga terjadi didalam makrofag-makrofag sarkoid dan sel-sel limfoid disertai dengan terbentuknya folikel-folikel granulomatosa. Keadaan ini memberi respon baik dengan terapi kortikosteroid sistemik atau lokal dan dapat sembuh spontan setelah beberapa tahun.

  1. Diferensiasi Keratinosit

            Selain berperan penting dalam mensintesis vitamin D3, keratinosit kulit juga mampu menghasilkan 1,25 (OH) 2D3 dari 25-(OH)D3 didalam sirkulasi, yang pada gilirannya berperan lokal (bersama-sama dengan ion Ca2+) untuk mengatur diferensiasi keratinosit. Analog vitamin D sintetik,  calcipotriol dan tacalcitol merangsang diferensiasi dan menghambat proliferasi keratinosit, serta telah terbukti bermanfaat (sebagai alternatif untuk terapi kortikosteroid) dalam pengobatan topikal psoriasis (krim Dovonex; salep Curatoderm). Pemantauan berkala dari kadar kalsium plasma tidak diperlukan selama penggunaan, karena  calcipotriol hanya memiliki aktivitas kalsemik yang lemah. Analog vitamin D baru yang bersifat aktif secara sistemik dan tidak mempunyai aktivitas kalsemik, diharapkan dapat digunakan sebagai antitumor yang baru dalam pengobatan kanker.

  1. Hormon lain yang Mempengaruhi Homeostasis Kalsium
  2. Steroid gonad

            Estrogen sudah diketahui memiliki peran yang baik dalam mempertahankan  massa tulang pada wanita, yaitu dengan cara mencegah resorpsi tulang. Setelah menopause ketika kadar  estrogen menurun, akan terjadi ketidak-seimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang sehingga dapat menyebabkan osteoporosis (terjadi dekalsifikasi tulang dan penurunan kepadatan tulang).       Pada beberapa wanita dapat menyebabkan kerapuhan tulang dan berpotensi patah tulang pinggul dan kompresi tulang belakang. Pada pria, testosteron memiliki peran yang sama dalam mencegah terjadinya osteoporosis. Kekurangan Estrogen juga meningkatkan sensitivitas tulang terhadap PTH, namun mekanismenya tidak diketahui dengan jelas.

Estrogen memiliki efek menghambat aktivitas sel osteoklas, namun reseptornya (yang juga berikatan dengan androgen) terutama lebih banyak ditemukan pada sel-sel  osteoblas. Efek protektif utama estrogen diduga terjadi secara tidak langsung, melalui hambatan pelepasan faktor-faktor spesifik dari osteoblas yang mengaktifkan osteoklas (misalnya IL-6 dan granulocyte-macrophage-colony stimulating factor [GM-CSF]) dan juga dari monosit (interleukin-1 [IL-1], tumour necrosis factor-a [TNF-α] dan GM- CSF). Osteoblas juga memberikan respons terhadap estrogen dengan cara meningkatkan produksi faktor parakrin yaitu transforming growth factor beta (TGF-β) yang mempunyai efek hambatan terhadap aktivitas osteoklas.

  1. Glukokortikoid

            Glukokortikoid yang diberikan dengan dosis tinggi (dosis farmakologik) atau yang secara kronik berlebihan pada pasien-pasien dengan sindrom Cushing akan mempengaruhi metabolisme tulang dan perpindahan kalsium, menimbulkan keadaan yang disebut “osteoporosis imbas glukokortikoid”. Mekanisme pasti terjadinya kehilangan massa tulang ini sampai sekarang belum diketahui dengan jelas. Kadar glukokortikoid yang tinggi akan menghambat pembentukan tulang osteoblas dan merangsang resorpsi tulang osteoklas yang mengakibatkan gangguan siklus remodeling tulang. Reseptor-reseptor glukokortikoid yang mempunyai afinitasnya tinggi ditemukan pada sel-sel osteoblas, tapi tidak ditemukan pada sel-sel osteoklas. Jadi hal ini menunjukkan bahwa efek glukokortikoid terhadap resorpsi tulang terjadi secara tidak langsung. Produksi protein osteokalsin yang diinduksi vitamin D oleh osteoblas juga ditekan melalui kerja ditingkat reseptor 1,25-(OH)2D3. Faktor lain yang berkontribusi terhadap efek glukokortikoid adalah penurunan absorpsi Ca+2 dari usus halus (melalui mekanisme yang tidak tergantung dengan vitamin D) dan meningkatnya ekskresi Ca+2 melalui urin (menurunnya reabsorpsi Ca+2 didalam ginjal), yang menyebabkan penurunan kadar kalsium plasma.

  1. Growth Hormone

            Growth hormone (GH) penting untuk merangsang pertumbuhan tulang-tulang panjang. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengobatan jangka panjang pada individu usia lanjut dengan biosynthetic human growth hormone (hGH) yang dibuat menggunakan teknologi DNA recombinant, menunjukkan bahwa hGH efektif menghambat kehilangan mineral tulang yang berhubungan dengan proses menua. Keamanan dan efektivitas hGH yang diberikan jangka panjang masih dievaluasi karena pemberian terapi jangka panjang biayanya sangat mahal. Pengobatan dengan fGH juga mempunyai manfaat penting lainnya pada usia lanjut, yaitu memperbaiki kekuatan otot dan mengurangi timbunan lemak (adipositas)

  1. Osteoporosis

Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu kelompok kelainan metabolisme tulang yang ditandai dengan penurunan massa tulang (osteopenia). Jaringan tulang (terutama trabekula) akan menjadi tipis dan keropos, akibat tidak adanya kompensasi terhadap kehilangan mineral dan matriks tulang.

Sejalan dengan progresivitas penurunan massa tulang, akan terjadi kerusakan mikro arsitektur jaringan tulang yang mengalami osteoporosis sehingga akan memudahkan terjadinya patah tulang. Prevalensi osteoporosis meningkat dengan pertambahan usia baik pada laki-laki maupun wanita, walaupun wanita akan lebih mudah terjadi osteoporosis setelah menopause. Laki-laki juga akan dapat mengalami kondisi ini walaupun secara umum angka kejadiannya lebih rendah  karena massa tulang pada laki-laki lebih besar dan adanya efek anabolik protektif dari androgen. Osteoporosis primer secara klinis dapat diklasifikasikan kedalam 2 tipe utama, yaitu postmenopause (defisiensi estrogen; tipe I) dan age-related (senile; tipe II). Osteoporosis tipe I dapat terjadi pada wanita usia antara 55 sampai 75 tahun, yang terjadi akibat hilangnya estrogen dari ovarium, sementara tipe II dapat terjadi baik pada laki-laki maupun wanita usia antara 70 sampai 75 tahun, terjadi akibat gangguan efisiensi progresif dari proses remodeling tulang dan menurunnya pembentukan 1,25-(OH)2D3 di ginjal dan gangguan absorpsi Ca+2 diusus halus yang berhubungan dengan proses menua.

Peningkatan massa tulang terutama terjadi selama masa adolesens, yang mencapai puncaknya pada awal usia dewasa (sekitar 30 tahun), kemudian akan terus mengalami penurunan. Pembangunan arsitektur tulang sangat tergantung kepada kecukupan asupan kalsium didalam diet, kadar estrogen/ androgen didalam sirkulasi darah dan aktivitas fisik serta faktor-faktor genetik. Pada usia tua, kepadatan tulang ditentukan oleh puncak massa tulang yang dicapai pada awal usia dewasa dan jumlah kehilangan massa tulang berikutnya; setelah usia 55 sampai 60 tahun, baik pada laki-laki maupun wanita laju kehilangan massa tulang diperkirakan sebanyak 1% pertahun. Kehilangan massa tulang juga dapat mengalami peningkatan karena adanya kelainan-kelainan endokrin, pemakaian glukokortikoid jangka panjang atau immobilisasi yang lama. Setelah menopause, laju kehilangan tulang pada wanita akan semakin cepat karena terhentinya produksi estrogen (diperkirakan sebanyak 15% massa tulang akan berkurang dalam waktu 5 sampai 10 tahun). Pada laki-laki, karena tidak terjadi menopause sebagaimana pada wanita, maka risiko untuk terjadinya patah tulang lebih rendah.

Pada osteoporosis, sebagaimana pada hipertensi, terdapat periode laten yang panjang sebelum timbul gejala-gejala dan tanda-tanda klinis, dimana terkadang pasien belum menunjukkan gejala awal. Namun pada beberapa pasien dapat ditemukan gejala-gejala awal sebagai berikut :

  1. Nyeri tulang karena fraktur (dapat terjadi spontan atau akibat trauma ringan) atau nyeri punggung yang berat karena fraktur kompresi tulang belakang (columna vertebralis).
  2. Tinggi badan yang berkurang dan timbulnya kiposis dorsalis (lengkung tulang belakang bertambah; dowager’s hump). Kedua keadaan ini merupakan tanda-tanda klasik dari osteoporosis yang jelas.
  3. Fraktur. Karena osteoporosis meningkatkan fragilitas dari arsitektur tulang rangka, fraktur dapat terjadi dimana saja, namun lokasi yang cenderung mengalami fraktur adalah pangkal paha (collum femoris), vertebrae, tulang iga, distal radius (Colles’ fracture), dan humerus. Tingginya risiko jatuh dengan pertambahan usia merupakan faktor kontribusi penting dalam peningkatan angka kejadian fraktur. Patah tulang merupakan permasalahan kesehatan masyarakat pada kelompok usia lanjut di negara-negara barat, yang menyebabkan peningkatan angka kematian prematur. Angka kejadian fraktur di Inggeris diperkirakan sebanyak 150.000 pertahun, yang membebani biaya pelayanan kesehatan akibat fraktur osteoporotik sebesar 742 juta pound sterling.

F.1. Faktor risiko

Beberapa faktor risiko yang dikenal saat ini adalah antara lain :

  • Jenis kelamin wanita
  • Badan kurus (< 58 kg)
  • Ras Kaukasian
  • Warna rambut pirang
  • riwayat keluarga faktur paha, lengan atau tulang belakang
  • perokok
  • alkoholisme (mengurangi aktivitas osteoblas)
  • asupan kafein yang berlebihan
  • imobilitas lama
  • defisiensi hormon gonad
  • kelainan endokrin seperti : sindrom Cushing, hiperparatiroid, hipertiroid, dan hiperprolactinemia + hipogonadisme.

Atlit wanita dan penari balet yang menderita amenore sekunder serta wanita dengan anorexia nervosa yang kronik juga dapat mengalami kehilangan massa tulang yang lebih cepat. Osteoporosis juga dapat terjadi pada keadaan defisiensi vitamin C atau D atau akibat abnormalitas dari gen reseptor vitamin D, renal tubular acidosis, gagal ginjal kronik, sirosis hati atau pada inflammatory bowel disease, rheumatoid arthritis, dan kelainan genetik tertentu seperti osteogenesis imperfecta (brittle bone syndrome) dan homosistinuria (suatu kelainan bawaan dari metabolisme asam amino).

F.2. Pengukuran Densitas tulang

Pengukuran kuantitatif non invasif dari massa tulang merupakan indikator yang bernilai terhadap kekuatan tulang dan risiko fraktur pada pasien-pasien osteoporosis dan juga bermanfaat untuk mengevaluasi kemajuan terapi. Bone Mineral Density (Kepadatan mineral tulang) saat ini dapat diukur secara tepat pada lokasi-lokasi tulang  yang cenderung  mengalami fraktur osteoporotik, yaitu tulang lumbal (L2 – L4) atau leher tulang paha (collum femoris) dengan menggunakan alat radiasi intensitas rendah yaitu dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA). Cara lain yang sekarang digunakan adalah dengan Single or Dual-photon absorptiometry (SPA,DPA) atau Quantitative Computerized Tomography (QCT). Secara umum, risiko patah tulang akan meningkat bila BMD menurun. Osteoporosis ditegakkan bila BMD melebihi 2.5 SD dibawah angka rata-rata yang diharapkan untuk kelompok usia dewasa muda sehat (20 sampai 40 tahun) dari jenis kelamin yang sama  [nilai BMD ≤ 1 dibawah nilai rata-rata untuk usia dewasa muda dinyatakan normal.].

F.3. Patofisiologi

            Osteoporosis adalah suatu kelainan yang ditandai dengan penurunan massa tulang dan kerusakan struktural jaringan tulang, sehingga meningkatkan risiko untuk terjadinya patah tulang. Secara epidemiologi, hampir 8 juta wanita dan 2 juta laki2 di Amerika Serikat menderita osteoporosis dan satu dari dua wanita kulit putih akan mengalami fraktur osteoporotik selama hidupnya. Osteoporosis juga dapat terjadi pada laki2 usia lanjut. WHO mendefinisikan osteoporosis berdasarkan kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD) tulang spinal atau tulang paha ≤ 2.5 Standar Deviasi dibawah angka rata-rata dibandingkan wanita muda yang sehat (T score ≤ – 2,5) dari hasil pengukuran dengan DEXA (dual energy x-ray absorptiometry). Sedangkan osteopenia didefinisikan bila BMD dari tulang spinal atau tulang paha antara 1- 2,5 SD dibawah angka rata-rata.

Tabel 8. Klasifikasi T score menurut WHO

Sumber : Altern Med Rev 2007;12(2):113-145.

 

 

 

 

 

 

 

Berdasarkan penyebabnya, osteoporosis dibagi menjadi 2 golongan :

  1. Osteoporosis primer :
    1. Osteoporosis post menopause (Type I)
    2. Age-associated osteoporosis (Type II)
    3. Osteoporosis idiopatik, pada wanita2 premenopause, usia pertengahan dan laki-laki usia muda.
  2. Osteoporosis sekunder, terjadi akibat berbagai penyakit kronik, pemakaian obat-obatan atau defisiensi zat-zat nutrisi tertentu.

Faktor risiko osteoporosis :

Faktor risiko terjadinya osteoporosis dapat dibagi menjadi :

  1. Yang tidak dapat dimodifikasi :
  2. Ras Caucasian
  3. Pertambahan usia
  4. Jenis kelamin
  5. Menopause prematur (< 45 tahun)
  6. Periode menstruasi yang panjang

 

  1. Yang dapat dimodifikasi :
    1. Kebiasaan merokok
    2. Alkoholisme
    3. Inaktivitas fisik
    4. Berat badan rendah
    5. Kesehatan umum yang kurang
    6. Imobilisasi yang lama

 

Keadaan2/ penyakit2 yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis :

  1. Anoreksia nervosa
  2. Malabsorpsi
  3. Hiperparatiroidisme
  4. Hipertiroidisme
  5. Post-transplantasi
  6. Penyakit ginjal kronik
  7. Penyakit hati kronik
  8. Sindrom Cushing
  9. Bukti radiografi –> osteopenia/ deformitas vertebra
  10. Riwayat patah tulang yang tidak disebabkan oleh trauma berat
  11. Keganasan
  12. Penurunan tinggi badan yang signifikans –> kyphosis.

 

Kesehatan tulang dipertahankan melalui keseimbangan proses remodeling tulang, dimana terjadi pergantian secara berkesinambungan dari komponen2 tulang lama dengan yang  baru. Hal ini terjadi melalui proses yang melibatkan resorpsi tulang oleh osteoclast dan pembentukan massa tulang baru oleh osteoblast. Gagalnya pencapaian puncak massa tulang atau ketidakseimbangan proses remodeling dapat menimbulkan fragilitas tulang sehingga mudah terjadi patah tulang. 

Walaupun estrogen merupakan hormon seks utama yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tulang, namun regulator utama dari remodeling tulang yang saat ini diketahui adalah sistem RANK/RANKL/OPG yang merupakan sistem osteoimunologik yang menentukan keberhasilan atau kegagalan homeostasis tulang. Sel-sel yang berperan dalam meresorpsi tulang yaitu osteoclast dan sel-sel sistem imun, keduanya berasal dari sel-sel hematopoietik didalam sumsum tulang. Osteoclast tumbuh dari prekursor2 sel makrofag setelah distimulasi oleh macrophage colony-stimulating factor (M-CSF) dan receptor for activated nuclear factor kappa B ligand (RANKL). Sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblast berasal dari sel punca mesenkimal yaitu fibroblast colony-stimulating factor (F-CSF). Selama proses remodeling tulang normal, sel-sel stroma sumsum tulang dan osteoblast memproduksi RANKL yang berikatan dengan reseptor RANK transmembran pada prekursor osteoclast dan merangsang differensiasi dan aktivasi osteoclast.  Proses ini terjadi melalui faktor transkripsi, nuclear factor kappa B (NFkB), yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap aktivasi osteoclastogenesis, melainkan juga dalam  respons inflamasi. Differensiasi osteoclast dan proses inflamasi terjadi melalui regulasi interleukin-6 (IL-6). Peran utama sitokin dalam proses remodeling tulang ditunjukkan oleh fakta bahwa reseptor untuk sitokin pro inflamasi IL-1, IL-6 dan TNF-a ditemukan baik pada sel-sel prekursor osteoclast maupun osteoclast yang matang. Estrogen memiliki efek regulasi inti melalui hambatan terhadap aktivasi IL-6 dari NFkB selama proses remodeling tulang. Osteoblast juga memproduksi osteoprotegerin (OPG) yang memblok RANKL dan mempertahankan kendali proses remodeling. OPG sangat vital dalam memfasilitasi sistem RANK/RANKL/OPG. Menurunnya kadar estrogen dan aktivasi imun yang kronik atau berulang akibat proses yang terjadi secara sistemik atau dari saluran cerna dapat menyebabkan penurunan kemampuan alamiah tubuh untuk menghambat produksi RANKL. Akibatnya akan terjadi peningkatan aktivitas osteoclast. Aktivitas osteoclast diinduksi oleh sitokin-sitokin pro inflamasi dan sel T yang teraktivasi oleh RANKL, yang diduga dimodulasi oleh aksi interferon gamma (IFN-g) pada TNF receptor-associated factor 6 (TRAF-6). TRAF-6 adalah protein adaptor RANK yang memediasi aktivasi NFkB. Kemampuan modulasi IFN g terhadap RANKL dipengaruhi oleh vitamin D dan estrogen. Proses menua tidak hanya menyebabkan penurunan produksi hormon seks tetapi juga meningkatkan kadar sitokin2 pro inflamasi dan menurunkan fungsi sistem imun. Secara in vivo, radikal2 bebas terbukti meningkatkan resorpsi tulang sedangkan stres oksidatif menurunkan kepadatan massa tulang pada manusia. Bila terjadi defisiensi estrogen, kadar RANKL akan meningkat, sehingga kemampuan alamiah tubuh untuk membatasi faktor transkripsi TRAF-6 dan NFkB menurun, yang akan mengakibatkan  IFN-g memiliki efek pro-osteoclastogenik, yang akan meningkatkan resorpsi tulang. Dalam keadaan normal estrogen membantu mempertahankan massa tulang melalui peningkatan produksi TGF-® oleh makrofag dan hambatan aktivasi sel T CD4+. Menurunnya kadar estrogen menyebabkan peningkatan antigen presenting cell (APC) dan penurunan TGF® serta sel T regulator (Tregs). Keadaan ini akan menyebabkan aktivasi sel T dan produksi sitokin proinflamasi serta RANKL yang akan menstimulasi osteoclastogenesis. RANKL tidak hanya mengatur fungsi osteoclast, melainkan juga sel-sel dentritik (professional antigen presenting cell). Pada inflamasi kronik, RANKL mempromosi daya tahan hidup sel dendritik dan ekspresi sitokin pro inflamasi.  Toleransi oral yang merupakan respons imunologik terhadap antigen usus, dipertahankan oleh adanya mikroorganisme komensal dan dinding usus yang utuh. Integritas sel epitel dipertahankan oleh adanya organisme yang menguntungkan seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria yang tidak mengeluarkan respons inflamasi. Bila flora usus normal dipertahankan, maka toleransi mandiri (self tolerance) imunologik melalui aktivasi sel T regulator (T regs) memungkinkan dominasi aktivasi sel T helper 2 (Th2) non inflamasi untuk merespons  mikroba usus. Pertumbuhan bakteri2 patogen dan jamur dapat menyebabkan inflamasi dan meningkatkan permeabilitas usus, sehingga akan menurunkan toleransi oral.  Penjelasan tradisional osteo-endokrin tentang homeostasis tulang, tidak dapat menerangkan peran penting sistem imun dalam proses remodeling dan peranan toleransi oral dalam mempertahankan kesehatan tulang. Saat ini telah diketahui bahwa beban antigen sistemik dari bakteri atau virus yang tinggi dan atau hilangnya toleransi oral akibat pertumbuhan mikroba patogen yang berlebihan mempunyai andil besar dalam patofisiologi penurunan massa tulang. Jaringan limfoid usus secara fisiologik merupakan penyekat imunologik (immunological barrier) terhadap berbagai penyakit. Bila keutuhan penyekat ini terganggu akibat hiperpermeabilitas endotel karena alergi makanan atau pertumbuhan bakteri patogen, maka penyerapan makanan akan berkurang. Akibatnya akan terjadi penurunan toleransi oral yang akan memicu terbentuknya stressor imunologik gastrointestinal yang berpengaruh pada proses remodeling tulang. Pada saat usus mengalami invasi bakteri2 patogen, professional APC, melalui aktivasi Toll-like receptors dan C-type lectin receptors, tidak dapat menekan aktivasi imun dan melepaskan sitokin proinflamasi yang akan mengaktivasi sel T helper dan menurunkan T regulator. Stres antigenik ini akan menyebabkan dominasi Thelper 1,  peningkatan RANKL dan penurunan IFN-g, sehingga akan terjadi gangguan remodeling tulang. Toll-like receptors merupakan reseptor transmembran yang ditemukan pada makrofag, sel-sel dendritik dan beberapa sel epitel yang memainkan peranan integral dalam mempertahankan toleransi oral. Reseptor ini akan mengenali pola molekuler bakteri dan mengeluarkan respons inflamasi yang bersifat destruktif terhadap bakteri patogen dan respons tolerogenik terhadap bakteri2 komensal.  Menurunnya toleransi oral mungkin terjadi bersamaan dengan involusi kelenjar thymus (diikuti dengan penurunan sel T naïf) dan penurunan massa tulang pada manusia, yang mulai terjadi pada pertengahan usia 30 tahun.  Walaupun kepadatan massa tulang tidak selalu menurun secara bermakna setelah menopause, namun percepatan kehilangan massa tulang dapat terjadi pada usia yang lebih muda.  Menurunnya jumlah sel-sel T naïf akibat inflamasi sistemik kronik atau kelebihan antigen dari usus halus akan menyebabkan ekspansi sel T oligoklonal dan penurunan aktivitas sel T helper. Penurunan aktivitas sel T helper ini akan mengurangi kemampuannya memproduksi IFN-g , dimana hal ini merupakan salah satu tanda proses menua dari sistem imun.  Dengan terjadinya involusi kelenjar thymus, saluran cerna merupakan sumber dari hampir 75% sel-sel imun tubuh. Pada saat seseorang mengalami proses menua, beban antigen mengalami peningkatan dan toleransi oral mengalami penurunan, sehingga menurunkan kadar IL-2 (yang diperlukan untuk proliferasi sel T dan differensiasinya menjadi sel-sel efektor) dan IFN-g yang pada akhirnya meningkatkan ekspresi RANKL didalam sumsum tulang.

F.4. Diagnosis :

Osteoporosis dapat didiagnosis secara klinis, radiologik dan laboratorik. Secara klinis, adanya osteopenia dapat dicurigai pada pasien-pasien yang mengalami patah tulang akibat terjatuh pada saat berdiri (low impact fracture) atau patah tulang spontan (fragility fracture). Secara radiologik, ada beberapa modalitas pemeriksaan yang dapat menegakkan diagnosis osteoporosis, antara lain :

  1. Foto Rontgen tulang, dapat mendeteksi osteoporosis bila telah terjadi kehilangan massa tulang mencapai 30% yang terlihat dengan menurunnya radiodensitas.
  2. Radiographic absorptiometry :
  • Single photon absorptiometry (SPA)
  • Dual photon absorptiometry (DPA)
  1. Dual Energy x-ray absorptiometry (DEXA)
  2. Quantitative computed tomography (QCT)
  3. Ultrasound Densitometry

 

Secara laboratorik, ada beberapa petanda biokimiawi (biochemical markers) yang dapat digunakan untuk mengetahui proses turnover tulang, yaitu antara lain :

 

  1. Petanda untuk formasi tulang :
  • Bone specific alkaline phosphatase (BSAP)
  • Osteocalcin (OC)
  • Carboxy-terminal propeptide of type I collagen (PICP)
  • Amino terminal propeptide of type I collagen (PINP)

 

  1. Petanda resorpsi tulang :
  • Hydroxyproline dalam urin
  • C-telopeptide of collagen cross-links (CTx) dalam urin
  • Cross-linked C-telopeptide of type I collagen (ICTP) dalam serum
  • Tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP) serum

 

F.5. Pencegahan dan pengobatan

            Pencegahan osteoporosis merupakan pendekatan yang paling efektif, karena hilangnya massa tulang pada osteoporosis sulit untuk dipulihkan.  Sampai saat ini belum ada obat yang dapat memulihkan kembali arsitektur tulang seperti keadaan normal setelah mengalami osteoporosis.  Asupan kalsium yang cukup dalam diet atau suplementasi kalsium oral dalam bentuk tablet (atau formula effervescent) yang mengandung Ca glukonat, laktat atau garam karbonat (Calcit; Calcichew; Sandocal) sangat diperlukan pada masa perimenopause. Wanita dalam masa reproduksi dianjurkan mengkonsumsi 1 gram kalsium perhari, sedangkan  wanita hamil atau menyusui atau setelah postmenopause, membutuhkan sekitar 1,5 gram perhari. Latihan fisik kapasitas sedang secara teratur (terutama jalan kaki) dan menghindari kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan golongan steroid, terutama selama masa remaja dan dewasa muda dapat membantu mempertahankan keutuhan massa tulang. Pada wanita post menopause, estrogen pengganti sebagai bagian dari terapi suli hormonal, merupakan cara paling efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang yang cepat dan mengurangi risiko patah tulang baik tulang belakang maupun tulang paha. Terapi suli hormonal sebaiknya dimulai dalam 5 tahun pertama setelah menopause dan dilanjutkan selama 5 sampai 10 tahun. Manfaat terapi pengganti androgen jangka panjang (menggunakan transdermal testosterone patches : Andropatch; [Testoderm; Androderm] pada laki-laki hipogonad dengan osteoporosis masih belum jelas. Pendekatan farmakologik lain meliputi obat-obat antiresorptif  seperti salcatonin (diberikan secara injeksi subkutan atau intramuskular setiap hari atau semprot intranasal [Miacalcin] bersamaan dengan suplementasi kalsium oral dan vitamin D) atau bifosfonat oral yang diberikan secara intermiten (disodium etidronate ; Didronel PMO) atau secara berkesinambungan (sodium alendronate; Fosamax) bersamaan dengan suplementasi kalsium. Peningkatan BMD spinal yang dicapai dengan bifosfonat disertai dengan penurunan angka kejadian fraktur tulang belakang sebesar 50%, hampir sama dengan pemberian terapi suli hormonal. Untuk pasien-pasien usia lanjut diatas 75 tahun, penggunaan obat-obat anti resorptif tidak bermanfaat. Vitamin D dosis sedang (20 μg ) yang diberikan bersamaan dengan suplementasi kalsium merupakan pendekatan paling efektif untuk mengurangi risiko patah tulang pada pasien-pasien usia lanjut. Penggunaan sodium flouride (yang diberikan bersamaan dengan kalsium) oral dalam bentuk lepas lambat untuk merangsang pembentukan tulang pada osteoporosis post menopause dan menurunkan risiko fraktur tulang vertebra masih kontroversi. Bentuk lain dari terapi “anabolik” yang baru saat ini masih dievaluasi,  yaitu dengan pemberian injeksi subkutan harian fragmen 1-34 asam amino dari hormon paratiroid manusia [hPTH(1-34); teriparatide] yang dalam dosis rendah dapat merangsang pembentukan tulang osteoblas tanpa mempengaruhi kadar ion Ca2++ didalam darah. Juga sedang dikembangkan formulasi oral atau intranasal dari fragmen-fragmen PTH yang dapat diberikan untuk pengobatan osteoporosis.

Raloxifene hydrochloride adalah suatu ligan reseptor estrogen non steroid yang bersifat tissue specific, merupakan pilihan yang efektif dalam pengobatan osteoporosis pada wanita post menopause. Obat ini juga bermanfaat dalam mencegah terjadinya kanker payudara dan endometrium. Obat ini mengandung senyawa benzothiopene yang bekerja sebagai agonis estrogen selektif terhadap tulang, namun bersifat antagonis estrogen pada jaringan lain, sehingga tidak mempunyai efek hiperplastik pada endometrium dan tidak meningkatkan risiko terjadinya kanker endometrium.

 

Bab 9

Metabolisme lipoprotein

 

  1. Pendahuluan

Penyakit kardiovaskular dapat terjadi akibat pengaruh berbagai faktor risiko antara lain hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes melitus dan obesitas, namun dari beberapa penelitian klinis dan epidemiologi menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling dominan adalah dislipidemia. Pemahaman tentang peranan dislipidemia dalam patofisiologi aterosklerosis semakin meningkat sejak 30 tahun terakhir, dimana dari penelitian di 7 negara Eropa didapatkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular  lebih tinggi di negara-negara yang kadar kolesterol dan LDL kolesterol penduduknya tinggi. Gangguan metabolisme lipoprotein, terutama peningkatan kadar LDL kolesterol dan menurunnya kadar HDL kolesterol berperan penting dalam patogenesis terjadinya aterosklerosis koroner yang kemudian akan menyebabkan infark miokard akut dengan segala akibatnya.

 

 

Studi-studi  klinis  seperti PROVE-IT (the Pravastatin or Atorvastatin Evaluation and Infection Therapy), TNT (Treating to New Targets) dan IDEAL (Incremental Decrease in Clinical End-point Through Aggressive Lipid Lowering) trials telah melakukan pengujian hipotesis “ the lower,  the better “ dan membuktikan bahwa pemberian terapi statin yang lebih agresif dengan pencapaian target kadar LDL kolesterol yang lebih rendah, disertai dengan perbaikan luaran klinis.

Selain menurunkan kadar LDL kolesterol (lipid lowering effect), statin juga memiliki pleiotropic effect, yaitu efek lain yang menguntungkan seperti anti inflamasi, efek imunomodulasi dan perbaikan disfungsi endotel. Penelitian terbaru dari Kairo Mesir, membuktikan bahwa pemberian atorvastatin 10 mg pada pasien-pasien DM tipe 2 dengan kadar kolesterol normal dan tanpa disertai penyakit jantung koroner, dapat memperbaiki disfungsi endotel.

  1. Lipid dan Lipoprotein

                Lipid adalah senyawaan kimiawi yang bersifat tidak larut didalam air, dimana didalam tubuh terdapat 3 jenis

 

yaitu kolesterol, trigliserida dan fosfolipid. Kolesterol merupakan lipid yang penting untuk pertumbuhan dan keutuhan sel. Kolesterol dapat diperoleh dari diet atau disintesis oleh sel secara de novo. Absorpsi trigliserida berlangsung secara sempurna sedangkan absorpsi kolesterol berkisar antara 30-50%. Sintesis endogen dari kolesterol didalam hati dikendalikan oleh enzim mikrosomal yaitu 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA (HMG-CoA) reductase. Lipid ditranspor didalam plasma sebagai komponen dari kompleks lipoprotein. Lipoprotein merupakan partikel-partikel kompleks yang dibentuk dari ratusan molekul2 lipid dan protein. Protein yang dikandungnya disebut apolipoprotein yang mengisi permukaan dari molekul lipoprotein.  Apolipoprotein memungkinkan lipid dapat larut dalam lingkungan air dan memainkan peran penting dalam regulasi transpor lipid dan metabolisme lipoprotein.

 

 

 

 

Lipoprotein diklasifikasi berdasarkan densitasnya, sebagai berikut :

Tabel 9 : Klasifikasi Lipoprotein

Sumber : Lipid Metabolism and Health. Boca Raton:Informa;2006:pp 31-45.

 

 

VLDL- Very Low Density Lipoproteins; IDL-Intermediate Density Lipoproteins;

LDL-Low Density Lipoproteins; HDL-High Density Lipoproteins; TG-Triglyceride; Chol-free and esterified cholesterol; PL-Phospholipid Note – The remaining composition is made up of apoproteins.

  1. Kilomikron —> Berperan dalam transpor trigliserida dari usus halus melalui pembuluh limfe menuju plasma.
  2. Very Low Density Lipoprotein (VLDL) —> Secara endogen mengangkut kolesterol dan trigliserida yang disintesis oleh sel.
  3. Low Density Lipoprotein (LDL) —> Merupakan alat transpor utama bagi kolesterol dan diambil oleh reseptor2 LDL pada sel-sel hati dan sel-sel perifer, jadi berperan dalam melepaskan komponen kolesterol untuk memenuhi kebutuhan sel.
  4. High Density Lipoprotein (HDL) —> berperan dalam memediasi transpor balik kolesterol dari jaringan perifer menuju hati.

Peningkatan kadar lipoprotein, kecuali HDL, merupakan dasar dari patofisiologi  dislipidemia.

III. Pembentukan dan Transpor Lipid

Terdapat 3 jalur utama yang berperan dalam pembentukan dan transpor lipid didalam tubuh, antara lain : jalur eksogen, jalur endogen dan jalur transpor balik kolesterol (reverse cholesterol transport).

  1. Jalur Eksogen

            Setelah lemak dalam makanan mengalami pencernaan dan absorpsi, TG dan kolesterol akan dipaket dalam bentuk kilomikron didalam sel-sel epitel usus halus. Kilomikron selanjutnya akan dialirkan melalui sistem limfe usus halus. Didalam darah, kilomikron  yang beredar akan masuk kedalam kapiler2 dari jaringan adiposa  dan sel-sel otot, melepaskan TG kedalam jaringan adiposa untuk disimpan sebagai cadangan bagi kebutuhan energi tubuh. 

Enzim lipoprotein lipase (LPL) menghidrolisis TG dan melepaskan asam lemak bebas. Beberapa komponen kilomikron akan mengalami “repackaged” kedalam lipoprotein lain. 

  1. Jalur Endogen :

            Jalur endogen melibatkan sintesis lipoprotein didalam hati. TG dan kolesterol ester dihasilkan oleh hati dan dipaket kedalam partikel2 VLDL untuk kemudian dilepaskan kedalam sirkulasi. VLDL kemudian diproses oleh Lipoprotein Lipase (LPL) didalam jaringan untuk melepaskan asam lemak dan gliserol. Setelah diproses oleh LPL, VLDL kemudian menjadi VLDL remnant. Kebanyakan dari VLDL remnant diambil oleh hati via reseptor LDL, dan partikel2 remnant yang tersisa akan menjadi Intermediate Density Lipoprotein (IDL), lipoprotein yang lebih kecil dan lebih padat daripada VLDL. Beberapa partikel  IDL akan mengalami reabsorpsi oleh hati (melalui kerja reseptor LDL). 

 

  1. Reverse Cholesterol Transport :

            Reverse cholesterol transport adalah proses dimana kolesterol dipindahkan dari jaringan dan kembali ke hati. High Density Lipoprotein (HDL) adalah lipoprotein kunci yang terlibat dalam transpor balik kolesterol dan transfer ester kolesterol diantara lipoprotein.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 21 : Sintesis, Metabolisme dan Transpor Lipid

Sumber : Lipid Metabolism and Health. Boca Raton:Informa;2006:pp 31-45.

 

 

 

  1. Patofisiologi Dislipidemia dan Aterosklerosis

            Pemahaman tentang peranan dislipidemia dalam patogenesis aterosklerosis mulai berkembang sejak 30 tahun terakhir. Dari hasil penelitian “7 Countries Study”  terbukti bahwa kematian akibat penyakit kardiovaskular sangat tinggi dinegara-negara yang kebanyakan penduduknya memiliki  kadar kolesterol dan LDL kolesterol yang sangat tinggi. Berdasarkan kenyataan ini, dimana kolesterol dan LDL kolesterol sebagai faktor penyebab utama aterosklerosis, mendorong berbagai penelitian klinis untuk membuktikan manfaat penurunan kadar kolesterol dan LDL kolesterol dalam menurunkan angka kejadian penyakit kardiovaskular. Aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi kronik didalam dinding pembuluh darah yang ditandai dengan meningkatnya aktivasi makrofag dan limfosit T, proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos, produksi matriks ekstraseluler dan neovaskularisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Peter Libby, disfungsi endotel memegang peran utama dalam patofisiologi aterosklerosis. Disfungsi endotel akan menimbulkan rangkaian kejadian yang akan menyebabkan terbentuknya plak yang diikuti dengan inflamasi, trombosis, gangguan tonus pembuluh darah dan interaksi biokimiawi yang kompleks.  Pembesaran plak akan menyebabkan shear stress, ruptur plak, adhesi platelet dan trombosis.  Makrofag akan mengalami aktivasi didalam pembuluh darah dan akan menangkap LDL kolesterol  untuk membentuk sel-sel busa (foam cells). Makrofag juga mensekresi metalloproteinase yang dapat memperlemah jaringan ikat plak, sehingga dapat menyebabkan instabilitas plak.

Makrofag juga mensekresi PDGF (Platelet Derived Growth Factor), yang akan merangsang mitogenesis dan neovaskularisasi.  Makrofag juga merangsang pembentukan sitokin-sitokin yang merangsang proliferasi sel-sel otot polos dan limfosit sehingga meningkatkan proses inflamasi. Dengan terbentuknya plak dan disfungsi endotel, akan terjadi penurunan produksi NO (Nitric Oxide) , EDRF (Endothelial Derived Relaxation Factor)  dan peningkatan aktivasi platelet sehingga meningkatkan agregasi platelet dan vasokonstriksi. Platelet juga mensekresi PDGF (Platelet Derived Growth Factor),  yang merupakan mitogen yang kuat. Proses ini selanjutnya akan menyebabkan peningkatan kadar lipoprotein (a) dan C-reactive protein yang terjadi akibat berlanjutnya proses inflamasi.

 

 

  1. Patofisiologi dislipidemia

            Abnormalitas lipoprotein dapat ditemukan pada individu dengan obesitas sentral sebagai akibat dari resistensi insulin yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan lipoprotein seiring dengan terjadinya peningkatan kandungan lemak tubuh.

  1. Peningkatan kadar trigliserida

            Overproduksi VLDL didalam hati merupakan kelainan primer yang ditemukan pada obesitas dan keadaan resistensi insulin. Ketidakmampuan menekan produksi glukosa dihati, gangguan oksidasi dan ambilan glukosa diotot  dan ketidakmampuan  jaringan adiposa menekan pelepasan asam lemak tak jenuh (non esterified fatty acids = NEFA) merupakan konsekuensi dari resistensi insulin didalam hati, otot dan jaringan adiposa. Keadaan ini akan meningkatkan aliran NEFA dan glukosa kedalam hati, yang merupakan regulator dari produksi VLDL didalam hati. Regulasi sekresi VLDL juga ditentukan oleh kecepatan degradasi apolipoprotein B-100 (apo B-100). ApoB-100 yang baru disintesis bersama-sama dengan endoplasmic reticulum akan didegradasi oleh sistem ubiquitin/proteasome atau ditranslokasi menuju lumen dan  bergabung kedalam prekursor2 VLDL yang miskin lipid.  Selanjutnya, apoB-100 yang ada di lumen akan didegradasi atau akan bergabung dengan lipid VLDL didalam endoplasmic reticulum.  Apo B-100 distabilisasi dan terlindung dari degradasi oleh Heat shock protein (HSP) 70. Bila tidak terjadi translokasi, maka apoB-100 akan mengalami degradasi. Insulin merupakan hormon penting dalam memfasilitasi proses degradasi apo-B intrasel. Jadi, pada individu dengan obesitas atau resistensi insulin, ketidakmampuan menekan degradasi apoB-100 akan mengakibatkan peningkatan  sekresi apoB-100. Disamping peningkatan sintesis, obesitas dan resistensi insulin juga ditandai dengan penurunan klirens lipoprotein yang kaya trigliserida (triglyceride-rich lipoprotein =TRL) didalam sirkulasi darah.  Insulin merupakan stimulator aktivitas enzim lipoprotein lipase, melalui kerjanya meningkatkan mRNA LPL. Aktivitas LPL didalam otot rangka dari individu dengan resistensi insulin mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya gangguan regulasi LPL oleh insulin. Jadi, penurunan aktivitas LPL pada individu dengan resistensi insulin akan menurunkan rangkaian kaskade metabolisme normal lipoprotein yang mengakibatkan penurunan klirens VLDL. Partikel-partikel VLDL terutama dibersihkan dari sirkulasi oleh reseptor LDL atau disebut juga apoB/E  receptor. Transkripsi gen reseptor LDL diatur oleh kadar kolesterol intrasel, hormon dan faktor-faktor pertumbuhan. Sterol regulatory element-binding protein 1 (SREBP-1), terlibat secara selektif didalam jalur transduksi sinyal insulin dan insulin-like growth factor1, yang akan menyebabkan aktivasi gen reseptor LDL. Resistensi insulin yang disertai dengan obesitas dapat mengganggu aktivitas reseptor LDL, yang akan menyebabkan hambatan bersihan partikel VLDL.

  1. Peningkatan partikel-partikel small dense LDL

Konsentrasi small dense LDL dan  trigliserida puasa berkorelasi secara positif, sebab pembentukan small dense LDL sangat tergantung dengan metabolisme partikel2 VLDL. Pada individu yang gemuk dan mengalami resistensi insulin, peningkatan kadar VLDL dan hambatan bersihannya menyebabkan peningkatan pertukaran antara kolesterol ester didalam LDL dan trigliserida didalam VLDL yang dimediasi oleh cholesterol ester transfer protein (CETP). Pertukaran ini akan menyebabkan partikel-partikel LDL kaya trigliserida cepat mengalami lipolisis, menghasilkan partikel-partikel kecil dan padat yaitu small dense LDL.  

Partikel-partikel small dense LDL  cenderung mengalami modifikasi melalui proses  oksidasi dan glikasi (meningkat dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah), yang akan menyebabkan peningkatan produksi antibodi terhadap modified apoB-100 dan pembentukan kompleks imun. Berkurangnya diameter partikel-partikel ini akan meningkatkan kemungkinan pergerakannya menembus endotel menuju ruang subendotel, sehingga akan memicu terjadinya inflamasi, penumpukan leukosit dan transformasi membentuk plak aterosklerosis. Modifikasi ini akan menyebabkan penurunan bersihan partikel-partikel small dense LDL yang dimediasi oleh reseptor LDL.

  1. Penurunan kadar HDL cholesterol

            Mekanisme yang mengatur HDL tidak diketahui dengan jelas, dimana ada beberapa mekanisme yang dapat berkontribusi dalam terjadinya penurunan kadar HDL pada individu gemuk dengan resistensi insulin.  Sebagaimana pembentukan small dense LDL, metabolisme TRL memainkan peranan. Berbagai studi tentang lipoprotein menunjukkan adanya hubungan terbalik antara trigliserida VLDL dan kolesterol LDL. Gangguan lipolisis TRL menyebabkan penurunan kadar HDL melalui penurunan transfer apolipoprotein dan fosfolipid dari TRL ke kompartmen HDL. Disamping itu, hambatan bersihan TRL memfasilitasi pertukaran antara ester kolesterol didalam HDL dan trigliserida didalam VLDL yang dimediasi oleh Cholesterol ester transfer protein (CETP). Peningkatan aktivitas lipid dihati pada keadaan obesitas dan resistensi insulin menghasilkan partikel-partikel HDL yang lebih kecil dan memfasilitasi bersihan HDL. Insulin juga merangsang produksi apo A-I atau sekresi HDL nascent oleh hati.      Oleh karena itu, pada individu dengan obesitas dan resistensi insulin, terjadi penurunan partikel-partikel HDL, terutama HDL2 yang lebih besar (dibandingkan dengan HDL 3 yang lebih kecil) dan HDL yang mengandung apoA-I (dikenal dengan partikel-partikel LpA-I).  Partikel-partikel LpA-I lebih efektif dibandingkan dengan partikel-partikel LpA-I:A-II dalam proses reverse cholesterol, oleh karena itu perubahan ini dianggap bersifat lebih aterogenik.

  1. Klasifikasi Dislipidemia

            Dislipidemia merupakan kelainan yang bersifat heterogen dengan berbagai etiologi. Di negara-negara barat sebagian besar dislipidemia disebabkan karena gaya hidup dan kebiasaan makan.

Kadar LDL kolesterol antara 50 – 70 mg/dl ditemukan pada populasi masyarakat primitif dimana jarang ditemukan aterosklerosis. Kebiasaan makan dan gaya hidup modern (merokok, obesitas, asupan lemak tinggi dan aktivitas fisik yang kurang) merupakan kontributor terbesar terhadap terjadinya epidemi aterosklerosis  saat ini. Secara garis besar penyebab

1. Penyebab primer :

a. Meningkatnya LDL kolesterol :

1.        Defisiensi reseptor LDL

2.        Familial homozygous hyperlipidemia

 

dislipidemia dibagi 2 bagian :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalam praktek sehari-hari paling sering ditemukan dislipidemia sekunder dan jarang ditemukan gambaran dislipidemia terisolasi (misalnya hanya LDL kolesterol saja yang meningkat atau HDL kolesterol saja yang menurun). Kebanyakan pasien menunjukkan gambaran dislipidemia campuran, yaitu kombinasi LDL kolesterol yang tinggi disertai dengan HDL kolesterol rendah atau trigliserida  yang tinggi. Disamping itu pasien dislipidemia juga dapat disertai beberapa penyakit penyerta seperti DM, sindrom metabolik, obesitas,hipertensi dan kadang-kadang obstructive sleep apnea, yang semuanya memerlukan pengobatan.

  1. Dislipidemia pada Diabetes Melitus

The Centers for Disease Control and Prevention baru2 ini melaporkan bahwa 70-97%  individu  dengan diabetes mengalami  dislipidemia. Laporan dari dua pusat kesehatan di Amerika  Serikat, menunjukkan bahwa hanya 35,5% dari pasien yang berkunjung ke klinik diabetes memiliki kadar LDL kolesterol dibawah 100 mg/dl.  Huruf C dalam ABC penatalaksanaan diabetes mengingatkan pasien akan pentingnya evaluasi dan penatalaksanaan kolesterol,yang merupakan bagian integral dari penatalaksanaan diabetes. Untuk menurunkan komplikasi makrovaskular, pengendalian terhadap profil lipid dan tekanan darah harus sejalan dengan pengendalian terhadap kadar glukosa darahnya. Dislipidemia pada diabetes ditandai dengan meningkatnya kadar trigliserida dan menurunnya kadar HDL kolesterol. Kadar LDL kolesterol tidak banyak berbeda dengan yang ditemukan pada individu non diabetes, namun lebih didominasi oleh bentuk yang lebih kecil dan padat (small dense LDL). Partikel2 LDL kecil padat ini secara intrinsik lebih bersifat aterogenik daripada partikel2 LDL yang lebih besar (buoyant LDL particles). Selanjutnya, karena ukurannya yang lebih kecil, kandungan didalam plasma lebih besar jumlahnya, sehingga lebih meningkatkan risiko aterogenik. Trias dari abnormalitas profil lipid ini dikenal dengan istilah “dislipidemia diabetik”. Adanya dislipidemia diabetik, meningkatkan risiko  Penyakit  Kardiovaskular dan keadaan ini ekivalen dengan kadar LDL kolesterol antara 150-220 mg/dl. Untuk memahami patofisiologi dislipidemia pada diabetes, perlu diketahui perubahan2  komposisi lipoprotein yang dapat meningkatkan sifat aterogenisitasnya. Dalam pengamatan the Multiple Risk Factor Intervention Trial mendapatkan bahwa mortalitas akibat Penyakit Kardiovaskular diantara pasien diabetes mencapai 4 kali lebih tinggi daripada individu non DM dengan kadar kolesterol serum yang sama.             Selanjutnya, pasien2 diabetes dengan kadar kolesterol serum terendah, mempunyai angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan kelompok individu non DM yang mempunyai kadar kolesterol tertinggi. Meningkatnya sifat aterogenisitas ini disebabkan karena adanya pengaruh proses glikosilasi, oksidasi dan tingginya kandungan trigliserida didalam lipoprotein. Glikosilasi LDL akan meningkatkan waktu paruhnya, sehingga bentuknya menjadi lebih kecil dan padat serta lebih bersifat aterogenik.  Bentuk ini lebih mudah mengalami oksidasi serta lebih mudah diambil oleh makrofag untuk membentuk sel-sel busa (foam cells). Glikosilasi HDL akan memperpendek waktu paruhnya dan membentuk lebih banyak varian HDL3 yang kurang bersifat protektif dibandingkan varian HDL2. Kemampuan HDL untuk mengangkut kolesterol dari jaringan perifer kembali ke hati mengalami penurunan bila HDL banyak mengandung trigliserida.  Perbaikan kendali glukosa darah melalui perubahan gaya hidup atau dengan terapi insulin dan OHO dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL, mengurangi glikosilasi lipoprotein dan menurunkan kandungan trigliserida didalam lipoprotein.

 

VII. Manifestasi klinis dislipidemia

            Keadaan dislipidemia kadang-kadang tidak menimbulkan gejala, dan hanya diketahui pada saat pemeriksaan kesehatan rutin. Tidak jarang, dislipidemia didiagnosis pertama kali setelah pasien mengalami infark miokard atau stroke. Benjolan-benjolan yg tidak nyeri yang disebut xanthoma dapat ditemukan pada daerah tendo, siku dan bokong. Kelainan ini terjadi akibat endapan kolesterol intra dan ekstra seluler.

VIII. Konsekuensi dari Dislipidemia

            Dislipidemia merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya aterosklerosis, yaitu suatu proses penyakit yang mengenai sirkulasi darah koroner, serebral dan arteri perifer.

  1. Penyakit Jantung Koroner

            Etiologi atherosklerosis bersifat multifaktorial, namun hubungan sebab akibat antara dislipidemia dan atherosklerosis telah dibuktikan melalui banyak studi klinis dan percobaan-percobaan hewan.  Penurunan kadar kolesterol LDL plasma telah terbukti dapat menurunkan risiko klinis Penyakit Jantung Koroner berulang pada pasien yang sebelumnya telah mengalami PJK ataupun serangan baru pada pasien yang belum mengalami PJK. Terbukti pula tentang sifat aterogenisitas dari LDL, yang terjadi akibat modifikasi oksidatif dari LDL didalam arteri.       

            Studi angiografik menunjukkan bahwa terapi intensif penurunan kolesterol akan memperlambat progresivitas lesi koroner dan pada beberapa kasus bahkan dapat menimbulkan regresi lesi secara bermakna. Kolesterol LDL merupakan faktor risiko kuat terhadap kejadian Penyakit Jantung Koroner, tidak hanya kadarnya, melainkan juga  jenis LDLnya memegang peran penting dalam proses patofisiologi terjadinya aterosklerosis pembuluh darah koroner.  LDL dapat berupa small dense LDL yang kecil padat dan large buoyant LDL yang berukuran lebih besar dan kurang padat. Small dense LDL lebih bersifat aterogenik dan toksik terhadap endotel. Small dense LDL akan memasuki dinding pembuluh darah, mengalami oksidasi dan memicu proses aterosklerosis.

            Large buoyant LDL tidak terlalu toksik terhadap dinding pembuluh darah dan tidak terlalu kuat memicu proses aterosklerosis. Small dense LDL lebih banyak terjadi pada dislipidemia diabetik. Kadar trigliserida serum yang tinggi dapat disertai dengan risiko penyakit kardiovaskular yang tidak tergantung dengan faktor-faktor risiko lainnya. Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa hubungan antara trigliserida dan risiko kardiovaskular berkurang setelah penyesuaian terhadap kadar kolesterol total dan HDL. Namun dalam suatu studi terbaru, menunjukkan bahwa kadar trigliserida serum merupakan determinan independen terhadap risiko kardiovaskular diantara kelompok populasi di wilayah Asia Pasifik. Bahkan peningkatan ringan saja dari kadar trigliserida dapat meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Kilomikron dan VLDL tidak langsung bersifat aterogenik, diduga karena terlalu besar untuk dapat menembus dinding arteri. Namun demikian, produk2 katabolisme dari kilomikron dan VLDL dapat bersifat aterogenik.  Kadar HDL plasma yang tinggi disertai dengan risiko rendah Penyakit Jantung Koroner.

Hal ini disebabkan karena HDL mempunyai kemampuan proteksi terhadap terjadinya aterosklerosis melalui fasilitasi transpor balik kolesterol, yaitu kemampuan HDL menerima kelebihan kolesterol dari jaringan dan mengembalikannya ke hati baik secara langsung maupun melalui perantaraan lipoprotein yang lain. Meningkatnya risiko Penyakit Jantung Koroner juga ditemukan pada individu dengan kadar Lp(a) yang tinggi. Lp(a) adalah suatu partikel LDL dimana melekat suatu protein besar yang disebut apo(a). Gambaran lipoprotein aterogenik yang ditandai dengan small dense LDL yang predominan, peningkatan kadar trigliserida dan penurunan kadar HDL, merupakan faktor risiko yang sangat kuat untuk terjadinya Penyakit Jantung Koroner.

  1. Stroke

            Stroke adalah suatu istilah untuk menjelaskan adanya kejadian klinis yang disebabkan karena oklusi atau perdarahan arteri yang memperdarahi sistem syaraf pusat sehingga menimbulkan kematian jaringan. Stroke merupakan konsekuensi paling berbahaya dari penyakit pembuluh darah. Pembentukan atheroma merupakan akar permasalahan dalam patogenesis terjadinya stroke thrombo-embolik. Studi observasional menunjukkan bahwa dislipidemia terutama kadar LDL kolesterol yang tinggi, HDL kolesterol yang rendah dan kadar trigliserida yang tinggi merupakan faktor2 risiko penting untuk terjadinya stroke thrombo-embolik. Studi-studi klinis terbaru pada pasien2 dengan penyakit jantung koroner menunjukkan bahwa terapi penurun lipid, terutama statin dapat menurunkan risiko terjadinya stroke. Penurunan kejadian stroke yang signifikan dilaporkan pada 3 studi klinis besar yang menggunakan statin, yaitu studi2 4S, CARE dan LIPID.

Hasil yang sama juga didapatkan pada studi metaanalisis menggunakan pravastatin. Mekanisme terjadinya penurunan risiko stroke pada pasien-pasien Penyakit Jantung Koroner yang diterapi dengan statin masih belum diketahui dengan pasti, namun diduga terjadi akibat hambatan terhadap progresifitas plak, stabilisasi plak dan penurunan risiko terjadinya serangan PJK berulang. Penurunan risiko terjadinya stroke merupakan manfaat tambahan dari terapi dengan statin dalam pencegahan sekunder. Disamping terapi statin, pengobatan dengan gemfibrozil pada pasien-pasien dengan PJK terbukti juga dapat menurunkan kejadian stroke sebesar 25% dan TIA sebesar 59% yang terlihat pada studi VA-HIT.

  1. Penyakit Arteri Perifer

Penyakit Arteri Perifer merupakan manifestasi klinis dari aterosklerosis sistemik yang paling sering terjadi, dimana lumen arteri dari ekstremitas bawah mengalami oklusi progresif akibat adanya plak aterosklerotik.  Kadar lipoprotein yang tinggi merupakan faktor risiko penting dalam terjadinya Penyakit Arteri Perifer.  Dari berbagai studi klinis menyimpulkan bahwa aterosklerosis didalam sirkulasi darah perifer hendaklah diperlakukan sama dengan aterosklerosis didalam sirkulasi darah koroner.  Pasien-pasien dengan Penyakit Arteri Perifer walaupun tanpa adanya riwayat infark miokard atau stroke, mempunyai risiko kematian kardiovaskular yang relatif sama dengan pasien yang mempunyai riwayat penyakit jantung koroner atau penyakit serebrovaskular.

  1. Penatalaksanaan dislipidemia
  2. Penatalaksanaan non farmakologik

            Kebanyakan pasien dislipidemia dapat ditatalaksana dengan terapi nutrisi medik yang intensif. Mengurangi asupan lemak jenuh dan kandungan kalori total dapat menurunkan kadar LDL kolesterol 10 sampai 15%. Kadar trigliserida plasma dapat menurun 20 – 40% setelah diterapkan intervensi diet atau terapi nutrisi medik. Program latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol 10 sampai 15%, sama efektifnya dengan terapi farmakologik namun tanpa efek samping dan biayanya murah. Sebaliknya pada kebanyakan pasien,  terapi nutrisi medik gagal mencapai sasaran kadar LDL kolesterol yang diinginkan sehingga perlu diberikan tambahan terapi farmakologik. Pada prinsipnya pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai dengan kondisi dan kemampuannya. Semua jenis aktivitas fisik bermanfaat, seperti jalan kaki, naik sepeda, berenang dll. Penting sekali diperhatikan agar jenis olahraga disesuaikan dengan kemampuan dan kesenangan pasien, selain itu agar dilakukan secara terus menerus. The American Heart Association merekomendasikan untuk pasien dislipidemia dengan Penyakit Kardiovaskular bahwa Terapi Nutrisi Medik maksimal dapat menurunkan kadar LDL kolesterol sebesar 15 sampai 25mg/dl. Jadi, bila kadar LDL kolesterol mengalami  peningkatan lebih dari 25 mg/dl diatas kadar sasaran terapi, hendaklah diputuskan untuk menambahkan terapi farmakologik terutama terhadap pasien-pasien dengan risiko tinggi (pasien  DM dengan riwayat infark miokard sebelumnya atau dengan kadar LDL kolesterol tinggi).

  1. Penatalaksanaan farmakologik

            Lini pertama terapi dislipidemia pada kebanyakan pasien adalah golongan statin. Namun beberapa pasien mengalami dislipidemia ganda dan memerlukan terapi kombinasi.  Pendekatan terapi farmakologik terhadap dislipidemia hendaklah dititikberatkan terhadap koreksi secara keseluruhan dari kelainan metabolisme lipid tanpa menimbulkan efek samping yang berarti. Terapi farmakologik terbukti efektif menurunkan risiko kardiovaskular jangka panjang pada dislipidemia. Studi klinis obat2 penurun lipid membuktikan efektifitasnya dalam  pencegahan primer pada individu dengan risiko tinggi. Pada era sebelum statin, beberapa studi pencegahan primer telah dilakukan, antara lain :

  • WHO clofibrate trial
  • Helsinky Heart Study gemfibrozil trial
  • Lipid Research Clinic cholestyramine trial.

Semua studi ini menunjukkan penurunan angka kejadian PJK, namun tidak banyak memberikan manfaat dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit jantung koroner secara total. Tersedianya golongan obat penurun lipid yang lebih efektif yaitu golongan statin mendorong para peneliti untuk membuktikan apakah dengan menurunkan kadar LDL kolesterol dapat menurunkan risiko PJK. Ada 2 studi pencegahan primer yang menggunakan statin yaitu West of Scotland Coronary Prevention Study (WOSCOPS) dan Air Force/Texas Coronary Atherosclerosis Prevention Study (AFCAPS/TexCAPS). Hasil dari kedua studi ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Studi

Pasien

Lama studi

Jenis

statin

dosis/ hari

Base-line LDL-C

(mg/dl)

Perubah-an LDL-C

Kejadian Koroner Utama

Revas-kulari-sasi

Mortali-tas Koro-ner

Morta-litas Total

WOSCOPS

6595

4,9 tahun

Pravas-tatin 40 mg

192

-26%*

-31%*

-37%*

-33%*

-22%*

AFCAPS/TexCAPS

6605

5 tahun

Lovasta-tin 20/40 mg

150

-25%*

-37%*

-33%*

Tidak bermakna

Tidak bermakna

Tabel 10. Studi Pencegahan Primer menggunakan statin.

Sumber : Management of Dyslipidemia. Curr Probl Cardiol 2006;31:445-486.

 

*Perubahan bermakna bila p<0.05 atau lebih rendah.

 

  1. Golongan statin

Golongan statin bekerja sedikitnya melalui 2 mekanisme. Pertama, statin menghambat kerja enzim yang berperan dalam biosintesis kolesterol, yaitu enzim HMG-CoA reductase, jadi secara langsung menghambat biosintesis kolesterol. Kedua, statin merangsang upregulasi reseptor LDL didalam sel-sel hati, sehingga meningkatkan bersihan LDL kolesterol. Statin bekerja melalui hambatan terhadap sintesis prenylated protein seperti geranyl-geranyl pyrophosphate dan farnesyl-farnesyl pyrophosphate, sehingga secara tidak langsung memediasi proses intraseluler yang terlibat dalam arus lalu lintas sinyal intraseluler dan sintesis protein. Hambatan produksi prenylated protein akan menghentikan aktivasi protein-protein regulasi tertentu melalui proses prenilasi (penambahan suatu struktur karbon spesifik pada molekul protein). Protein-protein regulasi ini antara lain Ras, Rac dan Rho, yang berperan dalam mempertahankan kehidupan sel, pertumbuhan sel dan keberlangsungan komunikasi sel serta menghambat apoptosis. Apoptosis yang terjadi akibat pengaruh pemberian statin dapat mengurangi volume plak aterosklerosis melalui regulasi terhadap proliferasi sel otot polos.  Proses yang sama juga terjadi didalam otot rangka, dimana secara teoritis pada pemberian statin akan menimbulkan kerusakan sel-sel otot rangka, sehingga menimbulkan myositis dan rhabdomyolysis.

Gambar 22. Jalur biosintesis kolesterol dan pembentukan prenylated protein.  Sumber : Lipid Metabolism and Health. Boca Raton:Informa;2006:pp 31-45.

 

 

Sampai saat ini ada 6 jenis obat golongan statin, yaitu Lovastatin, Simvastatin, Pravastatin, Atorvastatin, Fluvastatin dan Rosuvastatin. Farmakokinetik dari keenam jenis golongan statin dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

 

 

 

Tabel 11. Farmakokinetik HMG CoA Reductase Inhibitors

Sumber : Lipid Metabolism and Health. Boca Raton:Informa;2006:pp 31-45.

 

HMG CoA

CYP 450

Ikatan protein

Lipophilic

Waktu paruh (jam)

Lovastatin

Simvastatin

Pravastatin

Atorvastatin

Fluvastatin

Rosuvastatin

3A4

3A4

None

3A4

2C9

3A4/2C9

> 95 %

> 95 %

 ∼ 50 %

> 95 %

> 95 %

88 %

Ya

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

3

2

1,8

14

1,2

19

 

Statin dapat menurunkan LDL kolesterol antara 25 sampai 55% tergantung dari jenisnya. Perbedaan kekuatan statin ditunjukkan dari dosis masing-masing yang mampu menurunkan kadar kolesterol sebanyak 20%. Lovastatin dan Pravastatin sama kuatnya yaitu sekitar 10 mg dapat memberikan efek tersebut. Atorvastatin dan Rosuvastatin lebih kuat dibandingkan kedua jenis obat diatas. Fluvastatin merupakan jenis yang paling lemah, dimana  memerlukan dosis 20 mg untuk menurunkan kadar kolesterol sebanyak 20%. Statin juga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol sebanyak 5 – 15 % dan menurunkan kadar trigliserida sebanyak 15 – 45 %.

 

Peranan statin dalam menurunkan kadar LDL kolesterol terbukti dapat mengurangi angka kejadian komplikasi Penyakit Kardiovaskular, baik pada kelompok pasien dengan PJK maupun yang mempunyai risiko ekivalen dengan PJK seperti pada pasien-pasien DM tipe 2.

Beberapa studi berskala besar  telah membuktikan efektivitas statin khususnya  atorvastatin dalam menurunkan risiko Penyakit Jantung Koroner, antara lain :

  • ASCOT-LLA (the Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial-Lipid Lowering Arm), yang meneliti efektivitas atorvastatin 10 mg pada 10.350 orang pasien hipertensi disertai 3 atau lebih faktor risiko dengan kolesterol total ≤ 250 mg/dl. Setelah follow up selama 3,3 tahun, atorvastatin menurunkan kolesterol serum sebesar 50 mg/dl setelah 1 tahun dan 43 mg/dl setelah 3 tahun. Angka kejadian infark miokard non fatal dan Penyakit Jantung Koroner serta stroke menurun masing-masing sebesar 36%, 45% dan 27% pada kelompok pasien yang diberi atorvastatin.

 

 

  • CARDS (the Collaborative Atorvastatin Diabetes Study) , meneliti sebanyak 2838 orang pasien DM tipe 2 berumur antara 40 – 75 tahun, yang sebelumnya tidak mempunyai riwayat Penyakit Jantung Koroner, diberikan atorvastatin 10 mg per hari atau plasebo. Dari hasil penelitian ini terapi atorvastatin disertai dengan penurunan yang bermakna dari angka kejadian Penyakit Jantung Koroner sebesar 36%, Infark Miokard sebesar 42%, stroke sebesar 48% setelah follow up selama rata-rata 3,9 tahun.
  • TNT (Treating to New Targets) trials yang merupakan studi multinasional untuk mengetahui manfaat terapi intensif terhadap dislipidemia pada pasien-pasien dengan penyakit jantung koroner yang stabil. Penelitian ini melibatkan sebanyak 10001 pasien, 1500 diantaranya dengan DM tipe 2 dan kadar LDL kolesterolnya < 130 mg/dl. Pasien secara acak diberikan atorvastatin 10 mg atau 80 mg perhari dan di follow up selama rata-rata 4,9 tahun. Pada pasien2 diabetes atorvastatin 80 mg perhari menurunkan kadar LDL kolesterol sebanyak 22% dan penurunan risiko kejadian Penyakit Kardiovaskular sebanyak 25% lebih besar daripada kelompok yang diberikan dosis 10 mg perhari. Tidak ada perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok dalam hal efek samping seperti mialgia, dan gangguan faal hati. Hasil studi TNT justeru memperkuat bukti bahwa dengan menurunkan kadar LDL kolesterol serendah mungkin (pada pasien2 DM < 70 mg/dl) bermanfaat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular yang bermakna.
  • Studi ESTABLISH juga menunjukkan manfaat lebih dari pemberian statin dini terhadap stabilisasi lesi aterosklerotik pada pasien-pasien dengan Sindrom Koroner Akut di Jepang. Dalam studi ESTABLISH, peneliti mendapatkan bahwa dengan pemberian atorvastatin selama 6 bulan pada pasien-pasien dengan Sindrom Koroner Akut, menurunkan volume plak secara bermakna.

Statin secara umum ditoleransi dengan baik. Peningkatan kadar transaminase hepar dapat terjadi pada 0,5 – 2.0% kasus dan bersifat dose-dependent. Progresi kearah gagal fungsi hati yang berat akibat statin sangat jarang terjadi. Statin tidak memperburuk kondisi pasien dengan peningkatan transaminase kronik akibat infeksi hepatitis B atau C, dan sebaliknya dapat menurunkan kadar transaminase serum pada individu yang mengalami fatty liver.  Pengukuran kadar transaminase hendaklah dilakukan sebelum memulai terapi dengan statin dan pemeriksaan diulang 6 sampai 12 bulan kemudian. Pemeriksaan ini dapat pula diulang secara periodik sesuai dengan indikasi klinis. Statin juga mempunyai banyak efek pleiotropik yang menambah manfaat terhadap sistem kardiovaskular, meliputi :

  • Anti inflamasi —> menurunkan kadar hs-CRP dan petanda2 inflamasi lain
  • Anti trombotik
  • Perbaikan fungsi endotel, metabolisme tulang dan fungsi kognitif.

 

  1. Bile acid sequestrants (BAS) atau bile acid binding resins

            Golongan obat ini bekerja mengikat asam empedu didalam saluran cerna dan mencegah reabsorpsinya kedalam sirkulasi enterohepatik melalui protein transpor asam empedu didalam ileum. Bile acid sequestrants menurunkan kadar LDL kolesterol dengan beberapa cara, antara lain :

  1. Meningkatkan katabolisme kolesterol melalui up regulasi enzim 7-á-hydroxylase, suatu enzim yang berperan dalam proses konversi kolesterol menjadi asam empedu.
  2. Meningkatkan ekspresi reseptor LDL pada permukaan sel-sel hati sehingga dapat meningkatkan bersihan lipoprotein yang mengandung Apo B-100 dari plasma.

BAS dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai bagian dari terapi kombinasi dengan statin. Diantara golongan BAS, cholestyramine (Questran) dan colestipol (Colestid) terbukti efektif dalam menurunkan kadar LDL kolesterol, namun efek samping saluran cerna membatasi penggunaannya.

  1. Golongan Niacin dan Fibrat

            Niasin dan fibrat sering digunakan dalam pengobatan hipertrigliseridemia dan atau HDL kolesterol yang rendah (sering dikombinasi dengan obat golongan lain). Namun kedua golongan obat tersebut memiliki kekuatan yang kurang  dalam menurunkan kadar LDL kolesterol (5-20%) terutama pada pasien yang mengalami dislipidemia campuran dimana disamping mengalami peningkatan kadar LDL kolesterol juga ditemukan hipertrigliseridemia dan penurunan kadar HDL kolesterol. Selain itu perlu diperhatikan bila kadar TG > 350 mg/dl, maka kadar LDL kolesterol dapat mengalami peningkatan dengan terapi fibrat. Hal ini disebabkan karena gangguan konversi partikel2 VLDL menjadi LDL pada pasien-pasien dengan hipertrigliseridemia berat.

 

  1. Golongan Cholesterol Absorption Inhibitors

                Ezetimibe merupakan obat baru yang beredar dipasaran mulai tahun 2003 dan tersedia dalam bentuk tablet 10 mg. Ezetimibe merupakan jenis pertama dari golongan cholesterol absorption inhibitor, yang bekerja di brush border enterosit jejunum  untuk menghambat ambilan empedu dan sumber-sumber makanan yang mengandung kolesterol. Secara spesifik, ezetimibe berikatan dengan the Nieman Pick C1 like-1 sterol transporter yang berperan dalam transpor kolesterol dan phytosterol kedalam sel-sel usus halus. Obat ini dapat menurunkan pengangkutan kolesterol usus halus menuju hati dan menurunkan simpanan kolesterol hati dan peningkatan bersihan kolesterol didalam darah. Ezetimibe tidak mempengaruhi absorpsi TG, asam lemak, asam empedu atau vitamin-vitamin yang larut lemak seperti vitamin A,D,E dan K serta b- carotenes.

Ezetimibe monoterapi dapat menurunkan kadar LDL sekitar 18%, kolesterol sebesar 13% dan trigliserida sebesar 8%, namun sangat sedikit efeknya terhadap HDL. Bila dikombinasi dengan statin, efeknya akan meningkat, sehingga dapat menurunkan LDL sebesar 25%, trigliserida sebesar 14% dan peningkatan ringan dari HDL sebesar 3%. Ezetimibe tidak memberikan efek samping yang berat, karena hanya 20% yang diserap kedalam sirkulasi enterohepatik.

  1. Terapi Kombinasi

            Banyak studi yang membuktikan bahwa terapi kombinasi antara statin dan berbagai obat lain seperti bile acid resin, fibrat dan niacin memberikan manfaat yang lebih baik dalam hal penurunan kadar LDL kolesterol, namun pemakaiannya terkendala oleh meningkatnya kejadian efek samping dan interaksi obat. Gemfibrozil dapat meningkatkan kadar statin dengan cara hambatan terhadap enzim CYP450. Gemfibrozil mengalami glukuronidasi melalui kerja enzim UPD-glucuronosyl-transferase, yang juga dapat memediasi glukuronidasi statin.  

Glukuronidasi sekarang dikenal sebagai jalur utama eliminasi metabolit2 aktif asam hidroksi dari statin. Fenofibrat tidak mempengaruhi kerja enzim-enzim yang memediasi glukuronidasi statin. Fenofibrat mengalami glukuronidasi melalui jalur lain dan tidak berkompetisi dengan statin. Oleh karena itu kombinasi statin dengan fenofibrat relatif lebih aman dibandingkan dengan kombinasi statin dan gemfibrozil.  Kombinasi ezetimibe dengan statin merupakan strategi baru dalam memperbaiki profil lipid pada pasien DM tipe 2.  Studi terbaru menunjukkan  bahwa kombinasi  ezetimibe dengan simvastatin pada dosis 10/10,10/20, 10/40 dan 10/80 mg menghasilkan penurunan kadar LDL kolesterol, total kolesterol, trigliserida, non HDL cholesterol dan apolipoprotein (Apo) B yang lebih besar dibandingkan simvastatin monoterapi serta ditoleransi dengan baik.

Saat ini sedang dikembangkan obat-obat hipolipidemik yang baru untuk memperbaiki tatalaksana dislipidemia. Diantara obat-obat baru tersebut antara lain : apoB antisense oligonucleotide (mipomersen) dan microsomal triglyceride transfer protein inhibitor (lomitapide) yang sudah mendapatkan rekomendasi dari FDA. Pengobatan terhadap homozygous familial hypercholesterolemia dengan menggunakan CETP inhibitor, apoCIII antisense oligonucleotide, apoCIII antibodies dan proprotein convertase subtilisin/kexin type 9 (PCSK9) antibodies saat ini sedang dalam evaluasi klinis. Diantara obat-obat baru tersebut, PCSK9 antibodies merupakan sediaan obat yang dapat menurunkan LDL cholesterol diatas 60% bila dikombinasi dengan statin.

 

Bab 10

Sindrom Metabolik

  1. Pendahuluan

Sindrom Metabolik yang juga disebut sindrom resistensi insulin atau sindrom X merupakan suatu kumpulan faktor-faktor risiko yang berperan terhadap peningkatan morbiditas penyakit kardiovaskular pada tubuh seorang individu.

Gambar 23. Hubungan obesitas abdominal dengan Sindrom  Metabolik. Sumber : Front. Med. 2013, 7(1): 14–24

 

The National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III) melaporkan bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskular, sehingga memerlukan intervensi modifikasi gaya hidup yang ketat (intensif).

Komponen utama dari sindrom metabolik meliputi :

  • Resistensi insulin
  • Obesitas abdominal/sentral
  • Hipertensi
  • Dislipidemia :
    • Peningkatan kadar trigliserida
    • Penurunan kadar HDL kolesterol

Sindrom Metabolik disertai dengan keadaan proinflammasi /prothrombotik yang dapat menimbulkan peningkatan kadar C-reactive protein, disfungsi endotel, hiperfibrinogenemia, peningkatan agregasi platelet, peningkatan kadar PAI-1, peningkatan kadar asam urat, mikroalbuminuria dan peningkatan kadar LDL cholesterol. Akhir-akhir ini diketahui pula bahwa resistensi insulin juga dapat menimbulkan Sindrom Ovarium Polikistik,  Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) dan Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH).

Rangkuman definisi Sindrom Metabolik yang dikemukakan oleh berbagai kelompok ahli diseluruh dunia dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

 

 

 

Tabel 12. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik menurut WHO (World Health Organization), EGIR (European Group for the Study of Insulin Resistance)  dan NCEP-ATP III (the National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III). Sumber : Circulation. 2004;110:227-239.

No

Komponen

WHO (1999)

EGIR (1999)

NCEP ATP III (2001)

1

 

Toleransi glukosa terganggu, atau DM dan atau resistensi insulin, disertai dengan 2 atau lebih dari komponen2 sbb :

Resistensi insulin ditambah dengan 2 dari komponen2 sbb :

Tiga atau lebih dari 5 faktor risiko dibawah ini :

2

Glukosa plasma puasa

 

> 6.1 mmol/l (110 mg/dl)

> 5.6 mmol/l (100 mg/dl)

3

Tekanan darah

> 140/90 mmHg

> 140/90 mmHg atau dlm pengobatan

> 130/> 85 mmHg

4

Trigliserida

> 1.7 mmol/l (150 mg/dl dan atau

> 2.0 mmol/l (178 mg/dl) atau dlm pengobatan dan atau

> 1.7 mmol/l (150 mg/dl)

5

HDL-cholesterol

♂ < 35 mg/dl       (< 0.9 mmol/L)

♀ < 39 mg/dl      (< 1.0 mmol/L

< 39 mg/dl atau dalam pengobatan

♂ < 40 mg/dl            (< 1.03 mmol/L)

♀ < 50 mg/dl            (< 1.29 mmol/L

6

Obesitas abdominal/ sentral

Waist to hip ratio :

♂  : > 0.90;

♀ : > 0.85, atau

IMB > 30 kg/m2

Lingkar pinggang :

♂ : > 94 cm

♀ : > 80 cm

Lingkar pinggang :

♂ : > 102 cm (40”)

♀ : >   88 cm (35”)

7

Mikro-albuminuria

Ratio albumin urin dan kreatinin        > 30 mg/g atau laju ekskresi albumin 20 mcg/menit

 

 

            Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penumpukan lemak berlebihan dalam bentuk trigliserida (steatosis) didalam hati (secara histologik melebihi 5 % dari seluruh hepatosit). Sebagian kecil dari pasien-pasien dengan NAFLD akan mengalami inflamasi dan kerusakan hati disamping hanya sekedar mengalami penumpukan lemak berlebihan. Keadaan ini disebut dengan Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH). Progresivitas NAFLD menjadi NASH secara dramatis akan meningkatkan risiko untuk terjadinya kegagalan fungsi hati,  sirosis hati, dan hepatocellular carcinoma (HCC). Morbiditas dan mortalitas akibat kerusakan hati semakin meningkat pada pasien-pasien dengan NASH, bahkan sekarang diketahui bahwa NASH berkorelasi kuat dengan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Saat ini diketahui pula bahwa NASH merupakan ekspresi dari sindrom metabolik pada hati.  Penyebab pasti terjadinya NASH sampai saat ini belum diketahui dan proses kejadiannya tidak sama diantara masing-masing pasien. Walaupun diyakini keadaan ini berhubungan erat dengan resistensi insulin, obesitas dan sindrom metabolik, namun tidak semua pasien yang mengalami keadaan ini menderita NAFLD/ NASH. Dan tidak semua pasien dengan NAFLD/ NASH mengalami resistensi insulin, obesitas atau sindrom metabolik. Namun sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa NASH merupakan kelainan hati yang serius yang akan menyebabkan sirosis hati, kegagalan faal hati dan HCC.

 

  1. Epidemiologi/ Prevalensi

Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan dan populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third National Health and Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi sindrom metabolik (dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada laki2 kulit hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi Sindrom Metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. Karena populasi penduduk Amerika yang berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh mempunyai berat badan lebih atau gemuk , diperkirakan Sindrom Metabolik melebihi merokok sebagai faktor risiko primer terhadap penyakit kardiovaskular. Sindrom metabolik juga merupakan prediktor kuat untuk terjadinya DM tipe 2 dikemudian hari. Dibeberapa tempat di Afrika, obesitas lebih banyak ditemukan pada anak-anak dibandingkan malnutrisi. Jumlahnya cenderung semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa NAFLD dan NASH akan menjadi permasalahan hati yang akan semakin meningkat baik dinegara-negara kaya maupun miskin. Angka kejadian NAFLD dan NASH diperkirakan akan meningkatkan beban biaya kesehatan 5 tahun sebanyak 26%.  Sejumlah studi epidemiologi melaporkan peningkatan insiden penyakit kardiovaskular pada pasien-pasien NAFLD yang lebih besar dibandingkan populasi umum. Terdapat hubungan bermakna antara peningkatan kadar gamma-glutamyltransferase (GGT) dan mortalitas kardiovaskular dalam follow up selama 12 tahun.  Meta analisis dari 10 studi juga memperkuat adanya hubungan antara peningkatan kadar GGT dan kejadian penyakit kardiovaskular. Beberapa studi kohort berbasis populasi dalam jumlah besar juga telah melaporkan adanya hubungan antara peningkatan Alanine aminotransferase (ALT) dan mortalitas kardiovaskular. Menariknya, korelasi antara peningkatan kadar ALT atau GGT dengan penyakit kardiovaskular  dalam studi-studi  ini sebagai refleksi dari adanya hubungan bermakna dengan resistensi insulin, yang telah diketahui merupakan faktor risiko kuat untuk terjadinya penyakit kardiovaskular.

 

  1. Patofisiologi

Penyebab Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin. Insulin berperan menurunkan kadar glukosa darah dengan cara merangsang ambilan glukosa didalam jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin seperti otot-otot rangka, lemak dan jantung. Insulin juga menghambat produksi glukosa didalam hati, ginjal dan usus halus  untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Disamping itu insulin juga merangsang sintesis asam lemak dan glikogen, memperbaiki fungsi mitokondria, memperbaiki mikrosirkulasi dan merangsang proliferasi sel. Resistensi insulin terjadi bila jaringan yang sensitif mengalami kegagalan  merespons rangsangan insulin. Kegagalan ini terjadi akibat adanya hambatan dalam jalur sinyal insulin. Resistensi insulin akan menyebabkan hiperinsulinemia sebagai kompensasi dari sel-sel beta pankreas yang memproduksi insulin dalam jumlah besar sebagai upaya mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Seiring dengan perjalanan waktu, sel-sel beta pankreas makin lama akan mengalami kegagalan memproduksi insulin lebih lanjut, sehingga mulailah terjadi gangguan toleransi glukosa yang merupakan stadium awal terjadinya DM tipe 2. Berbeda dengan DM tipe 1 yang menunjukkan terjadinya hiperglikemi dan hipoinsulinemi, DM tipe 2 ditandai dengan  hiperglikemi dan hiperinsulinemi.

Beberapa faktor telah dikemukakan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya resistensi insulin, antara lain :

  • Obesitas                        
  • Inflamasi
  • Disfungsi mitokondria
  • Hiperinsulinemia
  • Lipotoksisitas/ hiperlipidemia
  • Latar belakang genetik
  • Endoplasmic reticulum stress
  • Proses menua
  • Stres oksidatif
  • Fatty liver
  • Hipoksia
  • Lipodistrofi
  • Kehamilan

Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi  perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres kronik) mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stres akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan  psikososial  dan infark miokard.

Gambar dibawah ini merupakan skema interaksi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan resistensi insulin dalam patofisiologi Sindrom Metabolik.

 

 

Gambar 24 : Gambar skematik patofisiologi Sindrom Metabolik Sumber : BMC Medicine 2011;9:1-13

Resistensi insulin berhubungan dengan obesitas dan berperan penting dalam patogenesis NAFLD. Disamping itu, stres oksidatif dan sitokin merupakan kontributor penting, yang bersama-sama akan menyebabkan steatosis dan kerusakan hati progresif pada individu-individu yang secara genetik suseptibel. Gambaran histopatologik dari NASH terdiri dari steatosis, hepatocellular ballooning dan inflamasi lobular. Sedangkan fibrosis bukan merupakan bagian dari definisi histologik dari NASH. Namun derajat fibrosis pada biopsi hati merupakan faktor prediktif dari prognosis NASH. Kelainan ini dapat tetap asimtomatik selama beberapa tahun atau dapat pula terjadi secara progresif menjadi sirosis hati atau bahkan HCC. Salah satu hipotesis yang saat ini disepakati secara global adalah “multi-hit hypothesis”, dimana Sindrom Metabolik memegang peran utama, yang terjadi akibat resistensi insulin dan proses proinflamasi yang dimediasi oleh berbagai protein dan komponen-komponen imun. Gambar dibawah ini menjelaskan terjadinya NAFLD dan NASH pada Sindrom Metabolik.

 

 

 

Gambar 25 : “Multi hit” hypothesis “ dalam patogenesis terjadinya NAFLD/ NASH. Sumber : Hepatology 2012;55(6):2006-2012.

 

 

 

Dari studi-studi  epidemiologi membuktikan adanya hubungan antara NAFLD dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Hal ini diduga disebabkan karena semakin meningkatnya timbunan lemak didalam hati akan memperberat resistensi insulin dan hiperinsulinemi.

Gambar dibawah ini menunjukkan skema proses patofisiologi yang melibatkan NAFLD dalam meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.

 

Gambar 26 : Keterlibatan NAFLD dalam peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Sumber : European Heart Journal 2012;33:1190-1200.

 

 

 

  1. Evaluasi Klinis

 

Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik dan NAFLD  hendaklah dilakukan evaluasi klinis, yang meliputi :

  • Anamnesis, tentang :
    1. Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya.
    2. Riwayat adanya perubahan berat badan.
    3. Aktivitas fisik sehari-hari.
    4. Asupan makanan sehari-hari
    5. Riwayat konsumsi alkohol, untuk menyingkirkan kemungkinan Alcoholic steatosis.
  • Pemeriksaan fisik, meliputi :
    1. Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
    2. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus :

 

 

 

  1. Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.
  • Pemeriksaan laboratorium, meliputi :
    • Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa.
    • Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment) untuk menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam penelitian dan tidak praktis diterapkan  dalam penilaian klinis.
    • Highly sensitive C-reactive protein
    • Kadar asam urat dan tes faal hati (ALT/AST) dapat menilai adanya NASH.
    • USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya NAFLD karena kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati.

 

 

 

  • Pemeriksaan invasif :

Biopsi hati diperlukan untuk memastikan diagnosis dan penderajatan (staging) dari NASH. Saat ini telah disepakati

penggunaan sistem skoring histologik yang dikemukakan oleh NASH Clinical Researche Network, sebagaimana ditampilkan pada tabel dibawah ini :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 13 : Sistem skor histologik Nonalcoholic Steatohepatitis (Sumber : Kleiner et.al.,Hepatology 2005;41:1313-21.)

 
   
  1. Penatalaksanaan

Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang penatalaksanaan Sindrom Metabolik. Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan agresif terhadap komponen2 Sindrom Metabolik dapat mencegah atau memperlambat onset diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Semua pasien yang didiagnosis dengan Sindrom Metabolik hendaklah dimotivasi untuk merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya sebagai pendekatan terapi utama. Penurunan berat badan dapat memperbaiki semua aspek Sindrom Metabolik, mengurangi semua penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Namun kebanyakan pasien  mengalami kesulitan dalam mencapai penurunan berat badan. Latihan fisik dan perubahan pola makan  dapat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki resistensi insulin. Berbagai studi membuktikan bahwa modifikasi gaya hidup dapat menurunkan kadar aminotransferase dan memperbaiki steatosis hati.

D.1. Latihan Fisik :

Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin didalam tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot rangka. Pengaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam      24 – 48 jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari. Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki resistensi insulin. Pasien hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan  derajat aktivitas fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan fisik sedang secara  teratur dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik aerobik dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan menggunakan dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan  pilihan terbaik untuk latihan dengan menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari juga terbukti dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki2 tanpa mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan.

 

D.2. Diet

Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database mendukung peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.  Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil2 dari studi klinis diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna dari kejadian komplikasi kardiovaskular dan menurunkan angka kematian total. 

The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) merekomendasikan tekanan darah sistolik antara 120 – 139 mmHg atau diastolik 80 – 89 mmHg sebagai stadium pre hipertensi, sehingga modifikasi gaya hidup sudah mulai ditekankan pada stadium ini untuk mencegah penyakit kardiovaskular. Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the Coronary Artery Risk Development in Young Adults  mendapatkan bahwa konsumsi produk2 rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan risiko sindrom metabolik yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol, sehingga memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia atau meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak, asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau asupan karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini merupakan pola diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas penyakit kardiovaskular.

Suatu studi menunjukkan adanya korelasi antara penyakit kardiovaskular dan asupan biji-bijian dan kentang. Para peneliti merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka panjang dari diet rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek, terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-cholesterol dan menurunkan berat badan. Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial dan insulin.  Suatu meta-analisis dari 15 studi klinik antara tahun 1967 sampai 2000 menunjukkan penurunan kadar aminotransferase dan steatosis hati pada pasien-pasien yang menerapkan diet retriksi kalori.

D.3. Edukasi

Dokter2 keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan pasien dengan Sindrom Metabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan pasti tentang gaya hidup pasien serta hambatan2 yang dialami mereka  dalam usaha memodifikasi gaya hidup tersebut. Dokter keluarga juga diharapkan dapat mengetahui pengetahuan pasien tentang hubungan gaya hidup dengan kesehatan, yang kemudian memberikan pesan2 tentang peranan diet dan latihan fisik yang teratur dalam menurunkan risiko penyulit dari Sindrom Metabolik.

Dokter keluarga hendaklah mencoba membantu pasien mengidentifikasi sasaran jangka pendek dan jangka panjang dari diet dan latihan fisik yang diterapkan.  Pertanyaan2 seperti : “ Bagaimana pendapat anda apakah diet dan latihan fisik yang diterapkan dapat mempengaruhi kesehatan anda ?” atau “ Permasalahan apa yang anda hadapi dalam mencoba menerapkan perubahan diet atau aktivitas fisik ?” , dapat membantu dokter keluarga dalam menerapkan langkah2 berikutnya terhadap masing2 pasien. Jawaban pasien hendaklah dicatat dalam rekam medik dan direview pada kunjungan berikutnya. Hal ini dapat membantu dokter mengidentifikasi adanya hambatan2 dalam menerapkan perubahan gaya hidup.

Farmakoterapi :

Terhadap pasien2 yang mempunyai faktor risiko dan tidak dapat ditatalaksana hanya dengan perubahan gaya hidup, intervensi farmakologik diperlukan untuk mengontrol tekanan darah dan dislipidemia. Penggunaan aspirin dan statin dapat menurunkan kadar C-reactive protein dan memperbaiki profil lipid sehingga diharapkan dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Intervensi farmakologik yang agresif terhadap faktor2 risiko telah terbukti dapat mencegah penyulit kardiovaskular pada penderita DM tipe 2.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 14. Panduan ATP III  tentang penatalaksanaan pasien dengan Sindrom Metabolik. Sumber : Circulation. 2004;110:227-239.

 

Target

Sasaran

Turunkan LDL kolesterol , risiko PJK dan ekivalennya  (10-year risk for CHD > 20%)

Sedikitnya 2 faktor risiko dan 10-year risk < 20%

< 100 mg/dl (< 2,60 mmol/L)

 

< 120 mg/dl (< 2,25 mmol/L)

Pengendalian berat badan

= 10% dari BB awal

Aktivitas fisik

20 – 40 menit per hari, 3 – 5 hari per minggu

Obati hipertensi

< 120/85 mmHg

Turunkan kadar TG :

Sasaran pada pasien dgn TG ≥ 200 mg/dl (≥ 5.20 mmol/L) dan ≤ 499 mg/dl (≤ 12.90 mmol/L)

 

Risiko PJK tinggi : < 130 mg/dl

Risiko PJK sedang : < 160 mg/dl

Risiko PJK ringan : < 190 mg/dl

 

Penatalaksanaan pasien dengan NAFLD meliputi tatalaksana terhadap kelainan faal hatinya dan kelainan metabolisme yang menyertai atau mendasarinya yaitu obesitas, dislipidemi, resistensi insulin dan DM tipe 2.

Pasien-pasien dengan NAFLD tanpa steatohepatitis mempunyai prognosis yang lebih baik ditinjau dari faal hatinya. Oleh karena itu terapi untuk memperbaiki penyakit hati hanya ditujukan pada NASH. Karena NASH berhubungan dengan obesitas dan resistensi insulin, diet dan modifikasi gaya hidup merupakan pendekatan lini pertama dalam penatalaksanaannya. Sayangnya, pada kebanyakan pasien, pendekatan ini tidak dapat diimplementasikan secara baik dan tidak dapat dipertahankan secara terus menerus dalam jangka panjang. Kerusakan hati yang terjadi perlu ditatalaksana dengan terapi farmakologik. Saat ini ada beberapa pendekatan terapi farmakologik yang sudah dilakukan studi klinis, antara lain :

  • Insulin sensitizer :
    1. Metformin

Metformin dapat menurunkan produksi glukosa hati dan menurunkan berat badan. Beberapa studi telah dilakukan untuk meneliti efek dari metformin terhadap aminotransferase dan histologi hati pada pasien-pasien NASH. Suatu “small open-label study”  menunjukkan penurunan resistensi insulin dan kadar aminotransferase serum, tetapi secara signifikan tidak memperbaiki histologi hati. Suatu “open-label trial” yang terdiri dari 110 pasien dengan NASH, diberikan metformin 2 gram perhari (55 pasien), vitamin E 800 UI/hari (28 pasien) atau diet (27 pasien) selama 12 bulan.

         Kadar aminotransferase serum menurun lebih banyak pada kelompok metformin dibandingkan vitamin E atau diet saja. Namun hanya terjadi perbaikan sedang dari steatosis hati dan inflamasi pada 17 pasien yang mendapat terapi metformin.  Suatu meta-analisis terbaru menyimpulkan bahwa terapi dengan metformin + modifikasi gaya hidup selama 6 – 12 bulan tidak memperbaiki kadar aminotransferase serum atau gambaran histologi hati dibandingkan dengan hanya modifikasi gaya hidup saja. Jadi disimpulkan bahwa metformin tidak mempunyai efek menguntungkan terhadap perbaikan histologi hati  dan tidak direkomendasikan sebagai terapi spesifik terhadap penyakit hati pada orang dewasa dengan NASH.

 

  1. Thiazolidinediones

Beberapa studi telah dilakukan untuk meneliti efek pioglitazon dan rosiglitazon terhadap kadar aminotransferase dan gambaran histologi hati pada pasien-pasien dengan NASH. Pada suatu open-label study terhadap 22 pasien yang terbukti secara biopsi menderita NASH, rosiglitazon memperbaiki aminotransferase dan steatosis hati, ballooning dan skor inflamasi, tetapi tidak memperbaiki fibrosis. Studi RCT yang dilakukan oleh Ratziu dan kawan-kawan, mendapatkan bahwa rosiglitazon memperbaiki aminotransferase dan steatosis hati, tetapi tidak memperbaiki nekroinflamasi dan fibrosis. Belfort dan kawan-kawan, melakukan suatu RCT dengan pioglitazon (45 mg/hari) pada pasien-pasien dengan NASH yang mengalami gangguan toleransi glukosa atau DM tipe 2. Walaupun terjadi penambahan berat badan yang signifikan, namun secara signifikan pula memperbaiki aminotransferase, steatosis, ballooning dan inflamasi. Suatu meta-analisis yang meneliti 5 RCT menunjukkan bahwa pioglitazon secara signifikan memperbaiki steatosis dan inflamasi, tetapi tidak fibrosis. Jadi pioglitazon dapat digunakan untuk terapi steatohepatitis pada pasien-pasien yang terbukti menderita NASH dari hasil biopsi hati. Namun perlu diperhatikan pula bahwa kebanyakan pasien yang berpartisipasi dalam studi-studi klinis diatas bukan pasien DM, sehingga keamanan dan efektifitas jangka panjang dari penggunaan pioglitazon pada pasien-pasien NASH belum dapat dipastikan.

  • Hepatoprotectans :
  1. Ursodeoxycholic Acid (UDCA)

            Beberapa studi meneliti manfaat UDCA dalam memperbaiki kadar aminotransferase dan steatosis pada pasien-pasien dengan NAFLD dan histologi hati pada pasien-pasien dengan NASH. Dosis tinggi UDCA (20-30 mg/kg/hari) secara signifikan menurunkan kadar aminotransferase lebih besar dibandingkan plasebo, namun 2 RCT tidak menunjukkan perbaikan secara histologik.          Jadi disimpulkan bahwa UDCA tidak direkomendasikan untuk pasien-pasien dengan NASH.

 

  1. Vitamin E

Stres oksidatif diduga merupakan mekanisme kunci penyebab terjadinya kerusakan hati dan progresivitas penyakit pada pasien-pasien dengan NASH.  Vitamin E (á tocopherol) merupakan antioksidan alamiah, yang telah diteliti dalam pengobatan NASH.   Dari hasil penelitian PIVENS trial selama 2 tahun dengan pemberian vitamin E 800 iu/hari diikuti dengan penurunan kadar  aminotransferase serum,  secara histologik terjadi perbaikan steatosis, inflamasi dan ballooning serta terjadi resolusi dari steatohepatitis pada pasien-pasien dengan NASH, namun tidak ada efek terhadap fibrosis. Vitamin E yang diberikan dengan dosis harian 800 iu/hari dapat memperbaiki histologi hati pada pasien-pasien dewasa non DM yang secara biopsi terbukti menderita NASH. Oleh karena itu obat ini dapat dipertimbangkan sebagai pendekatan lini pertama.  Akan tetapi Vitamin E tidak direkomendasikan untuk mengobati NASH pada pasien-pasien DM, NAFLD tanpa biopsi hati, NASH pada sirosis atau cryptogenic cirrhosis, sampai ada data-data  klinis yang mendukung tentang efektifitasnya.

  1. Obat-obat penurun berat badan

Orlistat

Orlistat, suatu enteric lipase inhibitor, dalam suatu penelitian menunjukkan lebih baik dari plasebo dalam memperbaiki gambaran histologi hati dan kadar aminotransferase. Namun dalam studi yang lain, orlistat tidak berhasil mencapai penurunan berat badan secara bermakna. Saat ini Orlistat tidak direkomendasikan untuk pengobatan NASH.

 

Daftar Pustaka

  1. Alberti,KGMM, Zimmet P, Shaw J. Metabolic syndrome-a new world-wide definition. A Consensus Statement from International Diabetes Federation. Diabet.Med 2006;23:469-480.
  2. American Diabetes Association: Management of dyslipidemia in adults with diabetes (Position Statement). Diabetes Care.2002;25 (Suppl. 1):S74–S77.
  3. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes Diabetes Care 2014;37, Supp 1:S14-S80.
  4. Bathia LS, et.al. Non-alcoholic fatty liver disease: a new and important cardiovascular risk factor? European Heart Journal 2012;33:1190-1200.
  5. Bethel MA, Feinglos MN. Basal Insulin Therapy in Type 2 Diabetes. J Am Board Fam Pract 2005;18:199-204.
  6. Bolander F. F. (ed). Molecular Endocrinology,3rd Elsevier Inc, California, USA 2004.
  7. Caroline S. Fox et.al. Update on Prevention of Cardiovascular Disease in Adults With Type 2 Diabetes Mellitus in Light of Recent Evidence: A Scientific Statement From the American Heart Association and the American Diabetes Association.Circulation. 2015;132: 1-28.
  8. Chasalani N, et.al. The Diagnosis and Management of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease: Practice Guideline by the American Association for the Study of Liver Disease, American College of Gastroenterology, and the American Gastroenterological Association. Hepatology 2012;55(6):2006-2012.
  9. Choi BG, Badimon JJ, Moreno PR, Fuster V. Lipoprotein Metabolism and Vascular Biology in:Davidson MH, Toth PP, Maki KC (editors). Therapeutic Lipidology. Humana Press, New Jersey. 2007: pp 1-22.
  10. Colhoun HM, Betteridge PN, Hitman GA,et.al. Primary prevention of cardiovascular disease with atorvastatin in the Collaborative Atorvastatin Diabetes Study (CARDS): multicentre randomized placebo-controlled trial. Lancet 2004;264:685-696.
  11. Constanti A, Bartke A. Basic Endocrinology for Students of Pharmacy and Allied Health Sciences. Harwood Academic Publishers, Amsterdam
  12. Dupont Basic Lipidology in : Robert JM, Bryant S (eds). Lipid Metabolism and Health. Boca Raton:Informa;2006:pp 31-45.
  13. Feld S, Garcia M: AACE Clinical Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Thyroid Nodules. 1996.
  14. Fowler M. Hyperglycemic Crisis in Adults: Pathophysiology, Presentation, Pitfalls, and Prevention. Clin Diab.2009; 27(1):19-23.
  15. Gau GT, Wright RS. Pathophysiology, Diagnosis and Management of Dyslipidemia. Curr Probl Cardiol 2006;31:445-486.
  16. Goldberg AC,et.al. Efficacy and Safety of Ezetimibe Co administered With Simvastatin in Patients With Primary Hypercholesterolemia: A Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Trial. Mayo Clin Proc.2004;79:620-629.
  17. Goodman HM. Basic Medical Endocrinology, 2009, 4th ed Ed, Elsevier Inc)
  18. Grundy SM, Cleeman JI,et.al. Implications of Recent Clinical Trials for the National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III Guidelines. Circulation. 2004;110:227-239.
  19. Hansen M et.al. Inhibition of Glucagon Secretion by GLP-1 Agonists and DPP4 Inhibitors. Journal of Clinical Metabolism & Diabetes 2011; 2(1):7-13.
  20. Harvey HK: Diagnosis and management of the thyroid nodule. An overview. Otolaryngol Clin North Am 1990 Apr; 23(2): 303-37.
  21. International Diabetes Federation. Global Guideline for Type 2 Diabetes. Clinical Guidelines Task Force, 2012.
  22. Inzucchi SE, et.al. Management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes, 2015: A Patient- Centered Approach. Diabetes Care 2015;38:140–149
  23. Kassi E, Pervanidou P, Kaltsas G, Chrousos G. Metabolic syndrome : definitions and controversies. BMC Medicine 2011;9:1-13.
  24. Kitabchi AE et.al. Thirty Years of Personal Experience in Hyperglycemic Crises: Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State, J Clin Endocrinol Metab. 2008; 93: 1541–1552.
  25. Kleiner et.al., Hepatology 2005;41:1313-21
  26. LaBrecque D, et.al. Nonalcoholic Fatty Liver Disease and Nonalcoholic Steatohepatitis. WGO Global Guidelines. World Gastroenterology Organisation 2012:2-23.
  27. Lane NE. Epidemiology, etiology, and diagnosis of osteoporosis. Am J Obstet Gynecol 2006;194:S3-11.
  28. LaRosa,JC,Grundy,SM,Water DD,et.al. Intensive lipid lowering with atorvastatin in patients with stable coronary disease. The New England Journal of Medicine 2005;352:1425-1435.
  29. Lash KW,Nicholson JM,Velez L,Van Harrison R,McCost J. Diagnosis and Management of Osteoporosis. Prim Care Clin Office Pract 2009;36:181-198
  30. McCornick RK. Osteoporosis: Integrating Biomarkers and other Diagnostic correlates into the Management of Bone Fragility. Altern Med Rev 2007;12(2):113-145.
  31. Melmed S, Conn PM (eds). Endocrinology, Basic and Clinical Principles, 2nd Humana Press Inc, Totowa New Jersey, USA 2005.
  32. Mokdad AH, et.al. Diabetes trends in the U.S.: 1990–1998.Diabetes Care.2000;23:1278–1283.
  33. Murphy R, Carroll RW, Krebs JD. Pathogenesis of the Metabolic Syndrome : Insight from Monogenic Disorders. Hindawi Publishing Corporation, Mediator of Inflammation 2013, at: http://dx.doi.org/10.1155/2013/920214.
  34. Okazaki S, Yokoyama T,et.al. Early statin treatment in patients with acute coronary syndrome: demonstration of the beneficial effect on atherosclerotic lesions by serial volumetric intravascular analysis during half a year after coronary event: the ESTABLISH study. 2004; 110(9):1061-1068.
  35. PB PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Cetakan pertama, Juli 2015
  36. Ratziu V. Management of Nonalcoholic Steatohepatitis: Clinical Liver Disease 2012;1(4):122-124.
  37. Sabel MS, Staren ED, Gianakakis LM: Effectiveness of the thyroid scan in evaluation of the solitary thyroid nodule. Am Surg 1997 Jul; 63(7): 660-3; discussion 663-4.
  38. Singer PA: Evaluation and management of the solitary thyroid nodule. Otolaryngol Clin North Am 1996 Aug; 29(4): 577-91.
  39. Tan GH, Gharib H: Thyroid incidentalomas: management approaches to nonpalpable nodules discovered incidentally on thyroid imaging. Ann Intern Med 1997 Feb 1; 126(3): 226-31.
  40. Tomky D. Detection, Prevention, and Treatment of Hypoglycemia in the Hospital Diabetes Spectrum.2005;18(1): 39-44.
  41. Yeh MM, Brunt EM. Pathology of Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Am J Clin Pathol 2007; 128:837-847.
  42. Ye J. Mechanisms of insulin resistance in obesity. Front. Med. 2013, 7(1): 14–24.
  43. Zammitt,NN, Frier BM. Hypoglycemia in type 2 diabetes. Diabetes Care.2005;28(12):2948-2961.